Sejak beberapa jam yang lalu, tali kamera menggantung di leher Davin. Davin mengambil beberapa potret pemandangam yang ada di depannya saat ini. Hasilnya belum sesuai yang di harapkan, tetapi ia mencoba terus menerus. Ia membidikkan kameranya ke danau yang ada di depannya. Banyak pohon-pohon yang mengelilinginya dan di hiasi burung beterbangan di langit yang mulai memerah. Davin menekan tombol shutter setelah di rasa sudah fokus.
Davin menghentikan aktivitasnya dan merogoh saku celananya karena ponselnya berdering. Pada layar ponselnya tertera ibunya menelponnya. Davin mengangkat telpon itu.
"Iya."
"Kamu kok belum pulang? Udah mau maghrib ini." Tanya Santi, ibunya Davin.
"Iya ma, sebentar lagi aku pulang." Sahut Davin.
"Ya sudah. Jangan pulang malam. Nanti papa kamu marah." Pesan ibunya yang di iyakan Davin. Davin menutup ponselnya lalu menaruhnya kembali ke saku celananya. Mendengar kata 'papa' membuatnya menghela napas berat. Ia semakin tidak yakin untuk pulang ke rumah.
✩✩✩✩✩✩
Davin memarkirkan motornya di garasi rumahnya dan ternyata sudah ada mobil ayahnya. Davin melepaskan helm nya lalu masuk ke dalam rumah.
"Dari mana aja kamu?" Tanya Feri-- ayahnya yang sudah berdiri di dekat pintu. Davin menoleh, tidak menjawab pertanyaan ayahnya.
"Papa bilang dari mana? Pulang larut malam." Tanya ayahnya sekali lagi.
"Ada tugas." Balas Davin singkat tanpa menghadap ke ayahnya sudah mengepalkan tangannya. Sementara Davin diam saja, ia tidak peduli dengan ayahnya itu.
"KAMU NGGAK ADA SOPAN SANTUNNYA. KALO ORANG TUA LAGI NGOMONG, MENGHADAP KE ORANG TUA!" Bentak Feri yang sudah di rendam dengan emosi kepada anaknya itu.
"Sudah mas, nggak usah terlalu keras sama anak." Kata ibunya mencoba menenangkan suaminya yang wajahnya sudah memerah karena amarah.
Davin bergeming, tak merespon apa-apa. Semenjak kejadian itu, apa yang di lakukan Davin selalu salah di mata ayahnya itu. Ia lebih senang ayahnya kerja di luar kota.
Tanpa menghiraukan orang tuanya, Davin melangkahkan kakinya ke kamarnya. Malas berdebat dengan ayahnya yang ujung-ujungnya ia yang akan tetap salah.
"DAVIN, PAPA LAGI NGOMONG SAMA KAMU!" Omongan Feri tak di tanggapi oleh Davin. Davin masuk ke kamarnya lalu mengunci pintu kamarnya yang lebih di dominasi warna hitam dan putih. Davin menghempaskan tubuhnya di ranjangnya. Sepatunya pun belum di lepas. Terdengar di luar kamarnya, ibunya berusaha meredam emosi ayahnya.
Shit. Batinnya.
Davin meraih ponselnya yang ada di saku celananya, membuka look screen pada layar ponselnya lalu membuka contact nomor yang ia cari.
"Halo"
"..."
"Gue nanti ke rumah lo."
"..."
"Gue nginep di rumah lo."
"..."
"Okay. Thanks."
Davin menutup panggilannya dan meletakkan benda pipih itu di meja belajarnya. Jika ada ayahnya di rumah, ia akan menginap di rumah sahabatnya.
Lalu, ia menuju ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya kembali. Kemudian, ia langsung pergi keluar rumah dengan mengendap-endap. Ia juga menyalakan motornya ketika sudah agak jauh dari rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
Teen FictionPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia