"Akhirnya, kita bisa ketemu lagi ya, Dav?" Ucap seseorang itu dengan tangan terlipat di dada. Davin bergeming, sementara Fika menatap seseorang itu dengan tatapan bingung.
Cowok yang tidak Fika ketahui namanya, mendekat ke arah mereka berdua dengan tangan yang masih berlipat di dada dan tatapan mengintimidasi. Cowok itu terlihat seumuran dengan Davin.
"Oh, lo udah punya gandengan baru ya? Haha, buat jadi korban lo lagi?" Tanya cowok itu dengan tersenyum miring.
Korban lo lagi?
Apa maksudnya? Fika semakin tak mengerti dengan ucapan cowok asing itu. Ada hubungan apa Davin dengan cowok asing itu?
Davin masih diam saja, menatap cowok di hadapannya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Suasana semakin menegang dan sepi karena memang mereka sedang berada di basement.
"Kenapa lo diem aja? Lo takut cewek lo ini tau kalo lo yang bikin cewek lo itu ninggalin KELUARGANYA, SEMUANYA!! IYA?!!" Cowok itu menunjuk Fika dengan tatapan benci kepada Davin.
"Bangsat!" Umpat Davin yang hendak me-ninju cowok itu tetapi berhasil ditahan Fika.
"Udah kak, nggak usah diladenin. Jangan kebawa emosi." Ucap Fika mencoba menenangkan Davin yang napasnya sudah memburu karena emosi yang tertahan. Bahunya naik turun seiring napas yang memburu.
"Ha ha ha. Davin, Davin. Cewek lo cantik juga, Dav. Pinter banget ya lo milihnya! SAMPE PINTER BIKIN ADEK GUE NINGGALIN KELUARGA GUE." Wajah cowok asing itu memerah, menahan amarah yang memuncak.
Sementara Davin, sorot matanya menusuk tajam, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Wajahnya pun sedikit menyeramkan. Namun, sorot matanya itu menyiratkan kesedihan yang mendalam. Fika tau hal itu.
Davin kembali terbawa emosi lalu memukul cowok di hadapannya.
BUGHH!!
Cowok asing itu tersungkur dan meringis. Tangannya memegang bibirnya yang berdarah akibat pukulan Davin yang cukup keras. Cowok itu bangkit lalu menatap Davin dengan senyum meremehkan. Detik berikutnya, cowok itu melayangkan pukulan ke Davin. Davin terdorong ke belakang.
Fika yang melihat kejadian itu, lantas melerai perkelahian itu.
"Kak Davin, udah ayok! Nggak usah di tanggapin, buang-buang waktu." Kata Fika sambil membantu Davin berdiri. Mendengar Fika berkata seperti itu, Davin teringat pesan ibunya Fika untuk tidak pulang larut malam.
Fika membawa Davin menuju ke mobilnya meninggalkan cowok asing itu.
"Liat aja nanti. Lo bakal ngerasain apa yang gue rasain." Gumam cowok itu melihat kendaraan yang ditumpangi Davin melaju jauh.
✩✩✩✩✩✩
Semenjak jalan menuju pulang, Fika tidak membuka suara sama sekali. Begitupun dengan cowok disampingnya. Fika hanya terdiam, memandang luar jendela.
Sesampainya di rumah Fika, Fika tidak turun dari mobil melainkan menatap Davin.
"Kenapa nggak turun?" Tanya Davin.
"Kenapa liatin gue?" Tanya Davin lagi.
"Nggak. Maaf nih sebelumnya, cowok tadi itu siapa?"
"Bukan urusan lo." Jawab Davin ketus lalu memalingkan wajahnya.
"Gue tau, emang bukan urusan gue. Tapi, kalo lo cerita, lo bisa lega. Seenggaknya, ada temen buat berbagi." Fika berkata lembut sambil menatap kakak kelasnya itu. Davin melihat wajah Fika.
"Kalo lo butuh seseorang, gue bisa kok jadi temen lo. Lo bisa berbagi segala masalah ke gue." Kata Fika dengan tulus. Davin menatap Fika tepat di manik matanya, dan Davin bisa melihat ada ketulusan yang digambarkan mata berwarna coklat itu.
Davin menghela napas kasar, menunduk dan memalingkan wajahnya ke depan. Ia percaya kepada gadis itu.
"Dia itu kakak dari pacar gue, namanya Bagas." Davin mulai menceritakan kisah masa lalunya yang ingin ia luapkan sejak lama. Dan kini, Davin memutuskan untuk menceritakannya kepada Fika. Cewek yang berhasil membuatnya sedikit berubah dan menggantikan posisi gadis itu.
Fika mendengarkan kata demi kata yang terucap dari bibir Davin.
"Dulu, tepatnya dua tahun lalu gue punya pacar. Namanya Luna. Gue sama dia pacaran hampir satu tahun. Sampai pada suatu hari, hari dimana gue merasa kehilangan dan semuanya menjadi rumit."
Davin menjeda perkataannya. Mengumpulkan oksigen yang ada agar air matanya tidak terjatuh. Ia tidak ingin terlihat rapuh di mata orang lain.
Fika mengelus-elus bahu Davin mencoba menenangkannya dan membiarkan Davin menumpahkan segalanya yang sudah menjadi beban.
"Sampai pada akhirnya, Luna ninggalin gue, ninggalin keluarganya untuk selama-lamanya akibat kesalahan gue. Gu-e," Napas Davin tercekat, tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata dan air matanya sudah tak terbendung lagi. Davin menangis. Meluapkan segala beban yang ada di pikirannya. Fika mencoba menenangkan Davin dengan menggenggam erat tangan Davin. Fika terpaku kepada cowok di depannya. Bagaimana bisa, cowok seperti Davin memiliki masa lalu yang seperti itu.
"Gue cengeng benget ya? Nggak gentle, dan lo pasti bakalan ilfeel ke gue kan?"
Fika menggeleng.
"Adakalanya, seorang laki-laki menangis. Bukan karena cengeng, melainkan karena kehilangan sesuatu yang berharga di dalam hidupnya." Fika mengelus-elus kembali bahu Davin. Ia mengerti keadaan Davin. Orang yang terlihat kuat ternyata menyimpan seribu luka. Orang yang terlihat kuat hanya untuk menutupi hatinya yang rapuh dan tidak ingin memperlihatkan kepada siapapun.
"Bagas nggak terima adiknya pergi untuk selama-lamanya. Dan, mungkin dia masih dendam ke gue." Lanjut Davin.
"Gue bisa mengerti apa yang lo rasain sekarang. Tapi, satu hal yang harus lo tau. Jangan terlalu larut ke masa lalu lo, nanti malah lo terjebak di dalamnya. Ya walaupun gue tau, melupakan masa lalu tidaklah mudah. Tapi, seenggaknya lo berusaha sedikit-sedikit meskipun tidak sepenuhnya hilang." Kata Fika yang tangannya masih menggenggam tangan Davin.
Ucapan Fika membuat Davin tertegun. Tak menyangka, Fika akan berkata seperti itu. Kata-kata bijak yang membuat hati Davin sedikit lega.
Davin membalas menggenggam tangan Fika sambil tersenyum. Senyum yang telah lenyap selama beberapa tahun lalu.
"Thanks, Fika."
★★★★★★
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
METAMORFOSA [Completed]
أدب المراهقينPerasaan bisa bermetamorfosis juga kan? Dari yang awalnya biasa saja menjadi suatu hal yang sulit untuk diartikan. @teenlitindonesia