Eksekusi Malam Pertama

173 19 2
                                    

Akhirnya mereka bertiga masuk ke ruangan pribadi Bima dan menemukan Bima tertidur lelap di atas kasur. "Nis! Coba kita ikat kedua tangan dan kedua kakinya di sudut-sudut kasur," ajak Theo pada Banis.

"Boleh juga," balas Banis sambil berjalan ke arah Bima. Banis dan Theo mulai sibuk dengan kegiatan mengikat, sedangkan Debora hanya duduk memandang mereka berdua bekerja.

Akhirnya kedua tangan dan kedua kaki Bima sukses terikat di sudut-sudut tempat tidurnya. "Sekarang siapa yang akan membunuh Bima?" tanya Theo dengan suara bisik-bisik.

"Debora aja bagaimana?" usul Banis.

"Huh? Kok aku?" tanya Debora tak terima.

"Ya iyalah kamu hanya diam di situ gak bantu kita ngikat tali. Sekarang kamu lah yang bunuh Bima," ucap Banis santai.

"Laki-laki macam apa kamu! Tega banget nyuruh perempuan buat bunuh orang kayak gini!" balas Debora.

"Dasar cewek!" kata Banis.

Plak

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi kiri Banis. "Ehh Debora sakit tahu!" kata Banis emosi.

"Sakit ya? Maaf tadi ada kecoak di pipi kamu," kata Debora dengan nada pura-pura bersalah. "Dasar cowok lemah!" teriak Debora yang membuat Banis makin emosi.

"Udah!" lerai Theo. "Kita ini satu tim! Gak usah saling ribut masalah beginian!" kata Theo dengan tegas. "Udah mendingan Banis aja yang bunuh Bima," lanjutnya.

"Ehh anjir kok aku lagi?" tanya Banis masih tak terima.

"Karena kamu yang pertama kali ngusulin buat bunuh Bima," jawab Theo. "Lagipula kamu bisa melampiaskan dendam kamu ke dia, bukan?"

"Ehh gak gitu juga! Aku mah takut dosa," balas Banis panik.

"Kamu pikir kita berdua gak takut dosa juga?" tanya Debora dengan suara meninggi.

"Ahh!!!" pekik Banis sambil mengacak-acak rambutnya. Tiba-tiba Banis mengubah raut wajahnya menjadi serius. "Jika emang kalian pingin aku yang membunuhnya maka aku akan melakukannya," kata Banis yang membuat Debora dan Theo takut seketika karena raut wajah Banis yang berubah seperti orang habis kesurupan.

"Nah gitu dong," kata Debora semangat.

"Tapi beneran aku takut bunuh orang," kata Banis berubah jadi panik lagi.

"Udahlah tinggal tusuk tuh pisau ke perutnya Bima, selesai kan?" ucap Theo santai.

"Selesai palalu! Emang mudah ngumpulin mental buat bunuh orang?" tanya Banis sambil terduduk lemas di bawah.

"Ihh kok kamu lemah amat sih!" pekik Debora sambil menarik bawah bahu Banis agar bangkit berdiri, tapi Banis memberontak. Akhirnya Theo memegang kedua kaki Banis, lalu Debora dan Theo mengangkat tubuh Banis ke atas kasur Bima.

"Ehh kalian kok jahat banget sih," kata Banis hendak menangis.

"Ehh dengerin ya! Kalau kamu takut dosa. Sebenarnya kita udah dosa duluan dari tadi soalnya rencanain yang jahat buat bunuh Bima. Sekarang tinggal bunuh aja apa susahnya?" kata Debora yang sedikit mengancam.

"Apa susahnya? Mending kamu aja yang bunuh dia gimana?" balas Banis.

"Oke gini deh malam ini biar Banis yang bunuh duluan! Besok giliranku. Setelah itu besoknya lagi biar Debora yang bunuh. Dengan asumsi kalau kita bertiga selamat dari vote siang tiga hari berturut-turut, gimana?" usul Theo.

"Aku setuju sama Theo," sahut Debora.

"Awas ya kalau besok malam aku yang bunuh orang lagi!" ancam Banis. Debora dan Theo mengangguk. Setelah itu Banis menggenggam pisaunya dengan tangan yang gemetar sambil pandangannya menuju ke muka Bima.

"Lebih seru kalau kita nunggu Bima bangun terus kita bunuh," usul Theo.

"Ide bagus," balas Debora sambil mendekati Bima yang sedang tertidur pulas. "Berapa jam reaksi obat tidurnya?" tanya Debora sambil memperhatikan raut wajah Bima.

"Mana aku tahu? Host tadi aja gak bilang apa-apa," jawab Banis dengan nada getir.

Debora tersenyum sinis, lalu menampar kecil pipi kanan Bima berkali-kali. Namun Bima pun tak bangun-bangun juga. Setelah itu Debora ganti menampar kecil pipi kiri Bima, tapi hasilnya sama saja. "Coba aja gelitikan ketiaknya," usul Theo.

"Gak mau ahh!" balas Debora.

"Guys kapan aku bunuh Bima guys?" tanya Banis dengan suara yang miris.

"Tunggu dia bangun!" jawab Debora singkat dengan kedua tangannya masih menampar pelan kedua pipi Bima bergantian. "Kayaknya perlu aku coba ide Lo nih," kata Debora yang ditujukan pada Theo. Debora langsung menggelitik kedua ketiak Bima yang terbuka lebar-lebar karena kedua tangannya diikat di sudut-sudut kasur. Begitu lama Debora menggelitik ketiak Bima tapi sama saja gak ada hasilnya.

Plak

Tamparan begitu keras mendarat di pipi kiri Bima. Akhirnya Bima mulai mengerjap kedua matanya. "Kalau ditampar keras begini baru bangun dia," komentar Debora sambil melihat tangan kanannya yang memerah karena dibuat menampar pipi Bima tadi.

"Ehh kenapa kalian bertiga di sini?" tanya Bima yang terkejut.

"Selamat datang di neraka," jawab Debora dengan senyum menyeramkan. Setelah itu Debora memberi isyarat pada Banis untuk mulai aksi pembunuhannya. Akhirnya Banis mengangkat pisaunya tinggi-tinggi lalu menancapkannya di dada kiri Bima. Seketika Bima pun tak bernyawa di tangan Banis.

Namun Banis justru menangis habis melakukan hal tersebut. Dia begitu menyesal karena tega membunuh Bima seperti itu. "Udah selesai ya?" tanya host. "Jika udah selesai silakan kalian baca kartu roleplay yang dimiliki Bima," perintah host. Debora mengambil kartu roleplay Bima yang disimpan di kantong celananya, lalu Debora melihat bahwa Bima hanya civilian. Akhirnya Debora menaruh kartu roleplay itu di tangan kiri Bima yang sudah mulai dingin dan pucat.

"Keluarlah dari tempat ini!" perintah host pada mereka bertiga. Akhirnya mereka bertiga keluar tanpa sepatah kata pun. Sebenarnya hati kecil mereka tak tega melakukan pembunuhan seperti tadi. Namun sudah terlanjur semuanya dilakukan.

Banis pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seragam dan pisau yang terkena darahnya Bima, sedangkan Debora dan Theo kembali ke ruangan pribadi masing-masing.

Setelah Banis keluar dari kamar mandi dan masuk ke ruangan pribadi. Host mulai menggedor-gedor salah satu pintu ruangan pribadi. "Sniper keluarlah dari tempat persembunyianmu!" teriak host. Akhirnya keluarlah Evelyn dengan pistol di genggaman tangannya. "Pilihlah sekarang! Malam ini kau akan membunuh orang atau tidak?" tanya host.

Namun Evelyn menggeleng-gelengkan kepalanya tanda dia tak mau membunuh sekarang. "Baiklah masuklah kembali ke ruangan pribadimu," perintah host. "Sisa pelurumu masih utuh dan berjumlah tiga," jelas host. Setelah itu Evelyn masuk kembali ke ruangan pribadinya.

Selang beberapa menit host menggedor-gedor kembali beberapa pintu ruang pribadi partisipan game. "Werewolf hunter keluarlah dari tempat persembunyianmu!" teriak host. Akhirnya Kevin, Lidya, dan Lina keluar dari ruangan pribadi mereka masing-masing dengan ragu. "Mendekatlah!" perintah host. Mereka bertiga mendekati host tersebut tanpa sepatah kata pun.

"Ikutlah aku!" perintah host itu lagi sambil melenggang pergi. Akhirnya Kevin dengan berani mengikuti host itu terlebih dahulu, baru Lidya dan Lina mengikuti di belakang Kevin. Sesampainya di ruangan pertemuan terdapat 8 akuarium dengan nama-nama partisipan game kecuali orang yang memegang peran werewolf hunter. "Diskusikan lah siapa orang yang akan kalian lihat kartu roleplay nya. Ingat hanya satu orang saja untuk satu malam! Jadi pakailah kesempatan ini dengan bijak!" jelas host. "Mengerti?" tanya host yang hanya dibalas anggukan ragu-ragu oleh mereka bertiga.

"Waktu diskusi 5 menit dari sekarang," kata Host yang memulai perhitungan waktu mundur di meja bundar di ruang pertemuan.

***

Note Author:

Jangan lupa vote dan rekomendasi cerita ini ke lainnya ya.

See you next part

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang