BXB (18)

884 41 4
                                    

"Sepertinya aku selalu memujinya, ini berlebihan."
-Bulan Celonicha-

***

-Bulan Celonicha-

  Aku bangun pagi, tidak ingin terlambat dan menyebabkan ku pingsan lagi. Tidak, aku tidak ingin itu terjadi. Senyum Utha hilang karena mengkhawatirkanku. Wait! Kenapa jadi membahas Utha? Ah! Pagi-pagi sudah muncul saja namanya, seharusnya 'kan Dovi, karena mulai kemarin malam ia adalah seorang pacarku. Ya, sudahlah.

  Hari ini, aku dijemput Dovi. Layaknya seorang pacar, selalu menjemput jika ingin berangkat sekolah.

  Karena malam tadi aku benar-benar kelelahan, dan mataku yang sudah tidak bisa terbuka. Alhasil, aku tidak mengabari Utha jika aku sudah pulang dengan selamat sentosa. Tapi, mungkin juga ia sudah tidur.

"BULAN!"

  Tiba-tiba terdengar teriakan Bunda dikamarku, Bunda selalu saja memanggilku dengan teriakan. Menyebalkan, bukan? Bunda pulang dari Bandung malam tadi. Beliau mengantarkan Bang Eza, sekalian ingin refreshing, kata Bunda.

"Iya, Bun?" Tanyaku. Dan, langsung keluar kamar untuk menemui Bundaku yang cantik pagi ini.

"Itu, si Dovi jemput kamu. Emang Utha kemana?"

  Aku terdiam sesaat, haruskah ku katakan bahwa Dovi sekarang menyandang sebagai pacarku? Membingungkan.

"Kenapa bengong?"

"Gimana, ya, Bun." Ucapku gelisah, aku tidak tau harus mengatakannya mulai darimana.

"Gimana, apanya?" Tanya Bunda heran.

"Ehm ... Icha, udah pacaran sama Dovi Bun." Akhirnya kalimat itu tersampaikan, hatiku sedikit lega. Bunda tidak akan marah jika aku memiliki seorang pacar, asalkan orangnya baik-baik dan tidak mengganggu konsentrasiku dalam pelajaran.

"Oh, ya? Ah! Gadis Bunda sudah memiliki kekasih." Ucap Bunda, kenapa begitu formal. Pastinya sekarang Bunda sedang mengejekku, dasar Bunda cantik.

"Nggak apa-apakan sama Dovi, Bun?" Tanyaku takut-takut.

Bunda menggeleng, aku lega. "Tapi, Bunda kira kamu bakal pacaran sama Utha."

  Utha? Orang jika melihatku bersama Utha, memang akan menganggap kalau kami memiliki hubungan spesial. Tapi kami hanya sebatas sahabat saja, tidak lebih.

  Aku terkekeh, lalu mengambil roti berselai cokelat yang disiapkan Bunda. Setelah itu melahapnya, dan mencium punggung tangan Bunda. Aku tidak ingin Dovi merasa kurang nyaman denganku, karena selalu membuatnya menunggu.

  Dovi sedang duduk disofa, ia memainkan ponselnya. Kenapa pagi ini ia terlihat tampan? Ah! Aku genit.

"Dov," panggilku.

Ia menoleh, "Eh. Udah siap?" Tanyanya. Lalu aku mengangguk, dan disusul suara Bunda.

"Kalian hati-hati, ya. Jaga jarak, jangan terlalu mesra. Bukan mukhrim, ingat!"

"Iya, Bun. Icha ngerti kok," jawabku paham.

"Untuk Dovi, Tante pikir kamu tau apa yang harus kamu lakukan untuk Bulan. Kamu harus menjaganya, jangan buat dia menangis, apalagi terluka." Kata Bunda kepada Dovi, aku merasa Dovi sedang berada diruang bimbingan konseling.

Dovi menghampiri Bunda, lalu menampakan senyum manisnya. "Siap, Tan." Setelah itu Dovi mencium punggung tangan Bunda, seperti yang aku lakukan sebelumnya.

  Sekarang kami sudah berangkat sekolah, tepatnya sedang dalam perjalanan ke sana. Tapi, aku tetap diam. Dan Dovi tidak membuka suara, kami terlihat canggung. Apakah seperti ini rasanya pacaran? Jangan bingung, aku memang tidak pernah merasakan pacaran. Baru kali ini, karena aku hanya pernah dekat dengan berbagai teman cowok.

Bulan X BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang