DUA PULUH LIMA

132 8 0
                                    

"Halo?" Ucap Tasya ketika seseorang menelponnya.

"Halo, Tasya. Ini mamanya Fika. Kamu liat Fika nggak?" Ucap seseorang di seberang.

Tasya yang posisinya tiduran merubah posisinya menjadi berdiri.

"Loh, tante. Bukannya tadi Fika pulang bareng Davin ya? Sekarang Davin ada di rumah aku tan, abis nganterin Fika pulang." Jelas Tasya. Davin yang mendengar nama Fika di sebut-sebut langsung mendekat ke Tasya. Mencoba mencari tau apa yang sedang di perbincangkan.

"Iya, tadi tante ke kamar Fika ada tas Fika dan ponselnya juga nggak di bawa." Terdengar nada cemas membuat Tasya sandiri bingung.

"Oke tante. Tasya ke rumah tante sekarang."

"Terima kasih ya, Tasya. Assalamu'alaikum."

"Walaikumsalam, Tante."

Tasya menutup ponselnya lalu menghadap Davin yang menatapnya seolah meminta penjelasan.

"Fika nggak ada di rumah dan ponselnya nggak di bawa, Vin. Gue takut dia kenapa-napa."

"Yaudah, sekarang kita ke rumah Fika."

Davin langsung memakai jaket kulitnya dan melekat sempurna menutupi seragam sekolah yang masih ia pakai.

Cowok tersebut langsung menuju ke rumah Fika dengan Tasya yang di boncengnya.

                      ✩✩✩✩✩✩

Seketika amarah Davin memuncak ketika melihat pesan yang di kirimkan oleh—entah siapa. Untungnya, ponsel Fika tidak di sandi jadi mudah untuk membuka ponsel tersebut.

Rahang Davin mengeras dan tangannya terkepal sehingga terlihat buku-buku jarinya memutih. Tasya dapat melihat dengan jelas raut wajah Davin.

"Yaudah tante, saya cari di sekolah. Saya pergi dulu ya, tante. Assalamualaikum." Ucap Davin sambil mencium punggung tangan Diana—ibunya Fika.

Davin mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Amarahnya memuncak. Cowok itu khawatir dengan Fika yang sudah berstatus menjadi pacarnya.

Davin memasuki sekolah dengan tergesa-gesa. Motornya ia parkirkan di dekat gerbang dan langsung berlari menuju gudang sekolah. Untung, gerbang sekolah belum di tutup karena biasanya jika sudah malam, gerbang sekolah akan di tutup. Tidak ada akses lagi untuk masuk ke dalam sekolah itu.

"Fika, Fika! Lo di dalam kan?"

Fika yang tengah meringkuk di dekat pintu langsung berdiri.

"Iya kak. Tolongin Fika, hiks."

Fika memang phobia dengan kegelapan.

"Lo jangan di deket pintu, Fik. Gue mau dobrak pintunya." Titah Davin.

Fika menurut dan berdiri di dekat kursi yang telah rapuh.

BRAK!

Dalam satu kali hentakan, pintu berhasil di buka.

Davin langsung menghampiri Fika dan mendekapnya erat. Fika menangis sedalam-dalamnya di dalam dekapan cowok itu. Cowok beraroma maskulin itu yang membuat Fika menjadi nyaman.

Davin mengusap puncak kepala Fika untuk menenangkan Fika nya Davin. Fika terus menangis dalam dekapan yang membuat cewek itu hangat.

"Maaf ya, gue terlambat." Bisik Davin yang tangannya masih mengusap rambut Fika. Bahu Fika bergetar menandakan bahwa cewek itu masih menangis.

Fika melepas pelukan, lalu mengusap air matanya yang mengalir dan membekas di pipi.

"Hikss, si-siapa si yang tega kunciin gue di gudang?" Tanya Fika tersendat-sendat. Davin meraih pergelangan tangan Fika.

"Udah jangan sedih lagi, jangan di pikirin. Sekarang gue bakal selalu ada di samping lo. Okay?" Kata Davin dengan lembut dan menatap lurus Fika.

"Fika?" Panggil Davin.

"Iya?"

"Seragam gue kena ingus lo, ini." Ledek Davin sambil menunjukkan seragamnya yang basah.

Fika segera melepaskan tangannya dari tangan Davin.

"Dih, nggak sih. Seragam lo basah karena kena air mata gue, bukan ingus!" Kata Fika dengan tidak terima.

"Apaan? Nih buktinya lengket-lengket gimana gitu." Ucap Davin.

Fika bergidik jijik.

"Ih, lo jorok banget sih kak! Nggak usah di perjelas kan bisa."

"Nggak papa kali di perjelas kan--"

"Udah ah, males ngomong sama lo! Sumpah ya, baru kali ini lo ngomong kaya gitu." Ucap Fika jujur.

Benar juga.

Davin berkata seperti itu agar bisa menghilangkan ingatan mengenai kejadian yang barusan di alami cewek itu. Ia hanya ingin melihat Fika tersenyum. Melihat Fika yang mengomel-ngomel membuat Davin semakin gemas kepada cewek itu. Dan kini, cewek itu telah berstatus sebagai pacarnya. Bukan tanpa alasan cowok itu menjadikan Fika sebagai pacarnya.

Seulas senyum terukir di bibir Davin melihat Fika yang terus menggerutu.

"Kenapa senyum-senyum?" Tanya Fika ketika menangkap basah Davin yang tersenyum ke arahnya.

Davin kembali memasang wajah datar lalu kembali meraih pergelangan tangan Fika.

"Ayok pulang. Udah malem." Ucap Davin sambil menggenggam tangan Fika.

Fika cemberut ketika pertanyaannya tak di gubris Davin. Fika berdecih.

"Dasar manusia aneh. Orang di tanya malah nggak di jawab. Males banget, ih...." gerutu Fika yag masih mampu di dengar telinga Davin. Davin membiarkan saja, mencoba tak peduli dengan apa yang di dengar.

                      ✩✩✩✩✩✩

Davin duduk di balkon kamar Fikri. Setelah mengantar Fika pulang, Davin langsung menuju rumah Fikri.

Davin tak mengerti siapa yang mengunci Fika di gudang sekolah. Apakah Bagas?

"Jangan ngelamun terus, Dav." Tegur Fikri yang berada di sampingnya. Cowok itu tampak sibuk dengan ponselnya.

"Gue bingung, kira-kira siapa yang ngunciin Fika di gudang? Apa mungkin Bagas?" Tanya Davin.

"Bisa jadi sih, Dav. Secara, Bagas kan dendam sama lo. Tapi, jangan berprasangka buruk dulu sih." Ujar Fikri. Davin mengangguk.

"Tapi, gue ngerasa kalo Bagas yang ngelakuin ini semua. Dia harus di kasih pelajaran kayanya."

Fikri mengerti, sahabatnya itu telah di kuasai oleh amarah. Dan, Davin tampak menyayangi Fika. Fikri yakin, saat bertemu dengan Bagas Davin bisa mengontrol emosinya.

"Gino mana?" Tanya Davin ketika tidak melihat keberadaan Gino.

"Katanya ada urusan di rumah."

Davin mengangguk.

Davin janji, jika pelakunya Bagas ia akan menghabisi cowok itu.






                           ★★★★★★

                                 TBC

METAMORFOSA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang