Debora Pov
Aku tak ingin semuanya berakhir seperti ini. Mimpi apa aku semalam hingga berani membunuh orang lain? Apalagi entah mengapa aku merasa memiliki suatu ikatan batin yang kuat dengan Banis. Namun mengapa aku justru membunuhnya? Bodohnya diriku! Memang benar ketika ego manusia sedang tinggi-tingginya, maka manusia sudah kehilangan akal sehat dan hati nuraninya. Inilah yang aku rasakan saat ini.
Semua ini karena Reiza! Seharusnya yang aku bunuh itu Reiza bukan Banis! Aku tak boleh cengeng seperti ini! Aku melepas kedua tanganku dari wajahku, lalu aku melihat Yudha sedang menangis di atas tubuh Banis yang tak bernyawa. Aku terkejut melihat telapak tangan kananku berlumuran darah. Ahh tidak! Pasti wajahku jadi jelek atau tampak menyeramkan karena darah yang melumuri tanganku. Aku bangkit berdiri dan pergi ke dapur karena di sana ada cermin dan westafel.
Ketika aku berdiri di depan cermin, alangkah terkejutnya diriku melihat diriku sendiri yang tampak menyeramkan dengan bercak-bercak darah menghiasi beberapa area wajahku. Aku segera membersihkan tanganku dari darah dengan air, lalu menggosoknya agar tidak membekas di tanganku. Setelah cukup lama aku menggosok kedua telapak tanganku di bawah air yang mengalir dari keran. Aku mulai meraup wajahku dan menggosoknya agar tidak ada bekas darah lagi.
Setelah kurasa cukup, aku melihat kembali diriku di depan cermin. Sungguh baru saat ini aku mengakui kalau diriku ini sebenarnya cantik. Mengapa aku tak menyadarinya dari dulu? Beneran sebelum aku berada di tempat ini, kira-kira dua bulan lalu, papaku menawarkan ku untuk menjadi model. Kata orang, aku memang cocok menjadi model, apalagi wajahku tampak putih bersih dan oriental, selain itu entah kenapa banyak sekali cowok ngejar aku. Cuma aku gak pernah merespon mereka semua. Sebab aku sendiri saja minder terhadap diriku sendiri. Ahh jadi ngaco kan!
Aku melihat kaos hitamku, aku rasa tidak ada bercak darah di kaosku atau karena warnanya hitam aja ya jadi gak kelihatan? Aku mencoba mencium bajuku, tapi aku wangi kok, walaupun dari hari pertama di sini aku belum mandi.
Aku merapikan sedikit rambutku yang berantakan. Setelah itu aku keluar dari dapur untuk menghampiri ruang pertemuan. Aku melihat teman-temanku lainnya masih menangisi kepergian Banis. Dasar munafik mereka semua! Mereka sendiri yang memilih untuk Banis dibunuh, tapi kenapa mereka sekarang menangisi kepergiannya? Aku menghampiri tubuh Banis dan berlutut di sampingnya. "Maafkan aku," kataku pelan yang sukses membuat air mataku mengalir kembali di kedua pipiku. Sungguh aku sangat bersalah sekarang.
"Sudahi tangisan kalian, bodoh!" teriak host sialan. "Bawa Banis keluar dari sini! Aku gak mau darahnya mengotori tempat ini," perintah host. Akupun bangkit berdiri, lalu menarik bawah bahu Banis. Setelah itu Yudha menopang kedua kaki Banis. Aku dan Yudha membawa Banis ke taman belakang. Sehabis sampai di taman belakang, kami berdua meletakkannya di samping jasad Bima dan Jonathan. Aku menarik kedua tanganku dari ketiak Banis, lalu aku melihat wajahnya. Entah kenapa aku pingin menampar dia untuk terakhir kalinya.
Plak
Tamparan kudaratkan di pipi kanan Banis yang saat ini pasti dia sudah gak bisa merasakan apa-apa lagi. "Selamat jalan Banis," kataku dengan pelan, lalu meninggalkannya dengan hati yang tersayat-sayat. Aku dan Yudha masuk ke ruangan pertemuan lagi tanpa sepatah katapun.
***
Reiza Pov
Aku bersalah sudah menyuruh Debora untuk membunuh Banis. Dari raut wajahnya saja dia tampak sangat-sangat menyesal. Namun daripada kejadian seperti hari kemarin terulang kembali. Lagipula jika Debora itu civilian dia pasti akan langsung membunuh daripada dia ditembak oleh host--karena dia civillian--.
Sampai sekarang aku masih memeluk Lidya yang ada di depanku. Kedua tanganku melingkari pinggangnya, sedangkan Lidya menyandarkan kepalanya di atas dadaku. Debora datang menghampiriku dan Lidya. Aku melihat matanya memerah karena habis menangis. "Lid! Maafkan aku tadi," kata Debora sehabis berlutut di depan aku dan Lidya. Lidya tak menggubris Debora, Lidya justru menangis makin keras. Debora menarik napas pelan mencoba mengatur emosinya. Dia menepuk kedua pipi Lidya bergantian dengan pelan. Sebenarnya aku gak habis pikir dengan Debora. Dia tadi datang untuk meminta maaf mungkin karena habis menampar Lidya tadi. Nah ini kenapa dia menampar Lidya lagi bahkan berkali-kali, walaupun pelan sih.
Lidya melepaskan dirinya dari pelukanku, lalu mengalungkan kedua tangannya di leher Debora. Dia memeluk Debora dengan tubuh gemetar, sedangkan kedua tangan Debora melingkari pinggang Lidya dan mengelus belakang punggungnya dengan pelan. "Antarkan aku ke ruangan pribadiku," kata Lidya pelan. Debora mengangguk, lalu dia menaikkan kedua tangannya ke atas, lalu menarik bahunya agar Lidya bisa bangkit berdiri, lalu Debora memutar posisi, sehingga dia berada di belakang Lidya agar bisa menopang tubuhnya dari belakang dengan kedua tangannya tetap di ketiak Lidya. Mereka berdua langsung meninggalkanku sendirian yang sedari tadi duduk bersandar di tembok. Sungguh aku gak tahu apa yang ada di pikiran Lidya sekarang, sehingga dia justru makin dekat dengan Debora.
Tiba-tiba tangan terulur di hadapanku. Aku melihat Yudha sedang mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis padaku. "Gak usah baper," katanya sambil tertawa kecil. "Bilang aja kalau pingin di perhatikan," katanya lagi yang membuat hatiku jadi tenang.
Aku menyambut uluran tangan Yudha, lalu berdiri. "Mau gendong atau gimana?" tanyanya.
Akupun menepuk lengan kanannya. "Dasar genit!" kataku sambil tersipu malu.
"Ahh minta digendong pasti ini," kata Yudha sambil jongkok membelakangiku, lalu menarik lutut kedua kakiku dari belakang dengan kasar. Akupun tak bisa untuk tidak mengalungkan kedua tanganku di lehernya.
"Pelan-pelan ihh!" teriakku ketika tubuhku mulai seimbang lagi di gendongannya sambil memukul belakang lehernya pelan.
"Aww," teriak Yudha dengan manja.
"Turunin gak!" perintahku.
"Gak mau turunin kamu kalau kamu belum sampai tujuan dengan selamat," katanya sambil tertawa puas. "Jadi mau kemana?" tanya Yudha.
"Gak tahu!" teriakku bodo amat.
"Ohh gak tahu," katanya sok mengerti. "Dimana itu?" tanyanya lagi.
"Cepetan turunin ihh! Apa gak capek mondar mandir mulu?" tanyaku ketus.
"Oke berarti kamu lagi capek. Jadi aku anterin kamu ke ruangan pribadimu," katanya sambil berlari menuju ruangan pribadiku. Dia tertawa puas, akupun juga tak bisa untuk tidak tertawa kali ini. Bersama-sama melawan kerasnya angin ketika Yudha berlari kencang seperti tadi.
Sehabis di depan ruangan pribadiku, Yudha sempat berhenti melihat Debora yang juga saat itu menatap Yudha. Cukup lama mereka berdua saling pandang-pandangan, akhirnya aku berdeham. Debora langsung pura-pura tidak lihat dan Yudha langsung salah tingkah sendiri. "Ohh udah nyampai ya?" tanya Yudha sambil menurunkan ku. "Maaf gak menerima kembalian, terimanya cuma senyuman manis darimu," kata Yudha berlagak seperti Abang gojek.
Akupun tersenyum. "Makasih Papa," kataku sambil mencubit pipi kirinya. "Sampai ketemu nanti ya," lanjutku sambil membuka pintu ruangan pribadiku. Yudha balas senyuman ku dan tak ada hentinya kami berdua saling menatap seperti ini seakan-akan ingin selamanya bisa seperti ini. Mimpi!
Aku masuk ke ruangan pribadiku dan menutup pintu dengan Yudha yang masih tersenyum manis menatapku. Sungguh keterlaluan diriku memutus kontak mata seperti tadi. Akupun menarik napas dan membuangnya pelan untuk mengatur gejolak di hatiku. Sungguh baru kali ini aku bisa melihat dan diperlakukan Yudha seperti itu. Tidak seperti biasanya dia bersikap dingin padaku. Apakah dia sudah menyadari bahwa selama ini aku jatuh cinta padanya?
***
Author note:
Jangan lupa vote dan rekomendasi cerita ini ke teman-teman kalian ya.
See you next part
KAMU SEDANG MEMBACA
Future Show: Werewolf Party Game
Misteri / Thriller12 remaja terjebak dalam sebuah gedung yang mengharuskan mereka untuk bermain werewolf party game. Mereka harus menemukan dengan segera siapa di antara mereka yang memegang kartu werewolf lalu membunuhnya untuk bisa menyelesaikan permainan ini atau...