Seleksi Alam

227 22 3
                                    

Reiza Pov

Di ruangan santai hanya ada aku dan Lidya yang sedang asyik berbaring di matras besar. Aku meletakkan kedua telapak tanganku di belakang kepalaku, lalu mataku menatap langit-langit ruangan ini.

"Kita salah apa ya emang?" tanya Lidya yang memecah keheningan di ruang santai ini.

"Maksudnya?" tanyaku penasaran.

"Coba kamu pikir bahan makanan dibuat terbatas, lalu air buat mandi dan buang air juga terbatas, apalagi seragam lusuh seperti ini disuruh untuk kita bertahan sampai permainan selesai? Apa sudahkah gila mereka atau kita yang gila?" gerutu Lidya.

"Kau yang gila," jawabku asal.

"Ehh enak banget ngomong aku yang gila," katanya kesal.

Akupun tertawa kecil. "Iyalah aku dengar tadi ya kamu itu habisin air kamar mandi paling banyak. Apa kamu gak mikir kalo masih banyak yang belum mandi, huh?" tanyaku.

"Habisnya emang aku mandi airnya emang segitu," jawabnya pelan. "Ahh sudahlah lupakan tapi aku jadi teringat dengan teori seleksi alam."

"Huh?"

"Contohnya saat ini sih semua dibikin terbatas, lalu semua berebut makanan dan air untuk bertahan hidup--terkesan lebay sihh--, dan kau tahu apa akhirnya?" celotehnya yang malas aku tanggapi. "Akhirnya kita saling mengeliminasi satu sama lain untuk mendapatkan jatah air dan makanan yang lebih banyak. Akhirnya siapa yang lemah akan tereliminasi dan yang kuat akan semakin kuat."

"Egois dan serakah tahu," kataku. "Aku tak pernah setuju teori itu," komentar ku. "Bukannya aku tak menghargai penelitian, tapi kalau seperti itu apa bedanya kita sama hewan?"

"Bedanya kita punya perasaan," jawab santai Lidya.

"Hewanpun juga punya," kataku.

"Ehh kok bisa?" tanyanya.

Aku menyunggingkan senyum kecil. "Pernah liat sapi nangis gak?" tanyaku sambil menoleh ke Lidya. Diapun menggeleng pelan. "Menurutku itu buktinya jika hewan juga memiliki perasaan. Namun yang aku tekankan kita memiliki hati nurani yang tidak pernah dimiliki oleh mahluk manapun."

"Huh?" Lidya makin gak paham.

"Seperti katamu kita akan mengeliminasi orang-orang yang lemah di lingkungan kita agar persaingan untuk merebutkan makanan dan air semakin kecil. Namun apakah hatimu tega untuk melakukan hal itu?" jelasku.

"Ya kagak sih, tapi itu kan demi kebaikan bersama," jawabnya.

"Kebaikan bersama atau kebaikan segelintir orang?" tanyaku yang membuat Lidya tak berkutik untuk menjawabnya.

"Menurutku itulah kebodohan manusia dari dulu. Bukannya bersama-sama mencari jalan keluar, malah sibuk untuk mencari cara menyingkirkan orang lain," kataku yang membuatnya paham dan diam.

"Ehh kalian berdua kok udah di sini aja? Aku kira kalian berdua di ruangan pribadi masing-masing," tanya Yudha saat masuk ke ruangan santai.

"Pengap di ruang pribadi apalagi panas juga," jawabku santai. Emang gak nyaman banget berada di ruang pribadi.

"Ohh kamu gak ngantri buat mandi, Rei?" tanya Yudha lagi sambil duduk di sebelahku.

"Bukannya udah gak ada air?" tanyaku.

"Airnya mulai keluar kecil sih." jawabnya. "Mending kamu ngantri sekarang karena satu jam lagi kita akan ada voting eliminasi."

Akupun langsung mengubah posisiku dari berbaring menjadi duduk. "Anjirr satu jam lagi?" tanyaku yang dibalas anggukan oleh Yudha.

"Kok aku jadi merinding sendiri ya?" tanya Lidya tiba-tiba.

"Huh?" aku dan Yudha langsung bergumam.

"Iyalah apa kalian gak merinding? Satu jam lagi kita semua harus menentukan siapa yang akan dieliminasi dari permainan ini yang otomatis orag yang dieliminasi itu akan mati beneran, bukan?" jawab Lidya. "Gimana kalau salah satu dari kita harus dieliminasi habis ini?" pertanyaan itulah yang membuatku tertegun.

"Aku tak mau mati," gumam Yudha.

"Kau pikir hanya kamu yang gak mau mati?" tanya Lidya degan suara yang sedikit emosi. "Semua pingin gak mati, tapi kalo gak ada yang dieliminasi siang ini. Bisa-bisa kita semua dibunuh oleh host sialan itu."

"Ahh kamu gak usah menduga-duga dulu dehh," kataku untuk mencairkan suasana. "Pokoknya kita harus bikin komitmen bahwa kita bisa keluar dari permainan sialan ini dan pulang ke rumah bersama-sama, okay?" kataku sambil menunjukkan jari kelingkingku. Yudha dan Lidya langsung mengangguk mantap, lalu suasana jadi hening lagi.

"Kira-kira gimana kita bisa keluar dari tempat ini ya?" tanya Yudha lagi.

"Pasti ada sesuatu yang bisa jadi jalan keluar dari gedung ini," kataku dengan yakin, walaupun aku ragu juga.

"Ehh kalian bertiga gak dengar ya?" tanya seseorang dari belakang kami. Akupun menoleh ke arah suara itu, ternyata dia adalah Theo. Dari penampilannya dia habis mandi karena membawa handuk dan rambutnya basah. Namun entah kenapa aku gak suka aja sama sikapnya yang suka mukul orang lain sejak MOS kemarin.

"Maaf telinga kami rada tuli di sini," jawab Lidya yang sok merendahkan diri.

"Kamu itu yang bego sih! Di sini semua ruangan kedap suara. Jadi kita gak bisa dengar apapun suara di luar ruangan ini, selain jika pintu ruangan ini dibuka," ucapku.

Theo menatap mataku tajam dan dalam. Dia mulai menghampiriku dengan kepalan tangan yang bergetar. Akupun siap sedia jika dia mendekat, sehingga aku bisa menampar mukanya yang kelihatannya sombong itu. "Ehh kalem dong semuanya. Kita di sini gak usah saling emosi satu sama lain," kata Yudha yang membuat kami berdua sadar dari alam emosi kami. "Oke tadi kamu mau ngomong apa, huh?" tanya Yudha pada Theo.

"Semua sudah ngumpul di ruang utama untuk bersiap-siap voting," kata Theo dingin.

"Okelah kami akan keluar sebentar lagi," kata Yudha sambil berdiri. "Lidya, Reiza yuk kita ke depan."

Theo langsung melenggang pergi, tapi Yudha masih menunggu kita yang masih ragu-ragu. "Aku takut," kataku.

"Sama," balas Lidya.

"Ehh Reiza dimana semangatmu tadi huh?" tantang Yudha.

"Entah," jawabku pasrah.

Yudha mendenguskan napasnya berat, lalu mengusap rambutnya yang cukup kasar. "Aku ke kamar mandi dulu, kalian berdua lebih baik buruan ke depan," kata Yudha dingin, lalu meninggalkan kami berdua sendirian di ruangan santai ini.

"Entah kenapa firasatku gak enak," kata Lidya yang memecah keheningan.

"Seharusnya yang lain merasakan firasat yang gak enak juga," balasku sambil berdiri. "Apapun yang terjadi kita harus menghadapi voting hari pertama ini," kataku dengan tatapan mata yang tajam.

"Jika salah satu dari kita berdua yang akan mati?" tanya Lidya ragu.

"Berdoa dan bertobat supaya dosa kita diampuni," jawabku asal tapi aku sendiri aja ketawa dalam hati. Mengapa aku tiba-tiba jawab ginian? Tapi ada benarnya juga sih, tak ada hal lain yang bisa kita lakuin sekarang selain mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

***

Note:

Jangan lupa vote, comment, dan rekomendasi cerita ini ke teman-teman wattpad lainnya ya. See u next chapter :)

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang