"Sulit rasanya untuk mengikhlaskannya pergi."
-Bulan Celonicha-***
- Bulan Celonicha -
Suasana rumah Utha sangat sepi, semua jendela tertutup. Aku segera melangkah masuk ke dalam halaman rumahnya. Ku temukan Bi Tami yang sedang menyapu halaman.
"Assalamualaikum, Bi,"
Bi Tami menoleh, ia menatapku dengan ekspresi terkejut.
"Walaikumsalam, Non Icha, kenapa ya?" Tanya Bi Tami.
"Utha ada nggak, Bi?"
"Den Utha, Non?"
Aku mengernyitkan dahi, pertanda bingung dengan sikap Bi Tami yang tidak seperti biasanya. Beliau terlihat sedikit panik.
"Iya, Bi. Utha nya mana? Icha mau ketemu nih," kataku.
"Aduh, Non. Bibi nggak bisa kasih tau," jawab Bi Tami.
"Lho, kenapa memangnya?"
"Maaf, Non. Bibi nggak bis-"
Ponsel Bi Tami berdering, beliau langsung mengambil dari saku celananya.
"Hallo, Nya," ucapnya pada penelpon.
"Inalillahi wainaillahi rojiun, ya udah, saya ke sana sekarang Nya." Ucap Bi Tami lagi, apa yang terjadi? Siapa yang menelpon Bi Tami?
"Bi, kenapa?" Ku tanya.
Beliau langsung menitikkan air matanya, dan langsung memeluk tubuhku.
Ku mengusap-usap punggung Bi Tami, mencoba memberi sedikit ketenangan.
"Bi, apa yang terjadi?" Ku tanya lagi.
Beliau melepaskan pelukan, lalu memegang kedua tanganku. "Non Icha harus sabar dan tabah, ya."
"Sabar dan tabah untuk apa, Bi? Kenapa? Ada apa?" Aku yang mulai tidak sabaran, ku tinggikan sedikit nada berbicaraku.
"Den Utha meninggal, Non."
Deg!
Jantungku seolah berhenti, badanku lemas, dan napasku tercekat. Apa yang baru saja ku dengar?
Aku terjatuh, aku mengeluarkan tangisanku yang begitu menyedihkan. Aku tak percaya! Utha pasti masih ada, ada bersamaku dan semuanya.
Bi Tami ikut duduk, beliau mengelus lembut bahu kananku. Bi Tami juga menangis, tapi entah mengapa aku tidak percaya.
"Bi, Bibi bohongkan? Utha masih ada 'kan? Utha itu masih sehat-sehat kok, pasti. Nggak mungkin Utha meninggal, nggak mungkin. Utha juga janji bakal selalu bareng-bareng sama Icha. Utha janji nggak bakal ninggalin Icha, nggak bakal biarin Icha sendiri. Icha nggak percaya, Utha pasti masih ada."
"Non, Bibi nggak bohong. Tadi Nyonya telpon, dan bilang kalau Den Utha meninggal." Jelas Bi Tami.
"Nggak! Nggak mungkin!" Jeritku histeris.
"Non Icha harus tenang, lebih baik kita sekarang ke rumah sakit." Ajak Bi Tami.
Bi Tami membantuku untuk bangun, lalu kami langsung pergi menuju mobilku. Aku tancapkan gas mobil, sedikit lebih kencang. Aku panik, itu pasti. Perasaan tidak percaya masih menggeluti pikiranku, dan air mata yang terus mengalir di pipiku.
Tidak perlu berlama-lama dijalan, kini aku dan Bi Tami sudah sampai dirumah sakit JayaKarta. Kami langsung bergegas masuk mencari ruangan Utha.
Terlihat ada Tante Jessa dan Om Mawa. Tapi mengapa ada Dysha, Toni, dan Rendy? Aku dan Bi Tami langsung menghampiri mereka.
"Tante," panggilku lirih.
Tante Jessa menoleh, diikuti Om Mawa, Dysha, Tino, serta Rendy. "Icha," panggil Tante Jessa. Dan beliau langsung memeluk ku erat.
"Utha ninggalin kita, Cha."
Jadi, apa yang diucapkan Bi Tami itu benar? Utha meninggalkan kami semua?
Tubuhku lemas, seketika aku terjatuh lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, semua ini terlalu mengejutkan. Bagaimana aku bisa kuat? Kalau orang yang bisa membuatku kuat menghadapi masalah selama ini telah pergi, untuk selamanya.
Ya, Allah, mengapa engkau mengambil Utha begitu cepat? Mengapa engkau memisahkan hamba dan Utha untuk selamanya. Mengapa secepat ini?
"Lan, lo harus tabah. Lo harus iklhas, jangan sedih begini. Bintang pasti juga sedih kalo lihat lo kayak begini. Kita semua juga sangat-sangat merasa kehilangan, bukan lo aja. Jadi, lo harus kuat. Kita harus saling menguatkan," ucap Dysha lembut kepadaku.
Apa yang Dysha katakan memang benar, tapi sulit rasanya untuk mengikhlaskan Utha pergi. Apalagi pergi untuk selamanya.
***
Untuk chapter ini juga dibikin pendek, soalnya author nggak bisa ngetik yang sedih2 begini. Jadi baper sendiri.
Kalian sendiri baper juga? Atau nggak?
Jangan lupa Vomment ya gengs!
See u and Love u❤
Salam BuBi🙋
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan X Bintang
Teen Fiction[COMPLETED] Kata sebagian orang, jika seorang perempuan dan lelaki menjalin hubungan persahabatan itu tidak akan pernah lancar. Di antara keduanya pasti ada yang merasakan perasaan yang berbeda, perasaan lebih dari seorang sahabat. Namun, ada sebag...