Skakmat

136 7 0
                                    

"Tapi itu kan bahaya?" tanya Lina.

"Itulah tantangannya jika kau tak hati-hati maka kau akan membunuh mereka," jawab host. "Ayolah cepat lakukan! Waktu kamu sangat terbatas untuk mencari tahu Karu roleplay milik temanmu," kata host sambil menyerahkan pisau itu ke Lina.

Lina tampak berpikir sejenak, lalu mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya saat ini. Di satu sisi dia ingin mencari tahu kartu roleplay milik Theo, tapi dia takut jika pisau ini justru membunuh anak-anak yang diikat di tiang Theo. Lina berjalan ke arah tiang bertuliskan nama Theo, lalu mendekati salah seorang cowok--karena memang di sana hanya cowok-cowok yang diikat--, lalu mengarahkan mata pisau di genggaman tangannya di atas kerah seragam cowok itu. Cowok itu hanya menatap ngeri pisau di tangan Lina. Lina makin gak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. "Waktu kurang 5 menit lagi!" teriak host.

Akhirnya dengan keberanian penuh, Lina merobek seragam cowok itu, tapi karena dia tidak hati-hati, darah keluar dari dada cowok di hadapannya. Cowok itu meringis kesakitan, tapi suaranya tak kedengaran karena disumpal kain. "Maaf," kata Lina.

Tiba-tiba host mendekatkan telinganya pada Lina. "Waktumu banyak terbuang, aku yakin kamu tidak bisa menemukan kartu roleplay milik Theo dalam dua menit. Jadi aku menyarankan kamu untuk membunuh semua cowok yang diikat di tiang Theo agar aku bisa menunjukkanmu dimana kartu roleplay itu disembunyikan," bisik host. Lina menelan ludahnya sendiri. Ingin rasanya dia menangis sekarang, tapi dia harus melakukan ini agar permainan cepat usai dan dia bersama team civilian bisa kembali pulang.

Lina melihat 9 cowok yang diikat di tiang Theo dengan kondisi yang mengenaskan. Bagaimana dia berani untuk membunuh 9 cowok itu. "Cepatlah!" teriak host. Lina menutup matanya sejenak, lalu mengambil napas panjang, dan menghembuskan nya dengan berat. Dia membuka matanya kembali, lalu dengan tangan gemetar dia menancapkan pisau di genggaman tangannya ke dada kiri cowok di hadapannya. Hal yang sama dia lakukan pula pada cowok-cowok di sebelahnya sampai kesembilan cowok itu berhasil dibunuhnya. Kini wajah dan tangan kanan Lina sudah bersimbah dengan darah, sedangkan host tertawa puas melihat pembunuhan secara langsung di hadapannya. Lina menjatuhkan pisau dari genggamannya dan melihat kedua tangannya dengan gemetar. Ini pertama kalinya dia membunuh orang, apalagi 9 orang sekaligus.

"Kau tahu? Kartu roleplay itu sebenarnya ada di tanganku," kata host sambil menyerahkan kartu roleplay itu ke Lina.

Plak

Lina mendaratkan tamparan di pipi kiri host dengan sangat keras karena Lina sangat emosi. "Kenapa kau tidak mengatakannya daritadi?" tanya Lina.

"Kalau aku bilang daritadi sudah pasti kau tidak akan membunuh mereka semua, bukan?" jawab host santai. "Setidaknya kau meringankan tugasku untuk membunuh cowok-cowok yang gak berguna itu," lanjut host. Lina mengepalkan kedua tangannya dengan gemetar. "Kenapa mau tampar lagi? Sekali lagi kau tampar aku, aku tak akan memberikan kartu roleplay milik Theo ke kamu!" ancam host. Akhirnya Lina mengambil kartu roleplay milik Theo dari tangan host, lalu pergi keluar dari gudang itu. Lina membaca kartu roleplay milik Theo, ternyata Theo adalah werewolf.

***

Burung-burung mulai berkicau menyambut indahnya surya pagi. Ya sungguh malam kemarin adalah malam penuh dengan darah di pulau tempat ratusan siswa-siswi SMA di beberapa Kota Surabaya bermain game werewolf. Dalam semalam saja sudah ada 235 peserta yang dibunuh dari berbagai tempat permainan. Apakah pagi ini akan menjadi sesuatu harapan bagi mereka yang masih hidup untuk keluar dari tempat mengerikan ini?

Reiza keluar dari ruangan pribadinya dengan raut wajah cemberut. Entah kenapa dia sudah kehilangan semangat hidupnya di sini? Alasan utamanya adalah dia sudah kehilangan sosok Yudha yang peduli dengan dirinya selama ini. Dia tidak menyangka, Yudha bisa lebih memilih bersama Debora, dibandingkan dirinya. Selain itu juga Lidya yang telah menganggap bahwa dia sendiri bukanlah Reiza yang asli. Apa sebenarnya yang ada di pikiran orang-orang di sini? Batin Reiza. Namun ketika Reiza berpikir seperti itu tiba-tiba dia melihat pintu ruangan pribadi Lidya terbuka dan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Lidya terlentang di atas lantai dengan darah terus mengalir dari dada kiri sampai ke luar ruangan pribadi Lidya.

Reiza langsung berlutut dengan tubuh yang lunglai, lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air matanya mulai mengalir deras ke kedua pipinya. "Rei? Ada apa?" tanya Debora menghampiri Reiza. Namun ketika Debora melihat apa yang dilihat oleh Reiza, dia langsung melakukan hal yang sama seperti Reiza lakukan barusan.

Tak lama kemudian, Debora berlari ke dalam menghampiri tubuh Lidya yang sudah tak bernyawa. Dia berlutut di samping kiri Lidya, lalu menarik kepala Lidya untuk tidur di atas paha Debora. "Lidya! Siapa yang melakukan ini semua?" tanya Debora sambil menangis sejadi-jadinya. Dia tidak menyangka bahwa semuanya menjadi begini. Debora menepuk-nepuk pipi kanan Lidya yang jelas-jelas dia gak bakal bangun lagi, Debora berteriak histeris yang membuat Reiza makin tersayat-sayat hatinya. Reiza masuk ke ruangan pribadi Lidya, lalu menyingkirkan poni Lidya dari wajahnya.

"Lidya ada di pojok ruangan ini," kata Evelyn tiba-tiba saat dia masuk ke ruangan pribadi Lidya. Debora dan Reiza langsung menatap Evelyn tak percaya. "Dia mengatakan bahwa Theo lah yang telah melakukan semuanya ini," lanjut Evelyn yang membuat Debora makin tak percaya.

"Theo?" tanya Reiza dengan tatapan mata yang penuh emosi. Setelah itu Reiza berlari keluar dari ruangan pribadi Lidya hendak melampiaskan emosinya ke Theo.

"Kau jangan ngaco deh!" bentak Debora.

Evelyn tersenyum sinis. "Kenapa kau begitu membela Theo, si cowok sialan itu? Apa jangan-jangan kau temannya ya?" tanya Evelyn sambil menaikkan alis sebalahnya.

Debora hendak menampar Evelyn, tapi dia coba tahan emosinya. Dia tak menggubris pertanyaan Evelyn lagi, lalu dia menatap Lidya lagi. Debora memasukkan kedua tangannya di sela-sela ketiak Lidya, lalu menarik tubuhnya untuk keluar dari ruangan pribadi ini ke taman belakang. Satu hal yang paling Debora tidak suka adalah Evelyn hanya memandang Debora yang susah payah menarik tubuh Lidya, tanpa berusaha untuk membantunya. Debora dapat memastikan akan menampar tuh anak berkali-kali sampai lemas.

***

Plak

Reiza menampar Theo ketika Theo berada di dapur sedang membuat mie micin. "Datang-datang langsung main tampar, aku tampar pakai panci baru tahu rasa!", komentar Theo.

"Gak usah sok polos deh! Kita semua tahu kalau kau kan pembunuh Lidya?" tanya Reiza dengan emosi.

"Ehh aku memang bunuh orang kemarin, tapi aku gak bunuh Lidya!" celetuk Theo, setelah itu dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Theo baru sadar kalau perkataannya bisa membahayakan nyawanya karena dia pasti dianggap sebagai werewolf.

Reiza memicingkan kedua matanya sambil mengamat-amati gerak gerik Theo. "Siapa lagi yang kau bunuh? Hah?" tanya Reiza menginterogasi.

"Bukan itu! Kemarin aku bunuh tikus di kamarku, bukan bunuh Lidya," bantah Theo.

"Aku masih punya kedua telinga yang sempurna dan kamu tadi bilang kalau kamu habis bunuh orang," kata Reiza.

"Aku juga mendengar hal yang sama Reiza," sahut Kelly dari pintu dapur. "Jadi kita berdua tidak pernah salah dengar," lanjut Kelly.

"Ngaku aja! Siapa yang kau bunuh lagi? Terus siapa yang bunuh Lidya?" tanya Reiza menginterogasi lagi.

Theo berteriak kesal, lalu mengacak rambutnya frustasi. Dia mengambil pisau yang ada di sebelah kirinya, lalu menodongkannya itu di depan Reiza. "Bisa gak untuk tidak tanya seperti itu? Atau aku bunuh kamu sekarang juga?" ancam Theo.

"Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?" tanya Reiza sambil mendekatkan pisau itu ke dada kiri Theo. "Dari kedua matamu saja sudah terlihat bahwa kau tidak terlalu berani untuk membunuh orang," kata Reiza.

Tangan Theo bergetar, lalu dia menjatuhkan pisau itu di atas lantai. Theo duduk di atas lantai sambil menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Reiza mengambil pisau yang terjatuh itu, lalu menyimpannya kembali ke tempat yang seharusnya. "Skakmat!" kata Reiza pada Theo.

***

Author note:

Jangan lupa untuk vote dan rekomendasi cerita ini ke teman-teman kalian ya. Terimakasih

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang