Davin berjalan menuju kelas Fika. Tangannya di masukkan ke dalam saku celananya, stay cool. Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Jadi, tidak begitu banyak murid yang berlalu lalang. Kedua sahabatnya juga sudah pulang terlebih dahulu karena memang ada kesibukan masing-masing.
Langkah Davin terhenti pada ruangan yang bertuliskan 'X MIA 1' dan dilihatnya ada Fika dan sepupunya, Tasya yang sedang merapikan buku mereka.
Menyadari dengan kehadiran Davin, Tasya menyenggol lengan Fika yang sedang menenteng buku paket untuk dimasukkan ke dalam tas sehingga buku yang di pegang Fika jatuh, menimbulkan khas bunyi jatuh.
Bug!
Buku paket itu meluncur bebas. Lalu, dengan cekatan Fika mengambil buku yang jatuh itu.
"Aduh, Sya. Lo kenapa nyenggol-nyenggol gue sih?" Fika menengok ke Tasya yang sedang mesem-mesem menatap Fika. Dahi Fika berkerut.
"Kenapa senyum-senyum? Kesambet ya lo?" Tanya Fika sambil menaikkan sebelah alisnya.
Tasya menunjuk ke arah depan pintu dengan dagunya. Fika mengikuti arah pandangan Fika dan di sana ada seorang cowok yang Fika kenali sedang memainkan ponselnya dengan bersandar di tembok dekat pintu.
"Asik, di jemput noh sama yayang Davin." Kata Tasya menyenggol bahu Fika. Pipi Fika bersemu merah.
"Apaan si, najis. lebay lo yayang-yayang. Siapa tau dia bukan nyamperin gue." Kata Fika sambil menggendong tas nya. Buku paket yang jatuh tadi, sudah ia masukkan ke dalam tas.
"Yee, ya terus nyamperin siapa dong?" Tanya Tasya dengan nada menggoda.
"Nyamperin lo. Tau ah, pulang yuk."
Ketika sampai ke depan pintu kelas, Fika melewatinya saja tanpa menengok ke Davin. Tidak ada tanda-tanda Davin menegurnya. Atau memang sedang serius dengan ponselnya sehingga tidak menyadari keberadaannya?
"Ah, kenapa kesannya gue berharap di tegur kak Davin?" Batin Fika.
Tapi, tiba-tiba tangannya di tarik. Fika mendongak.
"Kak Davin?" Tanya Fika.
"Kan gue udah bilang, pulang bareng." Kata Davin dengan wajah datar, seperti biasa.
"Aduh, gue balik dulu ya perut gue mules soalnya. Hehe, duluan ya." Setelah mengatakan hal itu, Tasya langsung menjauh dari Davin dan Fika. Daripada dia jadi 'kambing congek' lebih baik dia pulang duluan bukan?
"Ayo, balik." Ajak Davin.
"Eh, i-iya kak."
Mereka berdua melangkah menuju parkiran tanpa menyadari ada seseorang yang nelihat mereka dengan tatapan tidak suka.
✩✩✩✩✩✩
Cahaya kilau tampak menyergap matanya. Sebuah pintu berwarna putih itu diselimuti cahaya. Di balik pintu itu, ada seorang gadis sedang duduk. Davin menghampiri perempuan itu. Gadis yang selalu ada di hatinya.
Gadis itu tampak tersenyum menatap Davin yang menghampirinya.
"Luna?"
"Hai, Dav. Sini!" Kata Luna menyuruhnya untuk menghampirinya.
"Kamu ngapain di sini?" Tanya Davin yang sudah duduk di samping Luna.
Luna tersenyum manis ke Davin.
"Aku suka di sini. Di sini itu sejuk, nyaman dan bisa bikin betah deh." Luna memalingkan wajahnya ke depan.
Davin manggut-manggut.
"Lun," panggil Davin membuat Luna menoleh ke arahnya.
"Aku sayang kamu." Tiga kata meluncur dari mulut Davin. Luna tersenyum menatap Davin.
"Aku tau kok. Tapi, saat ini di hati kamu ada seseorang yang berhasil membuka hati kamu lagi."
"Siapa? Aku sayang sama kamu, Lun." Kata Davin sambil memegang erat tangan Luna.
"Aku tau. Tapi, kita nggak akan mungkin bersama. Dan, aku tau. Hati kamu sudah mulai terbuka dan terisi nama seseorang."
"Tap--"
"Aku tau, dan kamu pun udah menyadarinya, Dav. Dan tolong, kamu perjuangkan dia."
"Arghhhh...."
Davin terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dingin akibat mimpi itu. Mimpi itu selalu menghantuinya.
"Maksud Luna, Fika?" Davin ber-monolog sendiri. Tetapi, memang benar ap yang di katakan Luna, bahwa ia mulai menyayangi Fika. Mencoba menggantikan posisi Luna di hatinya.
Davin keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur. Tenggorokannya terasa kering setelah bermimpi tadi. Setelah minum dan berniat ingin kembali ke kamarnya, Davin mendengar suara isakan wanita. Suara itu terdengar dari kamar orang tuanya itu.
Davin langsung menuju ke kamar orang tuanya itu dan melihat seorang wanita memunggunginya dengan bahu sedikit bergetar seiring dengan isakannya.
Davin menghampiri Santi, ibunya yang duduk di pinggir ranjang.
"Ma?" Panggil Davin lirih.
Santi menengok ke Davin, lalu kembali memalingkan wajahnya. Mengusap air matanya yang membasahi pipinya.
"Iya, kenapa Dav?" Tanya Santi dengan suara serak khas orang habis nangis.
"Mama kenapa nangis?" Tanya Davin.
"Mama nggak kenapa-napa kan?" Lanjutnya.
Santi tersenyum melihat Davin walaupun matanya sembab karena menangis.
"Nggak papa kok. Kamu nggak tidur?"
"Mama kenapa nangis? Cerita sama Davin, ma." Ucap Davin yang menghiraukan pertanyaan ibunya itu. Santi mencoba menahan tangisnya agar air matanya tidak jatuh tepat di hadapan anaknya itu.
"Mama nggak papa kok. Nanti mama bakal cerita ke kamu." Balas mamanya sambil tersenyum. Davin tau, di balik senyum ibunya itu ada luka yang ibunya tutupi.
"Apa yang mama sembunyiin dari Davin ma?"
"Sekarang lebih baik kamu tidur. Besok kan kamu sekolah." Titah Santi, sambil mengelus bahu anaknya. Tak menjawab pertanyaan anaknya itu.
Davin menghela napas kasar.
"Tapi mama janji ya, bakal cerita ke Davin."
"Iya, mama janji. Yaudah, kamu tidur sana."
Davin mengangguk, mengiyakan perintah ibunya. Ia membiarkan ibunya tenang terlebih dahulu dan memilih untuk sendiri. Nanti, pasti ibunya akan bercerita sendiri tentang masalahnya. Walaupun, Davin tidak tega melihat ibunya yang menangis. Tetapi, ia lebih membiarkan ibunya untuk menenangkan pikirannya.
★★★★★★
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
Teen FictionPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia