Fakta yang diungkapkan Jonathan membuatku makin pusing. Bagaimana kita yang tadinya berada di Surabaya bisa diculik di pulau terpencil saat ini? Jika emang ini pulau terpencil maka kemungkinan untuk kabur juga semakin kecil, apalagi di luar pulau ini ada lautan ganas yang pastinya harus kita terjang untuk bisa kembali ke rumah kami.
"Lebih baik kita ikuti saja alur permainannya sambil mencari cara untuk keluar dari game ini," saran Yudha.
"Ehh ngomong-ngomong aku baru ingat mau ngomong apa tadi," sahut Lidya sambil nyengir, "Aku kayaknya pernah dengar suara host tadi mirip suara siapa ya?" sambungnya sambil mikir keras.
"Yakin?" tanya Yudha.
"Ehmm iya sih aku juga merasakan hal yang sama kayak Lidya. Aku pernah dengar suara wanita sialan itu--host--kayak suara siapa gitu," kata Bima.
"Woyy liat jam!" bentak Jonathan. Kami melirik ke jam dinding yang ada di salah satu sisi tembok ruang utama ini dan kami melihat sudah pukul 9 pagi. "Daripada kalian debat terus mending kalian mandi atau masak atau apalah gitu sebelum jam 12."
"Masak sendirilah," kata aku, Yudha, Bima, dan Lidya bersama-sama dengan suara khas kami yang seperti suara anak kecil habis rebutan permen.
"Ehh anjirr," respon Jonathan sambil nyengir. "Tak tahulah aku mau ke gudang bentar buat cek benda berharga apa yang bisa kita pakai di sini," ucap Jonathan sambil pergi meninggalkan kami berempat.
"Terus kita harus ngapain nih?" sahut Bima.
"Aku mau ngantri mandi lagi aja ahh," kata Lidya. "Dah gatal-gatal nih badanku, kalian apa gak merasakan hal yang sama?" Lidya menggaruk-garuk tangannya dengan ekspresi lebay.
"Gimana mau mikirin mandi kalau air terbatas seperti itu dan pada saingan ke kamar mandi semua," balasku. "Dah ahh aku mending ke dapur dulu mau cek ada makanan apa di sana," sambungku sambil pergi ke dapur.
"Ehh aku ikut," kata Yudha.
"Aku juga deh," kata Bima.
"Woyy sahabat macam apa kalian meninggalkan aku sendirian?" marah Lidya yang sudah jauh di belakangku. Bodo amat aku di sini udah seperti mayat berjalan. Kelaparan, badan gatal-gatal, seragam lusuh, dan muka kusam itulah yang mewakili diriku saat ini.
Sesampainya aku di dapur aku melihat Lina sedang asyik mengamati pemandangan di luar jendela, lalu mengabadikannya dengan menggambar pemandangan tersebut di atas kertas kosong. Namun aku melirik di sebelah Lina ada Evelyn yang melamun dan pandangannya mengarah ke luar jendela.
"Anjirr," kata Bima tiba-tiba yang membuat semua orang di dapur menoleh. Bima mengangkat salah satu tempe di atas meja bahan makanan dan mengamatinya lekat-lekat. "Udah lama aku gak makan ini."
"Jiahh aku kira apaan dah," balas Yudha. Aku mendekat ke Bima untuk melihat bahan makanan yang disediakan untuk kami. 1 Tempe, 1 tahu, seikat bayam, dan 12 kentang adalah bahan makanan untuk pagi ini--mungkin bisa jadi untuk sehari ini--.
"Cih bahan makanan macam apa ini," celetuk Debora ketika melihat bahan makanan untuk kami semua. "Ini juga tempe juga udah hitam gini dikasih ke kita," katanya sambil menunjuk tempe dengan tatapan jijik.
"Ehh Lo bersyukur aja kali udah dikasih makanan daripada kagak?" kata Bima.
"Cihh terus Lo mau makan makanan udah busuk kayak gini? Makanan murahan tahu gak!" balas Debora. Akupun tak bisa untuk tidak memutar bola mataku malas.
"Di luar negeri tempe itu makanan mahal loh," sahut Yudha.
"Mahal? Tapi seumur hidup gue gak pernah dengar kalau orang luar negeri suka makan tempe," kata Debora yang tak mau kalah debat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future Show: Werewolf Party Game
Misterio / Suspenso12 remaja terjebak dalam sebuah gedung yang mengharuskan mereka untuk bermain werewolf party game. Mereka harus menemukan dengan segera siapa di antara mereka yang memegang kartu werewolf lalu membunuhnya untuk bisa menyelesaikan permainan ini atau...