Ibu Daniel cuma tersenyum dan menganggukkan kepalanya sambil mengelus rambut cewek itu setelah Rose berkata demikian. Benar dugaannya, cewek itu masih banyak pertimbangan soal pertanyaan Daniel soal pernikahan. Dia memaklumi keputusan Rose.
"Se, kamu bisa anterin minum ke Daniel? Kayaknya dia kecapekan deh ngejarin kucing tadi." Ibu cowok itu menyodorkan sebotol air mineral kepada Rose.
Rose menerima botol tadi dan berjalan ke arah cowok yang sedang duduk di bawah salah satu pohon rindang di sisi lain taman tersebut. Udaranya cukup sejuk, tapi terik matahari nggak bisa bohong. Dahi cowok itu dibasahi peluh, baju yang dipakainya juga sampai berbercak basah oleh keringat. Cewek itu duduk disampingnya dan menyodorkan air mineral untuk cowok itu. Setelah menerima dan menenggak minumnya beberapa teguk, cowok itu merebahkan kepalanya di paha Rose.
"Rooney sama Peter apa kabar?" cowok itu tiba-tiba buka suara.
"Baik kok."
"Kangen ya udah lama nggak liat mereka."
"Hmm..."
Cowok itu melirik sebentar ke cewek yang sedang memangku kepalanya. Daniel bangkit lalu duduk berhadapan dengan Rose. Cewek itu juga kaget ketika Daniel tiba-tiba bangun dan duduk menghadapnya.
"Kenapa?" Rose bertanya.
"Kamu kenapa, sih? Lagi banyak pikiran?" Daniel menggenggam tangannya.
"Niel, kalo aku ngomong serius kamu mau dengerin nggak?"
"Mau ngomong apa?"
"Tadi eommo-nim cerita masalah kamu bahas nikah-nikah..." cewek itu diam sejenak "...aku bukannya mau nolak, tapi aku belom siap Niel..."
"Kamu masih banyak pertimbangan kan?" Daniel memotong, cewek itu hanya mengangguk.
"Mau jelasin ke aku apa yang bikin kamu belom siap?" cowok itu mengusap-usap punggung tangan Rose, berusaha menenangkan.
"Aku masih mikirin kerjaan. I'm at my 'golden stage' on my job. Aku lagi seneng-senengnya kerja dan aku masih pengen berkembang lagi. Aku masih pengen belajar, ambil kuliah S2 bila perlu. Aku nggak mempermasalahkan usia kita masih muda kok, cuma kayaknya aku belom siap aja. Hubungan kita juga masih seumur jagung Niel. Gimana kalo misalnya kamu pacaran sama aku cuma buat muasin ego kamu aja? Gimana kalo aku juga sebaliknya? Gimana kalo kita nggak bertahan lama? Gimana kalo..." ucapannya nggak selesai karena cowok itu keburu membungkam mulutnya.
"Iya iya aku ngerti kok. Kamu bawel ya hari ini." Daniel terkekeh, menunjukkan sepasang gigi kelincinya.
"Karena ini keputusan berat, Niel. Aku nggak mau hal ini cuma jadi ajang coba-coba karena pernikahan itu sakral dan aku juga nggak mau ngecewain kamu kalo sewaktu-waktu aku nggak sesuai ekspektasi kamu."
Cowok itu terdiam sejenak. Rose juga diam sejak ucapan terakhirnya. Dia cuma nunduk, sibuk dengan pikirannya sendiri. Daniel menarik nafas panjang sebelum buka suara lagi.
"Ekspektasi aku sama kamu nggak tinggi-tinggi, Se. Aku cuma pengen kamu disamping aku terus itu aja. Aku juga nggak nuntut apa-apa. Yang perlu kamu tau, milih kamu dan milikin kamu itu bukan cuma ego. I really do love you. Hubungan lama nggak mejamin orang bisa cocok buat nikah satu sama lain juga loh..."
"Tapi apalagi yang baru bentar, Niel?" Rose menaikkan nada suaranya, antara kesal dan bingung harus gimana lagi menghadapi cowok ini.
Daniel juga sebenarnya menahan diri untuk nggak menaikkan nada suaranya. Nggak dipungkiri, dia kecewa mendengar jawaban cewek itu yang kesannya pesimis akan hubungan mereka. Tapi dia nggak mau salah langkah dan membuat cewek itu akhirnya makin ragu dan mundur. Apa salahnya dia? Cowok itu cuma ingin membentuk satu keluarga kecil dengan orang yang dicintainya, pikirnya.
"Terus pilihan apa yang bisa kamu kasih buat aku, Se?" cowok itu akhirnya pasrah.
"...."
"...."
"How about a break? " cewek itu menjawab.
***
Sunday morning, 2 weeks later
Rose sedang bermalas-malasan di kasurnya sambil memainkan ponselnya. Jari-jari lentiknya men-scroll layar smartphone nya yang sedang menampilkan beberapa fotonya dengan Daniel. Sudah seminggu sejak keputusannya break dengan cowok itu. Bukan putus, hanya membutuhkan jeda sejenak dari obrolan mereka yang akhir-akhir ini serius dan kelihatan tanpa ujung.
Cewek itu bukannya mau menghindar dari hal ini, karena dihindari pun nggak akan selesai. Dia cuma butuh waktu buat berpikir dan butuh Daniel untuk menimbang lagi dengan matang keputusannya sebelum akhirnya menyesalinya. Tapi sepertinya bukan cowok itu yang takut menyesali keputusan akhirnya, melainkan Rose sendiri. Nggak ada hari tanpa nggak memikirkan Daniel dalam seminggu ini.
Dia rindu dengan cowok itu. Jelas, karena dia memang mencintainya. Tapi akal sehatnya meminta berpikir logis. Bohong kata orang kalau cewek hanya berpikir hanya dengan perasaan. Cewek yang punya otak pasti akan berpikir berkali-kali walaupun yang melamarnya adalah seorang Kang Daniel yang pesonanya sulit di tolak. Rose termasuk dalam kategori umat yang sedikit ini. Hatinya yang bahagia menuntut untuk mengiyakan permintaan cowok itu, tapi otaknya yang memaksa berpikir logis membuatnya memikirkan banyak pertimbangan sebelum menerima lamaran cowok itu.
"Duh pusiiing. Mesti gue jawab apa sih?" cewek itu mengacak rambutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Flirty Photographer
Fanfiction"Jadi, apakah jatuh cinta sama rekan kerja yang notabene fotografer yang ganjen bakal jadi kesalahan kedua terbodoh gue?" - Roseanne Park "Ngomel mulu sih lo, stylist bawel!" - Kang Daniel