Teman?

135 9 0
                                    

Debora Pov

"Dimana aku?" gumamku saat menyadari bahwa aku kini berada di hutan belantara dengan matahari yang mulai tenggelam di hadapanku saat ini. Aku tahu ini pasti sudah sore hari. Aku yakin ini bukan pagi hari karena sinar matahari pagi hari dan sore hari itu terasa beda. Aku bisa membedakannya. Aku mencoba bergerak, tetapi ternyata tubuhku diikat dengan tali di pohon belakangku saat ini. "Ehh?" gumamku sambil berusaha menarik tubuhku ke depan. Namun sulit sekali karena tali itu diikat sangat kuat.

Tiba-tiba ada seorang cewek yang bergerak menghampiriku. Dia memakai seragam SMA sepertiku, tetapi aku tak kenal siapa dia. Dia membuka ikatan tali yang melilit tubuhku sambil memberi isyarat untuk aku diam. "Cepatlah kabur dari sini! Sebelum kau akan menyesal. Jangan banyak tanya!" bisik cewek itu. Setelah tali itu lepas dari tubuhku, dia memegang kedua telapak tanganku, lalu menarik kedua tanganku agar bisa berdiri. "Cepat larilah! Jangan pernah turuti emosimu!" bisiknya buru-buru sambil memasukkan sesuatu di kantong rok seragamku. "Buruan!" bisiknya lagi lebih keras sambil menepuk punggungku. Akupun tak bisa untuk tidak menurutinya saat ini, walaupun aku tak tahu apa yang terjadi.

Aku berlari sekencang mungkin hingga beberapa meter, lalu aku mendengar teriakan seorang cewek yang membuatku berhenti berlari dan menoleh ke belakang kembali. Kemudian aku memilih bersembunyi ke salah satu pohon besar yang ada di samping kiriku sambil mengamati apa yang terjadi. "Dasar bodoh!" teriak cewek dengan wajah dan kedua tangannya yang sudah berlumuran darah kepada cewek yang membantuku melepaskan tali yang mengikat tubuhku tadi. "Kenapa kau bisa-bisanya melepaskan salah seorang mangsaku, huh?" teriak cewek berdarah itu--ini panggilan ku sih--.

"Lis! Sadar! Gak ada gunanya kau membunuh orang terus menerus seperti ini!" teriak cewek yang menolong ku tadi.

Plak

Cewek berdarah itu menampar cewek yang menolong ku tadi. "Sudah aku bilang padamu bahwa jangan pernah bantah aku!" teriak cewek berdarah itu--namanya Lis?--, lalu Lis menancapkan pisaunya yang sudah berlumuran darah pula di dada kiri cewek yang menolong ku tadi. Akupun tidak bisa untuk tidak menangis saat ini. Ingin aku berteriak saat ini, tapi aku berusaha untuk tahan. Kedua tanganku mengepal, tapi aku berusaha untuk tenang saat ini daripada aku bernasib sama dengan cewek yang menolong ku tadi. Cewek yang menolong ku tadi sudah tidak bernyawa lagi, lalu cewek berdarah itu langsung menancapkan pisaunya ke setiap orang yang disekap di pohon dimana aku tadi juga disekap satu persatu. Cewek berdarah itu tertawa puas melihat kedua tangannya makin penuh dengan lumuran darah. "Dasar bodoh! Kalau kau tidak melepas cewek tadi maka aku bisa membunuh 35 orang saat ini," katanya sambil menendang tubuh cewek yang menolong ku tadi. "Tapi sebagai gantinya kamu lah yang harus mati di tanganku," lanjutnya.

Akupun makin emosi, tapi aku berusaha menahan napasku untuk tidak emosi saat ini. Cewek berdarah itu bersama teman-temannya pergi meninggalkan tempat dimana aku disekap tadi yang entah akan membunuh siapa lagi. Setelah mereka semua sudah menjauh, aku mendekat ke tubuh cewek yang sudah menolong ku tadi. Air mataku tak henti-hentinya mengalir deras dari kedua mataku. Cewek yang menolong ku tadi tersenyum padaku. Justru senyumannya itu yang membuatku hatiku makin panas karena emosi. "Gak apa. Namaku Febby, aku kenal siapa kamu. Kamu Debora yang dulu pernah nolong aku pas mau dibully sama teman-temanku saat kita mau casting di suatu sinetron," katanya dengan lemah. Seketika juga aku baru teringat pada saat dimana aku dipaksa ikut casting salah satu sinetron di Jakarta. Dalam kondisi keterpaksaan, aku ikut casting ini, tetapi saat di kamar mandi aku menemukan Febby yang sedang dibully oleh 5 lelaki. Dengan refleks, aku langsung menghampiri 5 laki-laki itu dan menampar mereka satu persatu-satu dan mengumpati mereka dengan kata-kata pedas. Saat itu Febby hanya menatapku dengan tatapan ngeri, lalu pergi meninggalkanku tanpa ucapan terimakasih. "Makasih sudah menolong ku saat itu. Jika tidak mungkin aku sudah mati dengan hina oleh 5 laki-laki itu," katanya lagi yang suaranya makin samar-samar.

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang