Pembunuhan Malam Kedua

124 8 0
                                    

Debora Pov

"Apaan maksudnya?" gumamku. Aku membuka plastik itu, lalu mengeluarkan seragam SMA tersebut dari plastiknya. Setelah itu aku membongkar lipatannya, sehingga aku buka dan bentangkan seragam itu di udara. Aku rasa seragam yang aku terima lebih besar daripada seragam yang aku kenakan saat ini. Namun aku bersyukur karena seragam yang aku kenakan ini sudah terlalu kecil untuk tubuhku, padahal seragam sekolah ini diukur kira-kira satu bulan yang lalu. Namun entah kenapa ketika aku di sini seragam ini makin lama makin menyusut? Atau jangan-jangan tubuhku makin gemuk?

Aku menepis pikiran masalah tubuhku makin gemuk soalnya di sini aku baru makan hanya saat hari pertama saja. Hari ini saja aku belum makan sama sekali. Jadi bagaimana aku bisa gemuk? Tapi gak tahu juga sih kenapa seragamku bisa jadi kekecilan di sini. Aku masuk ke ruangan pribadiku, lalu melepas seragam sekolah yang kukenakan, sehingga aku hanya mengenakan kaos rangkapan hitam. Aku melihat ke arah cermin, aku juga merasa aneh. Seharusnya baju rangkapan ini baru dibeli 3 hari sebelum acara MOS berlangsung, tapi kenapa sekarang semakin kekecilan bagi tubuhku?

Aku bodo amat masalah itu, aku mengendus-endus kedua bahunya, lalu kaos rangkapan yang ia kenakan. Aku mencium aroma bau ketiak di kedua bahuku dan bau keringat di baju rangkapan ku. Mungkin lebih baik aku mandi sekarang, tapi rasanya malas buat mandi. Aku keluar dari ruangan pribadiku hendak mengecek kamar mandi, tapi aku bertemu dengan Yudha yang sudah selesai mandi dengan raut wajah yang kecewa.

"Maaf air di kamar mandi habis, Deb," katanya dengan nada bersalah. "Tapi beneran ini aku aja rasanya gak mandi soalnya airnya tinggal dikit banget. Lagian kenapa kamu gak mau mandi duluan tadi?" lanjutnya.

Aku tersenyum kecil padanya. "Gak usah merasa bersalah karena kondisinya memang begini," kataku. Entah kenapa aku jadi merasa bahagia mendengar kalau air di kamar mandi udah habis? Soalnya aku juga malas banget buat mandi. "Ya udah kalau gitu aku balik lagi," kataku sambil hendak pergi, tapi tangan Yudha memegang telapak tangan kananku.

"Beneran gak apa?" tanya Yudha.

Aku mengangguk dan tersenyum setulus mungkin. "Gak apa kok santai aja," kataku sambil melepaskan tanganku dari genggaman tangannya, lalu masuk ke ruangan pribadiku lagi.

Aku bingung sebenarnya kalau gak mandi karena bajuku sudah basah karena keringat dan mulai bau. Namun aku langsung mengambil seragam sekolah yang dikasih--mungkin--oleh dalang game ini, lalu merangkapkan kaos hitam polos yang aku kenakan dengan seragam sekolah itu. Sehabis aku merangkapkannya, aku memasukkan bagian bawah seragam sekolahku ke dalam rok seragamku agar terlihat rapi.

***
"Bodoh kau!" bentak Theo padaku saat waktunya bagi werewolf keluar dari kamar untuk membunuh satu orang di malam hari kedua. Kurang 10 menit lagi waktu menunjukkan pukul 12. "Aku tak habis pikir bagaimana kau malah vote Banis di siang tadi, lalu kau sendiri yang membunuh Banis. Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu?" bentaknya lagi.

Aku benar-benar bingung dengan maksud ucapannya. "Apa sih? Gak usah kayak cewek PMS deh," keluhku. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

Theo mengacak rambutnya frustasi sambil berteriak emosi. "Kau bego atau gimana sih? Kau itu salah!" teriaknya.

"Ohh ya? Salah apa aku?" tanyaku benar-benar tak mengerti apa maksudnya.

"Aku dan Banis udah berencana untuk mengacaukan hasil vote siang tadi, tapi kenapa kau yang justru mengacaukan rencana kami?" tanyanya emosi.

"Apaan sih? Rencana apa? Kok gak bilang-bilang?" tanyaku beruntun.

"Keluarkan kartu roleplaymu!" perintahnya. Aku mengeluarkan kartu roleplayku dari rok seragam. "Baca peraturan hasil vote nomor 5!" perintahnya lagi.

Jika ada seseorang yang di vote paling banyak oleh temannya, tapi tidak mewakili suara lebih dari 50% partisipan game yang masih hidup, maka hasil vote batal, dan tidak ada yang dibunuh siang itu.

"Paham?" tanya Theo lagi padaku.

"Aku tak baca masalah ini," jawabku dengan nada bersalah karena aku baru tahu ternyata jika seandainya aku tidak memilih Banis tadi, maka Banis tidak dibunuh siang tadi karena suara votenya hanya mewakili 50% dari partisipan game yang masih hidup.

"Makanya budayakan membaca!" teriak Theo. "Sekarang kalau gini apa bisa kau kembalikan nyawa Banis? Hah?" bentaknya lagi sambil menjambak rambutku.

Plak

Aku menampar keras pipi kanan Theo. "Sakit bego!" balasku. Theo makin menarik rambutku dengan kasar. Akupun mendorong tubuhnya kasar, tapi dia makin menarik rambutku dengan kasar. Akhirnya aku tendang saja kemaluannya, baru dia lepas. "Dasar! Beraninya aja sama cewek!" bentakku. Aku mendekat padanya, lalu menangkup kedua pipinya. "Cowok kasar sepertimu harusnya diberi pelajaran," kataku sambil tersenyum sinis. Aku menampar berkali-kali kedua pipinya bergantian dengan keras.

Tiba-tiba Theo mulai mencekik leherku. Namun beruntung host langsung memukul kedua tangan Theo dengan balok kayu. "Kalian ini satu team! Bisa-bisanya kalian bertengkar seperti itu!" kata host. Theo menatap tajam padaku, tapi aku tak peduli tatapannya. "Sekarang aku gak mau tahu! Kalian harus pilih satu orang untuk dibunuh malam ini!" perintahnya. "Jam diskusi mulai sekarang," lanjut host.

"Aku gak mau tahu! Malam ini kau harus nurut apa kataku!" kata Theo dengan tatapannya yang masih tajam padaku.

"Ehh??? Apaan sih?" bantahku. "Jangan bilang kau nyuruh aku untuk membunuh orang?" tanyaku panik.

Theo tersenyum sinis. "Aku pingin kau memperlancar rencana balas dendam ku," kata Theo dengan senyum misteriusnya.

***

Author Pov

Kalian tahu siapa yang bakal dibunuh? Theo dan Debora masuk ke ruangan pribadi Kevin. Theo ingin membunuh Kevin karena dia yakin 100% bahwa dia adalah seorang werewolf hunter. Oleh host, Kevin sudah diberi bius agar dia bisa tertidur lelap, sehingga mempermudah bagi mereka untuk membunuh, walaupun Theo ingin agar korban tidak diberi obat bius. Namun host bersikeras, sehingga Kevin tetap diberi obat bius.

"Sekarang ikat kedua kaki dan tangannya seperti Bima kemarin," perintah Theo pada Debora. Kali ini Debora mau tak mau ikut perintah Theo karena dia sendiri merasa bersalah atas matinya Banis. Debora mengikat kedua kaki dan tangan Kevin di ujung-ujung kasur, lalu beranjak dari kasur Kevin menunggu perintah Theo selanjutnya. "Pokoknya kamu harus sadarkan dia sebelum jam 12," perintah Theo.

Debora melihat jam dinding di ruangan pribadi Kevin. Kurang 5 menit lagi waktu bakal menunjukkan jam 12. Debora menghampiri Kevin yang sedang tertidur lelap di atas kasurnya, lalu mulai menampar kedua pipi Kevin bergantian. "Sampai kapanpun kalau kamu tampar ya gak bangun juga orang yang pingsan," komentar Theo melihat aksi Debora.

"Terus harus gimana?" tanya Debora.

"Bunuh dia!" perintah Theo sambil tersenyum tipis.

"Hey! Bukannya kita sudah sepakat kalau kamu yang membunuh dia?" kata Debora mengingatkan janji Theo tadi.

Theo tersenyum sinis. "Bodoh! Wajah aja cantik tapi bego!" kata Theo. Mendengar hal tersebut, Debora mengepalkan kedua tangannya di sisi-sisi tubuhnya, lalu menghampiri Theo.

Plak

Debora menampar Theo untuk kedua kalinya. "Aku gak bakal mau jadi budakmu lagi! Biar kamu sendiri yang bunuh dia!" bentak Debora.

"Jika kau tidak membunuhnya, maka aku akan membunuhmu!" ancam Theo pada Debora.

"Kau pikir aku takut?" tanya Debora sambil tersenyum sinis. "Kita lihat saja siapa yang bakal mati duluan? Aku? Atau kamu?" lanjut Debora.

***

Author note:

Jangan lupa vote dan rekomendasi cerita ini ke teman-teman kalian ya.

Terimakasih udah setia baca cerita ini sampai part ini. Semoga kalian tetap suka dengan cerita ini ya :)

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang