29

83 10 12
                                    

Dentuman keras dan lampu kerlap-kerlip serta orang-orang yang sedang menari ria di tengah ruangan yang penuh desak itu membuat Alfian ragu, bukan karena tak ada uang untuk membayar semua minuman yang dilibas bersih oleh Angga, tapi lebih karena cemas dengan keadaan Angga saat itu.

Angga begitu kusut, terlihat hancur dengan tampang sedemikian berantakan. Ia menolak setiap diajak pulang oleh Alfian, meronta dan berteriak tak tentu arah. Dan kini Alfian hanya bisa menatap nanar Angga yang sedang duduk  di salah satu kursi di sudut ruangan dengan separuh kesadarannya.

Berulang kali ia menyebutkan nama Lala tanpa sadar, alkohol menguasai alam sadarnya saat itu.

"Udah ayok kita pulang." Alfian akhirnya menyeret Angga keluar dari salah satu Bar yang cukup terkenal di kotanya.

Angga menepis tangan Alfian kuat, tubuhnya terhuyung, penglihatannya tak bisa fokus. Angga melangkah menjauhi Alfian lalu tersungkur akibat efek alkohol yang diminumnya.

"Lepas bangsat! gue bisa pulang sendiri." Racaunya sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman Alfian.

"Lo mabuk! Biar gue anter pulang." Balas Alfian seraya terus mencoba membuat Angga berdiri sempurna.

Angga terkekeh remeh, "Gue bisa bawa motor sendiri, minggir lo."

"Bosan hidup ha?!" teriak Alfian saat melihat Angga kembali tersungkur.

Angga diam.
Alfian melangkah mendekat lalu menyentuh bahu Angga.

Kesekian kali Angga menepisnya kuat, "Minggir lo! jangan halangin jalan gue!"

"Ga! dengerin gue!" Alfian mencengkram kerah baju Angga kuat.

"Lo ga bisa kayak gini!! jangan hancur cuma gara-gara masalah ini!" teriak Alfian mulai geram.

"Lo ga tau gimana rasanya! gue sakit Al!"

***

"Seira sakit?" tanya Fauzan meyakinkan pendengarannya.

Reynand menunduk, ia tahu betul Fauzan pasti bisa mengerti ucapannya tadi, jadi ia tak perlu mengulang perkataannya lagi.

Fauzan bersandar pada punggung sofa rumahnya, menengadahkan wajahnya menatap langit-langit ruang tamunya seraya menggeleng lemah tak percaya.

"Maaf karena tidak bisa menjaganya dengan baik, saya minta maaf." Ucap Reynand tulus.

"Apa yang akan terjadi dengannya untuk kedepannya?"

Reynand dan Fauzan serentak menoleh ke sumber suara yang terdengar getir itu—Ana sedang berdiri mematung dengan pelupuk yang terlihat mengandung banyak air, bibirnya bergetar dengan jemari yang terkepal.

Fauzan berdiri, menuntunnya untuk ikut duduk bergabung di sofa.

"Dokter menyarankan untuk melakukan pembedahan. Tapi saya dan Lania masih bingung bagaimana cara memberi tahu Seira untuk bersedia melakukan pembedahan itu." Ungkap Reynand hati-hati.

Ana membatu dengan pipi basah di dalam rengkuhan Fauzan.

"Seira tidak tahu tentang ini?" tanya Fauzan tercengang.

Reynand menggeleng lemah, membuat Fauzan menghela napas berat.

"Maafkan saya Om, Tan. Apa yang harus saya lakukan?" tanya Reynand getir.

HER  √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang