Bima?

157 14 0
                                    

"Reiza?" tiba-tiba ada tangan yang menyentuh lenganku dengan dingin. Akupun membalikkan badanku dengan cepat, lalu aku menampar pipi orang di hadapanku karena kaget setengah mati.

"Ahh tidak!!! Om ganteng tercyduk," teriak Kevin seperti banci ketangkap satpol PP. "Ehh anjirr panas banget pipi aku nih," kata Kevin sambil menggosok-gosok pipi kiri bekas tamparan aku tadi.

"Ehh kau masih hidup aja nih?" tanyaku dengan canda.

"Cih! Kenapa semua orang pingin aku mati sih?" tanya Kevin dengan wajah cemberut.

"Jangan ahh kalau kamu mati duluan ntar gak asyik," balasku dengan senyum kecil.

"Mana Bima sama Yudha?" tanya Kevin dengan raut wajah serius.

"Yudha ngambil air minum, terus Bima aku gak tahu dimana tuh anak. Aku sama Yudha aja cari dimana Bima soalnya di kamar kayaknya gak ada tuh anak," jawabku.

"Loh bukannya tadi aku lihat kamu, Yudha, sama Bima jalan ke dapur bareng kan?" tanya Kevin lagi.

"Hah? Serius?" tanyaku dengan nada tinggi.

Kevin pun mengangguk. "Dah ah Om ganteng mau bangunin lainnya dulu," kata Kevin sambil meninggalkan aku sendiri di dapur.

Entah mengapa perasaanku jadi gak enak dengan Bima. Akhirnya aku memutuskan untuk balik mengecek kamar Bima lagi. "Bim, buka pintunya!" teriakku sambil menggedor-gedor pintu ruangan pribadi Bima.

"Ehh biasa aja kali kalau gedor pintu! Kayak dikejar zombie aja," komentar Theo padaku. Akupun tak menggubris perkataan Theo, lalu mencoba kenop pintu di depanku. Namun sama saja gak bisa dibuka.

"Ehh kamu ini bego apa gak sih?" tanya Theo sinis. Akupun tak kalah menatapnya dengan sinis. "Sampai tua gak bakal tuh pintu kebuka kecuali pemilik ruangan pribadi itu sendiri atau host yang buka tuh pintu," jelas Theo.

Akupun mendengus kesal, lalu menyandarkan punggungku di pintu ruangan pribadi Bima. "Ehh Reiza!!!" teriak Yudha dari kejauhan. Akupun menoleh ke arah suara Yudha dan melihat dia berlari menghampiriku. "Coba buka pintu ruangan pribadi Bima!" perintahnya.

"Kalau aku bisa buka pintunya, ya aku udah buka dari tadi kali," balasku.

Yudha tampak mendengus kesal, lalu mengacak rambutnya. "Minggir!" perintahnya lagi padaku. Akhirnya aku minggir, lalu melihat Yudha ingin mendobrak pintu ruangan pribadi Bima.

"Ada apa ini?" tanya Lidya saat baru keluar dari ruangan pribadinya.

Brakk

"Bima???" teriak Yudha yang tampak shock. Setelah itu dia masuk ke ruangan pribadi Bima, akupun juga mengekorinya. Saat aku masuk ke ruangan pribadinya, aku sudah tak kuat untuk melihat kondisi Bima yang mati mengenaskan seperti itu di atas kasurnya dengan kedua kaki dan tangan terikat di ujung-ujung sudut kasur.  Ingin aku muntah melihat keadaannya, tetapi aku tak bisa.

"Bima?" ucapku dengan lirih. Perlahan air mataku telah mengalir membasahi kedua pipiku.  Aku masih tak percaya dengan pemandangan di depanku saat ini, apakah ini nyata atau tidak? Sedangkan Yudha sudah menangis di sebelah Bima seperti orang gila. Aku mencoba menampar pipiku sendiri, tetapi beneran sakit sih.

Plak

Tiba-tiba Debora menamparku. "Kamu masih sehat kan? Nampar-nampar pipi sendiri apa gak sakit semua?" tanya Debora sinis.

"Ehh coba kamu tampar aku sekali lagi," pintaku.

Debora tersenyum sinis, "Dengan senang hati," katanya, setelah itu dia menampar pipiku lagi dan aku mengakui pipiku benar-benar sakit kali ini. Dasar kenapa diriku jadi bego gini.

"Bima!!!" teriakku langsung menghampiri tubuh Bima yang sudah tak bernyawa lagi. "Bim, kenapa kok kamu sih yang mati, kenapa gak Kevin aja?" tangisku benar-benar pecah mengucapkan kalimat tadi.

"Bim!!! Jawab!" teriakku dengan kencang sambil memukul-mukul perutnya yang buncit.

"Rei! Jadilah normal!" teriak Lidya di sela tangisannya. "Kita semua pasti akan kehilangan orang yang spesial dalam hidup kita, tapi apakah tindakan bodoh sepertimu tadi bisa mengembalikan nyawa mereka?" kata Lidya yang entah kenapa jadi sok bijak.

Aku memicingkan mataku pada Lidya. "Ohh aku tahu pasti kamu pelakunya," kataku dengan yakin.

"Bego! Buat apa aku membunuh sahabatku sendiri?" balas Lidya.

"Sudah cukup!!!" teriak Yudha yang justru membuat hatiku tambah memanas. "Kita sama-sama memiliki perasaan kehilangan saat ini, tapi tolong jangan andalkan emosi kalian di saat seperti ini!" kata Yudha yang membuat kami bungkam kembali dalam kesedihan masing-masing. "Lebih baik kita menaruh mayat Bima ke taman belakang sekarang," kata Yudha sambil menghapus air matanya. Dia beranjak berdiri, lalu mulai melepas ikatan tali yang melilit kedua tangan Bima, sedangkan Kevin membantu melepas ikatan tali yang melilit kedua kaki Bima.

Aku tak suka pemandangan ini! Melihat Bima yang sudah tak bernyawa lagi oleh orang yang tak bertanggung jawab. Siapakah pembunuh Bima???

Kedua tanganku mengepal dan rahangku mengeras. "Tidak!!!" teriakku. Yudha dan Kevin menghentikan aktivitasnya sejenak. "Aku tak akan membiarkan pembunuh Bima lolos dari tempat ini!!!" teriakku dengan emosi sampai-sampai kedua telingaku terasa ada api yang keluar. "Akan aku bunuh dia sama seperti yang dia lakukan kepada Bima!" kataku dengan lantang sambil menahan tubuh Bima.

"Rei!" bentak Yudha sambil berusaha menyingkirkan kedua tanganku dari atas tubuh Bima.

"Jangan bawa Bima! Aku yakin arwahnya tidak tenang! Dia terus menghantui ku dari pagi tadi!" kataku dengan isak tangis.

Yudha menangkup kedua pipiku, "Rei! Udah relakan Bima," kata Yudha dengan lembut. "Percayalah padaku, kita akan aman keluar dari sini."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Gak! Siapa tahu justru kamu atau Lidya atau aku yang jadi korbannya," kataku dengan keras. "Jangan bawa Bima! Biarkan dia tetap di sini!" teriakku.

"Rei! Dia sudah gak ada," kata Lidya. "Kamu jangan egois dong! Bima saat ini butuh kita semua merelakannya agar dia tenang di alam sana," ucap Lidya.

Aku tak mengerti mengapa Yudha dan Lidya bisa merasakan hal yang tidak sama sepertiku. Apakah mereka sudah mati rasa? Mengapa di saat sahabatnya meninggalkan mereka, tapi mereka masih tenang begitu? Atau jangan-jangan merekalah pembunuh Bima?

Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh kedua ketiakku, lalu menarik tubuhku untuk berdiri. Jelas aku meronta-ronta agar kedua tangan di ketiakku saat ini melepaskanku, tapi kedua tangan itu makin mencengkram erat bawah bahuku. Di hadapanku, Kevin, Yudha, Theo saling bekerjasama menggotong tubuh Bima keluar. "Gak! Jangan bawa Bima!" teriakku sambil meronta-ronta seperti orang kesurupan saat ini.

Tiba-tiba entah mengapa pandanganku mulai berkunang-kunang dan kepalaku mulai pusing saat ini. Bahkan untuk meronta-ronta sekarang sudah tak kuat lagi. Perlahan pandanganku makin gelap hingga sampai semuanya hitam.

***

Author note:

Jangan lupa vote dan rekomendasikan cerita ini ke teman-teman kalian ya.

See you next part

Future Show: Werewolf Party GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang