Fika mendengar suara keributan dari sebuah rumah yang ber cat putih. Di saat itu juga, cowok yang berada di sampingnya langsung berlari memasuki rumah tersebut. Dengan napas yang terengah-engah, Davin melihat peristiwa yang sangat di bencinya.
"Pah, stop!" Bentak Davin yang emosinya sudah tidak terbendung lagi. Di tambah, melihat wanita yang begitu di sayangi nya mengeluarkan air mata dan terisak-isak.
"Ngapain kamu pulang?! Pergi aja kamu dari sini?!" Bentak Feri—ayah Davin.
"Harusnya papa yang pergi dari sini! Bukan aku ataupun mama. Urus aja pekerjaan papa!"
"Diem kamu! Kamu anak yang nggak bisa di atur, keluyuran nggak jelas! Mau jadi apa kamu, hah?!"
"DASAR PEMBUNUH! PAPA NGGAK SUDI PUNYA ANAK PEMBUNUH KAYAK KAMU!" Ucap Feri.
Sakit.
Hal itu yang Davin rasakan saat ini. Mencoba menguburnya dalam-dalam bersama kepingan masa lalu yang kelam. Di saat Davin mencoba melihat ke depan, pasti ada orang yang seakan kontra dengannya.
Ayahnya. Ayahnya sendiri.
Davin hendak melangkah maju, mengurungkan niatnya ketika sebuah tangan menariknya. Ya, ibunya. Ibunya terus menangis membuat Davin tidak tega.
Ibunya menggeleng seakan memberitahu agar Davin tidak melakukan perbuatan kasar.
"AKU BUKAN PEMBUNUH PA!"
Napas Davin semakin memburu. Dimata ayahnya, Davin selalu salah.
Fika diam saja dengan tangan yang menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Tak mampu menutupi keterkejutannya.
Ternyata, Davin begitu kuat. Selama ini, dibalik sosoknya yang dingin ada alasan tersendiri di baliknya.
"KAMU PEMBUNUH!" Teriak Feri lagi.
Davin diam namun matanya menyiratkan luka. Luka yang sudah cukup lama terpendam.
"UDAH, HENTIKAN SEMUANYA!" Santi berteriak keras dengan terisak.
"Bisakah kita menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin? Jangan emosi. Dan, Davin itu bukan pembunuh." Ucap Santi dengan nada pasrah.
Feri diam mengatur napasnya.
Davin langsung pergi keluar dan menggandeng Fika untuk pergi dari rumahnya. Ia butuh ketenangan untuk saat ini, dan ingin melampiaskan semuanya. Tentang pandangan Feri kepadanya.
"Kak, i-itu ta-tadi—"
"Shut up!" Katanya tegas. Bibir Fika terkatup rapat. Tak bisa berkata-kata.
✩✩✩✩✩✩✩
Suasana kota Jakarta yang selalu ramai dan jalanan yang hampir setiap hari mengalami kemacetan serta lampu-lampu dari gedung pencakar langit menjadi pemandangan yang di saksikan oleh kedua remaja dari atap salah satu bangunan yang mereka kunjungi sore tadi.
Kebahagiaan.
Ya. Mengapa di saat pemuda itu merasa bahagia dan di saat itu juga dia merasakan kesedihan.
Matanya masih memandang ke depan. Sementara Fika, ia diam tak tau harus berbuat apa. Kejadian tadi masih membuatnya shock dan terngiang di kepalanya.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku hoodie nya dan memberikan benda yang diambilnya ke cowok yang berada di sampingnya.
"Ambil nih. Katanya permen bisa ngembaliin mood seseorang. Jangan sedih lagi." Katanya.
Cowok itu masih memandang Fika dengan alis bertaut. Fika yang tidak sabar, menarik tangan Davin lalu meletakkan permen pada telapak tangan cowok itu.
Cowok itu masih menatap Fika membuat Fika sedikit risi atau salting?
"Buruan di makan." Kata cewek itu langsung memalingkan wajahnya.
"Makasih." Katanya singkat. Lalu, cowok itu memakan permen pemberian Fika.
Hening kembali selama beberapa menit, hingga Fika membuka suara.
"Kak, mama lo gi—"
"Mama gue nggak bakal kenapa-napa. Bokap gue nggak bakal nyakitin mama. Yang bokap benci adalah gue." Katanya seolah tau apa yang ingin di tanyakan oleh gadis di sampingnya.
Fika ingin bertanya kembali, tetapi niat tersebut di urungkannya. Takutnya, terlalu mengganggu privacy cowok itu. Mungkin, cowok itu butuh ketenangan.
"Lo pasti udah tau kalo bokap gue benci ke gue karena gue membunuh seseorang."
"He?"
"Seseorang itu, Luna. Sebelumnya gue udah pernah cerita ke lo. Bokap gue selalu menganggap gua pembunuh tanpa tau kejadian yang menimpa gue. Dulu gue deket banget sama bokap, tapi semenjak kejadian itu gue dan bokap gue berasa seperti orang asing. Nggak pernah nyapa. Malah marahin gue terus. Gue selalu salah di mata bokap gue. Gue nggak tau lagi harus kayak gimana." Katanya dengan pelan.
Untuk sejenak, cowok bertubuh jangkung itu berhenti berbicara. Kemudian, melanjutkan kembali.
"Gue ingin merubah pandangan bokap gue. Semuanya berubah, drastis." Katanya dengan akhir kalimat yang pelan.
Fika menghembuskan napasnya.
"Gue emang nggak pernah ngerasain apa yang lo rasain tapi gue tau gimana sakitnya. Lo coba luluhin papa lo, dan coba merubah pandangannya ke lo seperti dulu. Batu aja yang keras bisa terkikis air. Atau nggak lo jelasin semuanya ke papa lo se detail-detail nya."
"Gue udah pernah nyoba."
"Tapi, apa salahnya mencoba lagi?"
Davin termenung, meresapi kata-kata dari Fika.
Mungkinkah ayahnya bisa percaya padanya?
Entahlah.
"Thanks ya Fik."
"Iya."
Kemudian mereka terdiam. Keheningan melanda mereka di temani terpaan angin yang berhembus menambah kesan kesunyian. Sampai suatu suara memecah keheningan.
"Fik,"
"Ya?"
"Gue boleh peluk lo?"
Fika langsung merasakan jantungnya berdentum di sertai gugup yang melandanya. Secara otomatis, tubuhnya menjadi kaku.
"Boleh?" Tanya Davin kembali.
"B-bo-boleh." Katanya.
Lalu, Detik berikutnya Davin merengkuh gadis mungil itu. Gadis yang selalu menemaninya di saat ia merasa terpuruk.
★★★★★★★
Holaa, aku update lagi. Semoga suka ya. Mungkin beberapa part lagi bakal tamat. Terus ikutin kisahnya ya. Terima kasih.
Jangan lupa vote and comment ya.
Salam,
Silfi. A
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
Teen FictionPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia