Penyesalan

156 8 0
                                    

Yudha Pov

Memang benar kata orang-orang jika cinta itu buta. Ya membutakan apa yang benar! Aku tak menyangka jika pada akhirnya harus begini. Sungguh aku gak bermaksud untuk membuat Reiza patah hati dengan fakta bahwa sesungguhnya aku jatuh cinta dengan Debora, bukan dengan dia. Namun aku tak pernah terpikirkan satupun untuk menghancurkan hati Reiza.

"Bodoh!" teriakku sambil mengacak rambutku frustasi. Reiza sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, tapi kenapa aku malah menyakiti hatinya dengan cara yang seperti ini? Sungguh licik Debora bisa memanfaatkan ku seperti ini! Namun aku juga terlalu bodoh yang bisa tergila-gila dengan cintanya sampai-sampai aku harus mematahkan hati Reiza.

Perlahan air mata mengalir membasahi kedua pipiku. Aku menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku dimana kedua tanganku bertumpu di lutut ku. Ini adalah kali kedua aku menangis hanya karena wanita, tapi kali ini beda. Aku menangis kali ini karena menyesali segala kebodohanku.

Tiba-tiba di pikiranku muncul sekilas memori ketika Veve tersenyum bahagia sehabis aku menyanyikan lagu untuknya di rumah sakit waktu itu. Aku baru tahu alasan mengapa aku jatuh cinta pada Debora karena Debora mirip dengan Veve. Dari  bicaranya yang agak cerewet, wajahnya pucat tapi tetap mempesona, manisnya ketika dia tersenyum, tapi tidak untuk sifatnya. Veve yang aku kenal adalah cewek yang periang, humoris, dan murah senyum. Semua berbanding terbalik dengan Debora yang licik dan psikopat.

Entah kenapa aku jadi rindu pada Veve? Aku ingin memetik gitar di hadapannya dengan menyanyikan jutaan lagu yang menggambarkan betapa beruntungnya diriku mengenal dirinya. Aku ingin memegang jari-jarinya yang lentik dan putih bersih, lalu aku ingin mengucapkan suatu hal.

"Suatu hari nanti jari manis ini akan menjadi milikku. Suatu hari nanti jari manis ini akan mempesona siapapun yang melihatnya karena ada cincin yang menandakan cintaku padamu tiada ujungnya," kataku sambil menyentuh jari manis Veve di tangan kanan.

"Akhh!!!" teriakku histeris ketika mengingat betapa pedihnya kehilangan Veve.

"Yudha! Jaga baik-baik dirimu ya! Sekalipun kini diriku tak akan lagi bersamamu di dunia ini! Namun tetap percayalah suatu hari nanti kita bisa bahagia bersama-sama di taman yang selalu kau ceritakan padaku sewaktu kau mengantarku pulang ke rumah, yaitu taman yang indah di surga." tulisan di surat terakhir Veve padaku dengan tulisan yang susah untuk dibaca karena tangan kanan Veve hampir patah akibat kecelakaan, tapi dia masih punya niat menuliskan ini padaku.

"Ve! Aku terlalu bodoh untuk kau tunggu di surga sana," kataku dengan lirih. "Aku tak pantas dikatakan sebagai laki-laki lagi! Aku sudah mematahkan hati orang yang sudah aku anggap adik sendiri," lanjut kataku.

Author Pov

Tanpa disadari oleh Yudha, arwah dari Veve tersenyum di hadapannya. Namun sayang Yudha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Yudha benar-benar merasa tidak pantas lagi untuk dicintai oleh Veve. Dia merasa suatu kesia-siaan bagi Veve menunggunya di surga, sedangkan dirinya saja tidak becus dalam menjalani kehidupan di dunia.

"Bagaimanapun juga kau adalah laki-laki yang pernah membuat hidupku jadi berwarna sampai aku mengakhiri hidupku dengan senyuman syukur karena aku memilikimu," kata arwah Veve pada Yudha. Sontak Yudha berhenti menangis, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan pribadinya. Namun tak ada seorangpun yang ada di ruangannya. Yudha sangat tahu pasti itu suara Veve, tapi dimanakah dia? "Hati yang hancur dapat kembali utuh asalkan ada cinta dan pengorbanan," kata arwah Veve, lalu arwah Veve menghilang.

Yudha sama sekali tak melihat Veve sama sekali, tapi dia benar-benar dengar dan tahu pasti itu suara Veve. "Ve? Aku mohon tunjukkan dirimu!" teriak Yudha sambil terus mengedarkan pandangannya.

"Bacot kau! Gak tahu apa aku lagi ngitung gaji aku?" kata host melalui alat pengeras suara di ruangan pribadi Yudha.

Yudha akhirnya memilih diam, lalu larut dalam kesedihannya. Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hati Reiza menjadi utuh, maka aku akan lakukan itu. Batin Yudha.

***
Suasana di area permainan benar-benar sepi saat ini. Udara dingin masih terus bertiup sambil menerbangkan kristal es kesana kemari. Yudha dan Reiza memilih untuk mengurung diri di ruangan pribadi mereka, Lina memilih untuk duduk melamun di kursi di taman belakang, sedangkan Debora sibuk mengurusi mayat Kelly agar bisa ditaruh di taman belakang. Hanya Debora saja yang terlihat lebih bahagia dibandingkan lainnya.

"Nih pakai kaosnya!" perintah Debora sambil melempar kaos hitam ke arah wajah Lina.

"Kau pakai saja!" balas Lina dengan nada dingin dan kedua matanya menatap bunga mawar di hadapannya dengan tatapan kosong. "Percuma toh malam ini kamu bakal bunuh aku kan?" tanya Lina.

Debora tersenyum sinis. "Ya iyalah bego! Kalau aku gak bunuh kamu mana mungkin aku bakal menang?" balas Debora.

Lina memeluk kedua lututnya sendiri, lalu membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Debora melepas sweater dan seragam yang dia pakai, lalu merangkapkan dua kaos hitam yang dia ambil dari Kelly tadi ke tubuhnya. Kini sudah ada tujuh kaos hitam yang dipakainya sebagai kaos rangkapan. Setelah itu Debora merangkapkan semua kaos hitamnya dengan seragam sekolahnya dan sweater. "Deb, aku mau minta satu hal sama kamu," kata Lina dengan lirih.

Debora tak menggubris perkataan Lina, dia malah membersihkan sweaternya yang agak kusam. Lina mendongak dan menoleh ke Debora. "Aku mau kau bunuh aku saja sekarang," kata Lina dengan pasrah.

Debora tersenyum sinis, lalu menampar pipi kiri Lina. "Bego! Ngapain kamu buru-buru pingin mati? Hah?" tanya Debora sambil mendekat ke arah Lina. Debora menumpukan kedua telapak tangannya di kedua lututnya agar wajahnya bisa lebih dekat lagi untuk memandang wajah pengecut Lina. Debora tersenyum puas melihat kedua mata Lina berkaca-kaca seperti anak kecil yang nangis gara-gara gak dibelikan permen. "Gak usah memandangku dengan wajah seperti itu!" bentak Debora sambil menampar kedua pipi Lina berkali-kali sampai kedua pipi Lina memerah. Debora tertawa puas sambil memasang seringai licik.

Air mata mengalir kembali dari kedua mata Lina. "Deb! Apa sih salah kita sama kamu? Kenapa kamu tega ngelakuin ini semua kepada kita?" tanya Lina dengan lirih. "Apa kau tak melihat mayat-mayat di belakangmu itu? Siapa yang telah membunuh mereka semua?" tanya Lina lagi.

Debora menoleh ke arah mayat-mayat teman-temannya, lalu tersenyum sinis. Setelah itu dia menoleh ke arah Lina. "Apa aku yang membunuh mereka semua?" tanya Debora balik. "Gak kan?" tanyanya lagi.

"Tapi secara gak langsung kau telah membunuh mereka semua!" bentak Lina pada Debora yang dihadiahi tamparan lagi oleh Debora. Lina mengelus-elus pipi kirinya karena sudah terlalu panas. "Apa salah kita sama kamu? Kita berbuat jahat apa sama kamu? Sampai kamu tega bunuh mereka semua? Dan habis ini kau akan bunuh aku, Yudha, dan Reiza," kata Lina. "Apakah dengan membunuh orang itu bisa membuatmu bahagia? Hah?" tanya Lina.

Debora menangkup kedua pipi Lina. "Kalau kau bertanya apakah aku bahagia melakukan ini semua, maka aku akan jawab iya," kata Debora dengan senyum liciknya.

Lina menaikkan kedua alisnya. "Oh ya?" tanya Lina dengan nada menantang. "Kalau bahagia kenapa kedua matamu berkaca-kaca ketika aku berkata seperti tadi?" tanya Lina lagi.

Debora langsung membersihkan air mata di kedua matanya. "Gak kok! Aku nangis karena bersyukur bisa melihat kalian semua menderita," kata Debora sambil menyeringai jahat.

"Gak ada manusia yang diciptakan untuk berbuat jahat. Aku yakin hati kecilmu pasti gelisah ketika kau melakukan ini semua, ya kan?" tanya Lina untuk kesekian kalinya.

"Gak usah sotoy kau! Mau mati aja sok-sok ngatur orang!" bentak Debora, lalu mengambil jaketnya yang dia letakkan di kursi dari tadi dan pergi meninggalkan Lina.

Lina kembali memeluk kedua lututnya, lalu membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Kristal-kristal es mulai turun kembali, sekalipun berada di ruangan terbuka seperti di taman belakang, padahal di taman belakang masih terasa ada sinar matahari. "Selamat tinggal semuanya," gumam Lina, lalu punggungnya terlihat bergetar dan suara tangisannya makin keras.

***

Author note:

Wuahh gimana nih ending dari semuanya? Pantengin terus ya!

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang