BXB (16)

1K 40 7
                                    

"Senyum yang lebih ku sukai daripada senyum milik Dovi."
-Bulan Celonicha-

***

-Bulan Celonicha-

Utha mengajak aku untuk pulang ke rumah, agar bisa lebih nyaman beristirahat. Utha begitu cerewet, seperti Bunda saja.

"Cha, ayo pulang." Ajaknya.

"Ih! Aku nggak apa-apa, Utha." Jawabku, memang terasa aneh jika yang dulunya menggunkan gue-lo tapi sekarang menjadi aku-kamu.

"Nggak apa-apa gimana? Kamu itu pingsan, dan mimisan. Lagian kenapa sih masih pengen sekolah?!" Tanyanya geram.

"Dirumah nggak enak, sepi."

Utha mendengus kesal, "Nanti aku temenin."

"Masa kamu bolos? Nggak, nggak boleh." Tukasku.

"Terus maunya apa?" Tanyanya pasrah, aku terkekeh.

"Ya, lanjut sekolah aja."

"Oke, tapi kita ke Dokter dulu." Pintanya.

"Tapi nanti balik ke sekolah lagi 'kan?" Tanyaku memastikan.

"Iya Icha,"

Akhirnya, aku dan Utha meminta izin kepada Guru piket untuk pergi ke Dokter. Sekarang kami sedang diperjalanan, untungnya jalanan Jakarta sedikit longgar.

Tanpa menunggu waktu lama, aku dan Utha sudah sampai di Klinik terdekat. Utha membukakan pintu mobil untuk ku keluar, layaknya seorang pacar. Pacar bohongan aslinya, tapi aku merasa seperti seorang Tuan Putri.

"Orang nggak kenapa-kenapa juga, terlalu lebay Utha nih." Ledekku.

Ia terus diam dengan wajah datarnya, tidak menggubris ledekan ku.

***

Kini aku dan Utha dalam perjalanan pulang setelah aku dipastikan hanya kelelahan oleh Dokter, tapi Utha bukan membawaku kembali ke sekolah. Aku sangat kesal dengan Utha, berani-beraninya ia mengelabuiku.

"Dasar penculik!"

Utha tertawa, dan terus fokus menyetir. "Penculik cinta,"

Aku memutar bola mata malas, sempat saja ia menggombal. Receh.

"Aku ini cuman kecapekan, jadi ngapain pulang sekarang sih. Lagian tas masih disekolah," gerutuku.

"Nanti suruh Dysha anterin," jawabnya singkat.

"Tapi gue mau sekolah, Tha." Rengek ku.

Utha mengacak puncak kepalaku, dan mengelus punggung tanganku. "Cha,"

Aku menoleh, tatapannya sendu. "Apa?"

"Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, kamu terlalu berharga buat aku. Buat semuanya. Kamu nggak bisa kecapekan, dan harus banyak istirahat. Yang paling penting, nggak boleh banyak aktifitas. Jangan pernah membantah, kalo itu buat kebaikan kamu sendiri. Tolong ngertiin aku, karena aku ingin yang terbaik buat kamu."

Aku tersentuh, ucapan Utha seolah menghangatkan hatiku. Sifat menyebalkannya seketika hilang, dia berubah menjadi seorang cowok penyayang.

Mobil yang kami naiki berhenti, ternyata lampu merah.

Sekarang aku merasa benar-benar tidak pernah berguna untuk Utha, selalu saja merepotkannya. Sedangkan dia selalu ingin yang terbaik untuk ku, tapi aku kadang acuh tak acuh dengannya. Utha juga berharga bagiku, ia bagai pahlawan untukku. Aku tidak tau harus apa, membalas kebaikannya bagaimana?

Bulan X BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang