Suasana di sekolah masih sepi. Hanya beberapa murid yang sudah datang. Salah satunya Davin. Earphone yang selalu setia menggantung di telinganya. Pria bertubuh jangkung itu bersandar pada kursi yang di dudukinya menghayati lagu yang mengalun indah di kedua telinganya. Sesekali ia bersenandung mengikuti irama lagu yang di dengarkannya itu.
Sejak kecil, Davin suka mebdengarkan musik. Musik dapat menghiburnya di saat dia merasa kesepian atau yang lain. Jika ia suka musik, mengapa tidak ikut ekskul musik? Karena dia ingin mencoba hal yang baru. Ya seperti ekskul yang ia ikuti saat ini, fotografi. Dan beberapa waktu ke depan ia akan mengikuti ajang lomba fotografi setelah mengikuti seleksi.
Matanya terpejam menikmati udara pagi.
"Woy bro." Seru seseorang yang sangat di kenali olehnya. Davin melirik sebentar lalu memejamkan matanya kembali.
"Fikri mana?" Tanya Davin dengan mata yang masih terpejam.
"Dia lagi ke toilet. Palingan juga boker dia. Hahaha." Ucap Gino di akhiri dengan tawanya. Davin hanya diam saja.
"Eh, gue mau tanya sama lo." Tanya Gino dengan nada serius. Davin membuka kedua matanya lalu melepas earphone yang menggantung di telinganya.
"Hm." Balas Davin singkat.
"Lo kenal sama temennya Tasya kan? Yang anak baru itu? Yang namanya Fika. Iya, Fika Asteria."
Davin hanya berdehem, tapi dalam hati ia penasaran juga apa yang akan di ungkapkan sahabatnya itu.
"Menurut lo, gue pantes nggak sama dia?" Tanya Gino dengan tampang serius.
"Emang kenapa?" Tanya Davin yang semakin penasaran dengan Gino tapi berusaha tak menunjukkan ekspresi penasarannya itu.
"Ya, dari pertama gue liat dia, gue jatuh cinta sama dia. Kalo di liat-liat dia juga orangnya baik, cantik terus pinter lagi. Menurut lo gimana?"
Davin diam. Ia semakin tak mengerti akan menjawab seperti apa. Akhir-akhir ini pikirannya di penuhi gadis itu. Mengapa ia seperti tidak suka dengan pengakuan sahabatnya jika sahabatnya itu menyukai gadis itu? Davin semakin tak mengerti dengan dirinya saat ini.
"Dav!" Seru Gino membuat Davin membuyarkan lamunannya.
"Menurut lo gimana?" Gino memainkan kedua alisnya.
"Jangan langsung jatuh cinta. Lo belum tau dia orangnya kaya gimana."
"Jadi, menurut lo gue harus pendekatan dulu sama dia?" Pertanyaan itu sukses membuat Davin diam seribu bahasa.
"Mungkin." Kata Davin dengan sedikit ragu.
Gino manggut-manggut seraya mulutnya ber 'oh' ria.
"Thanks, Dav. Yaudah, gue ke kantin dulu." Pamit Gino sambil menepuk bahu Davin.
Sepeninggal Gino, Davin kembali mencerna pengakuan sahabatnya itu. Sejujurnya, ia merasa ada sebersit rasa yang mulai hinggap di hatinya yang sudah lama tidak terisi oleh siapapun.
Davin menghembuskan napasnya, kembali mengenakan earphone nya mencoba mengalihkan pikirannya saat ini.
✩✩✩✩✩✩✩
Semenjak pelajaran Bahasa Indonesia, sedari tadi pikiran Davin tidak menentu. Diam-diam, ia membuka ponselnya lalu membuka chat dari orang yang ada di pikirannya saat ini. Apa benar ini nomornya Fika?
Tapi, mana mungkin Fika mengiriminya chat? Terdengar mustahil. Tapi, tidak ada yang mustahil bukan?
Semakin terlarut dalam pikirannya sendiri, Davin tak menyadari jika di depannya sudah ada guru yang terus memperhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
Teen FictionPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia