"Bunda... hiks hiks"
Mata gadis itu secara perlahan membuka dengan sendirinya. Setelah beberapa jam mata itu tertutup dengan tetesan air bening yang terus mengalir dari sana. Namun, walau mimpi yang tadi menyelimuti tidur gadis yang masih terengah dalam kesadarannya itu telah sirna, ia tetap menangis. Menangisi kemalangannya yang ditinggal ayah sekaligus bundanya. Kini, ia tahu ia telah menjadi seorang yatim piatu.
"Jangan nangis Neng. Neng mesti tabah ya."
"Iya, Mbok." Ucapnya kepada seorang wanita paruh baya di sampingnya yang kemarin tiba-tiba datang pada upacara pemakaman ibunya dan memberi solusi atas masalahnya. Masalahnya yang sekarang telah hidup menjadi sebatang kara.
"Neng mimpi buruk lagi ya?"
"Iya."
Terbesit rasa bersalah di hati gadis itu melihat wanita di depannya menghela nafas panjang. "Udah toh Neng, yang ikhlas" Lirih wanita itu.
"Gimana aku gak terus kepikiran Mbok? Bunda meninggal karena satu insiden yang aku bahkan gak tau kronologis kejadiannya itu gimana. Ayah udah lama pergi dan aku cuma tinggal punya Bunda. Sekarang Bunda juga ikut pergi, aku mesti gimana?" Kini giliran gadis itu pun juga ikut menghela nafas panjang, mencoba meminimalkan rasa tertekan.
"Udah atuh Neng. Sudah, cukup. Gak usahlah diungkit-ungkit lagi. Biar arwah ibu kamu, bisa tenang di sana. Mungkin kamu terlalu kepikiran sama itu semua. Semuanya udah takdir, ambil hikmahnya. Sabar. Yang penting harus menerima dengan sabar. Meski memang berat, tapi manusia bisa apa? Itu kan udah jadi Kehendak Yang Maha Kuasa. Sabar. "
Hanya beberapa detik.
Hanya butuh beberapa detik setelahnya, akhirnya pertahanan yang sedari tadi ia bangun kini hancur sudah. Roboh juga. Wanita di depannya berkata ia harus sabar. Sabar.
Sabar ya? Terasa mudah sekali untuk diucapkan. Sulit sekali untuk dilakukan.
Tak butuh waktu lama, akhirnya air mata itu jatuh semakin deras deras. Awalnya hanya beberapa tetes hingga seperti tanggul yang sudah penuh. Rasa-rasanya maklum jika air mata itu sudah tak bisa ia tahan lagi. Tangisan beserta raungan yang kini terdengar telah menjadi bukti.
"Aku kangen Bunda.." Begitu ratapnya.
***
"Neng, saya cuma bisa nganter sampai sini. Ini alamat rumahnya. Deket Neng, ini tinggal jalan dikit juga pasti ketemu. Kalau pun enggak, Neng nanti bisa tanya-tanya." Wanita paruh baya berpenampilan sederhana itu menunjuk jalan yang membentang lurus di hadapannya. Jalan perumahan biasa. Namun begitu gadis itu menajamkan pandangannya menatap keadaan di sekitarnya, ia jelas sudah tau jika deretan rumah tingkat berjajar rapi di komplek ini adalah deretan orang-orang berada. Derajat yang begitu berbeda dengan dirinya.
Gadis itu menghela nafas. Seolah ingin ia melupakan rasa galau di hatinya dan berusaha sekuat mungkin memupuk rasa sabar di dalam dirinya, ia pun berkata pada wanita di hadapannya. "Makasih ya udah bantuin aku sejauh ini."
"Iya Neng. Neng di sana hati-hati. Jaga diri baik-baik. Mbok di sini cuma ditugasin sama Nyonya. Tapi karena anak Mbok lagi sakit, Mbok harus cepet-cepet pulang dan gak bisa nganter Neng sampai ke rumah. Maaf ya Neng, saya tinggal sendirian."
Mendengar nada penyesalan dan ekspresi minta maaf yang begitu tulus, gadis cantik itu pun ikut merasa tidak enak. "Iya Mbok, aku gak apa-apa. Aku bakalan baik-baik aja. Mbok juga jaga diri ya. Makasih buat semuanya."
Setelah berpamitan, gadis itu pun melangkah. Menjalani setiap kehidupan ini hanya dengan do'a. Do'a yang ia mantapkan dalam hati untuk menjalani setiap takdir. Berupaya ikhlas sejalan menyelaraskan hati dengan setiap ketentuan Tuhan. Rasa sedih tentu masih menancap kuat menggumpal di setiap nadinya. Rasa yang teramat membekas. Siapa memangnya yang tidak merasa trauma ditinggal kedua orang tua? Hal yang membuatnya pantas dicap hidup sebatang kara? Hal yang membuatnya merasa wajar ditatap simpati dan kasihan oleh orang-orang di sekitarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Her ✔
Fanfiction[COMPLETED] Gracia yang naif hanya menginginkan bahagia dalam hidupnya. Bahagia yang ia rasakan sempurna dengan datangnya cinta. Cinta yang ia definisikan sebagai Shani. Cinta yang sulit diraih, bukan karena bertepuk sebelah tangan... Namun karena k...