Tanpa di sadari, secercah rasa mulai merambati hati.
Hari senin biasanya sangat dibenci oleh para pelajar. Karena apa? Karena mereka harus di jemur selama kurang lebih satu jam dibawah terik sinar matahari yang menjadi suatu kewajiban bagi pelajar untuk mengikuti upacara pengibaran bendera.
Biasanya di hari senin, pihak sekolah akan memperhatikan atau merazia setiap pelajar yang tidak memakai atribut lengkap. Seperti saat ini, Fika kelabakan mencari topi. Ia lupa membawa topi karena tadi pagi ia kesiangan. Fika sangat gelisah, karena baru pertama kali ia lupa membawa atribut sekolah, apalagi nanti ia di hukum berdiri di depan bersama pelajar yang tidak memakai atribut lengkap. Rasanya malu di lihat banyak orang.
"Sya, gimana dong? Gue lupa bawa topi." Kata Fika bernada gelisah. Ia menggigit kuku tangannya. Hal itu biasa di lakukan Fika ketika sedang gelisah.
"Aduh, gimana ya? Ada pak Dito lagi," Tasya ikut gelisah. Pasalnya, pak Dito yang terkenal dengan kumis nya yang badai terkenal killer di SMA Pelita Jaya.
"Aduh, lo bikin gue tambah takut sya." Keringatnya mulai terlihat di wajah Fika.
Fika menengok ke kanan dan kiri yang mulai terbentuk barisan. Fika menggigit bibirnya, gelisah dan takut bercampur menjadi satu. Upacara akan segera di mulai.
"Eh, kak Davin. Tolongin gue dong," Tasya memberhentikan Davin yang berjalan di sampingnya. Fika menoleh ke pemuda itu begitu juga sebaliknya. Davin menatap sepupunya itu dengan dahi berkerut.
"Kenapa?" Tanya pemuda itu singkat.
"Lo punya topi dua nggak kak? Atau lo punya temen yang punya topi dua nggak kak?" Tanya Tasya sambil melirik ke sahabatnya--Fika. Fika berharap pemuda itu mempunyai topi lebih.
"Buat?" Tanya pemuda itu lagi.
"Hah? Ya buat upacara lah. Fika nggak bawa topi, kelupaan tadi." Pemuda itu menatap ke Fika yang tampak gelisah dan menggigit kuku jari tangannya.
"Nih." Davin menyodorkan topinya yang sedang ia pegang. Fika menatap kakak kelasnya itu dengan heran.
"Nanti lo pake topi siapa kak, kalo topi lo gue pake?" Tanya Fika.
"Pake aja." Jawab Davin singkat dengan menggoyangkan topi yang ada di tangannya. Fika mengambil topi itu dengan ragu-ragu. Setelah Fika mengambil topi itu, Davin langsung berlalu meninggalkan dua gadis yang terheran-heran.
"Sya, gimana? Nanti kak Davin malah di hukum lagi," tanya Fika. Mereka sudah masuk di barisan kelas mereka karena upacara akan segera di mulai. Pak Dito sudah berada di depan untuk mengetahui siapa saja yang tidak memakai atribut lengkap.
"Yaudah nggak papa. Kan dia yang kasih ke lo." Kata Tasya membuat hati Fika sedikit lega. Tetapi, rasa tidak enak menjalarinya sepanjang pelaksanaan upacara.
Fika melihat di depan banyak yang tidak memakai atribut lengkap. Mereka berbaris di depan lapangan, tempat yang khusus untuk pelajar yang melanggar tata tertib tetapi masih didominasi pelajar laki-laki. Dan, yang paling menonjol di mata Fika adalah Davin Putra Wardana.
Cowok itu berkali-kali mengelap keringatnya karena posisi matahari langsung menyorot ke tempat itu.
"Eh, itu kak Davin bukan si?" Tanya salah satu teman sekelas Fika--Sheila dengan berbisik kepada temannya yang berada disampingnya, Tiara.
"Yang mana?" Tanya Tiara.
"Itu yang di barisan anak-anak yang nggak pake atribut lengkap." Tunjuk Sheila dengan dagunya.
"Eh, iya. Tumben banget kak Davin nggak pake atribut lengkap." Sahut Tiara.
"Ekhem." Bu Rika berdehem, membuat Sheila dan Tiara terkejut. Mereka tak menyadari jika bu Rika--wali kelas ada di belakang mereka. Mereka berdua menyengir dengan wajah tanpa dosa.
Fika tertawa kecil dan beberapa detik kemudian ia sibuk dengan pikirannya yang penuh dengan seseorang. Davin, cowok dingin bin datar itu sudah menolongnya. Ia harus berterima kasih kepada patung hidup itu.
✩✩✩✩✩✩
"Kenapa kamu tidak pakai dasi. Kemana dasi kamu?" Pak Dito mengintrogasi satu persatu pelajar yang tidak disiplin. Saat ini pak Dito sedang mengintrogasi salah satu siswa yang kedapatan tidak memakai dasi. Wajah pak Dito terlihat sangar, jadi maklum ketika diintrogasi pada nunduk semua.
"Ketinggalan pak," jawab cowok itu seadanya dengan kepala menunduk.
"Ketinggalan lagi, ketinggalan lagi. Alasan yang sudah sering saya dengar. Kamu keliling sepuluh putaran lapangan. CEPAT!" Perintah pak Dito ke siswa tersebut.
Kini pak Dito beralih ke cowok yang baru beliau lihat di barisan itu.
"Kamu kenapa tidak memakai topi?" Tanya pak Dito dengan wajah yang tidak bersahabat.
"Topi saya hilang, pak." Jawab Davin yang tentu saja berbohong. Tidak mungkin ia menjawab bahwa topinya di berikan kepada orang lain.
"Alasan biasa, sudah sering saya dengar alasan itu. Sekarang hukumannya kamu lari sepuluh putaran lapangan. SEKARANG!" Titah pak Dito dengan tegas. Tanpa protes, Davin segera melaksanakan hukuman itu bersama dengan siswa lainnya yang di hukum.
Selama melaksanakan hukuman, ada seorang gadis yang memperhatikannya dari depan kelas dengan perasaan tak enak hati. Harusnya, gadis itu yang di hukum. Fika berdiri di depan kelas memperhatikan ke arah lapangan yang sudah di penuhi oleh anak-anak yang di hukum. Guru yang mengajar belum datang.
Fika masuk ke dalam kelas dan mengambil sesuatu.
"Sya, kalo ada guru lo kasih tau gue ya." Setelah mengatakan itu, Fika bergegas pergi keluar kelas tidak mempedulikan raut bingung Tasya.
"Tuh anak kenapa deh?" Gumam Tasya tak mengerti.
Fika langsung menuju ke lapangan, dan duduk di dekat Davin yang sudah selesai melaksanakan hukuman.
"Nih, buat lo kak." Fika menyodorkan botol air mineral yang ia bawa dari kelas yang di belinya tadi sebelum berangkat sekolah tadi pagi. Davin menoleh. Tangannya terulur menerima pemberian Fika.
"Thanks," kata Davin tersenyum tipis dan langsung meneguk air mineral itu sampai habis. Jantung Fika berdetak tidak karuan saat ini. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kenapa dia jadi merasa gugup? Ada apa dengannya saat ini?
"Kak, gu-gue minta maaf ya. Gara-gara gue, jadi lo yang dihukum. Harusnya gue yang dihukum." Gadis itu menunduk menatap sepatunya mencoba menetralkan detak jantungnya dan kegugupannya.
"Nggak papa." Kata Davin singkat.
"DAVIN!" Panggil seorang perempuan yang kini sudah berada di hadapannya.
"Lo tumben dihukum Dav?" Tanya gadis berambut cokelat kemerahan di bagian bawah yang terlihat mencolok. Badannya juga ramping. Fika memperhatikan cewek di depannya. Ciri-cirinya seperti yang pernah di sebut Tasya. Tetapi, Fika lupa namanya.
Dira melihat Fika dengan tatapan tidak suka.
"Nih, buat lo Dav. Tadi gue baru beli." Kata Dira menyodorkan sebotol air mineral.
"Nggak usah, gue udah minum." Kata Davin lalu beranjak dari duduknya. Sebelum beranjak, Davin mengucapkan terima kasih kembali ke Fika.
Dira melihat Fika dengan tatapan sinis kembali. Fika langsung menunduk tak berani menatap Dira. Dira mengikuti Davin yang entah kemana perginya. Fika menghela napas panjang. Melihat senyum tipis Davin, jantungnya kini sudah mereda, tidak berdetak kencang seperti tadi.
Bip..
Ponsel Fika berbunyi menandakan ada pesan masuk.
Tasya : Fik, buruan ke kelas. Guru udah mau dateng.
Fika : okay. Makasih Sya.
Fika langsung menutup ponselnya dan menaruhnya di saku seragamnya lalu menuju ke kelasnya.
★★★★★★★
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
Teen FictionPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia