Chapter 7

8.2K 531 56
                                    

Shani POV

Semua ini bener-bener nggak adil.

Bahkan kebahagiaanku langsung hilang sebelum aku puas merasakan kebahagiaan itu.

Lagi-lagi soal cinta. Dan aku kembali takkan mengerti tentangnya. Baru saja aku meyakinkan diriku sendiri untuk memperjuangkan seseorang yang kucintai. Tapi bagaimana jika orang itu menyerah sebelum aku memperjuangkannya? Bukan itu saja. Ia bahkan secara tidak langsung menolak hadirnya cinta yang kupunya. Juga cinta yang ia punya.

Aku tidak habis pikir, memangnya apa yang bisa ia lakukan jika bicara tentang cinta? Ia tak bisa menyalahkan kehadirannya apalagi menolaknya!

Aku menghela nafas lelah. Aku mengusap wajahku sendiri, menghirup nafas sekali lagi untuk menenangkan amarah yang kupendam. Memang aku senang jika ia masih belum mengerti betul soal modus-modus yang seringkali aku lakukan, ia benar-benar polos untuk peka terhadap sesuatu yang seperti itu. Tapi hei, menyebalkan sekali saat pertama tiba di sekolah tadi, Gracia malah bertanya dengan polosnya "Shani, kamu masih marah ya?"

Tentu saja aku marah. Walau aku masih tidak tahu mau melampiaskannya pada siapa. Oh, mungkin pada bu Shinta tadi. Sewaktu aku (lagi-lagi) melamun pada mata pelajarannya, dengan tanpa sopan aku malah langsung pergi di hadapannya bahkan sebelum ia menyuruhku untuk keluar kelas. Mengabaikan tatapan bertanya dari Anin dan Okta. Aku mengintip sedikit lewat jendela apa yang sedang Gracia lakukan di kelasnya, tapi aku tak melihatnya di tempat duduknya. Dimana dia? Oke, aku sedang marah padanya jadi aku berusaha keras untuk mengabaikannya.

Tetap berjalan santai dan jangan menengok ke belakang. Ingat saat dia dengan mudahnya mengatakan ingin melupakanmu. Ingat saat dia membohongi dirimu, Shani. Tetap berjalan stay cool dan tolong jangan menoleh kebelakang. Mungkin dia sedang pergi ke toilet.

Aku berhasil mengabaikan keinginanku untuk mencarinya karena sekarang yang aku lakukan adalah berdiri di ketinggian 1000 kaki?–entahlah aku tak peduli tentang itu-. Ya, atap sekolah. Tempat favorit ketiga setelah danau dan tempat tidur. Disini damai, angin yang menyapu wajahku itu membuatku merasa lebih tenang. Awalnya, tidak sebelum Anin mengagetkanku dengan teriakannya.

"SHAN, LO DISINI? GRACIA HABIS DI KUNCIIN ANTEK-ANTEKNYA NADSE DI TOILET, TERUS TADI FRANS BILANG GRACIA HILANG SETELAH ITU. HHHH, GUE CARIIN LO KEMANA-MANA. KOK LO MALAH ADA DISI-"

"DIMANA NADSE SEKARANG?"

"Di kelasnya lah. Duh."

***

Author POV

Shani menggebrak meja tepat dihadapan Nadse yang malah dengan tenangnya sedang memperhatikan kuku-kukunya yang baru saja di cat warna merah.

"Dimana Gracia?" Tanya Shani dingin.

"Uh-Oh, sekarang giliran lo ya Shan yang gebrak-gebrak meja? Itu artinya lo lagi marah kan? Sama kayak yang gue lakuin lusa lalu ke anak baru. Kenapa ya kita sama-sama mudah kepancing emosi? Gara-gara hal yang sama pula. Si anak baru. Wah, kita jodoh kali." Nadse mengedipkan matanya kepada Shani. Yang mana membuat Shani menjadi semakin muak dan tak terkendali.

"Gue tanya lo jawab. Sekali lagi. Sebelum kesabaran gue mulai abis ngadepin cewek lebay kayak lo. Dimana. Dia?"

"Dia siapa?"

Shani bergerak maju melihat tingkah pura-pura Nadse. "Shan, inget. Dia, dia lebih senior disini. Lo nggak mungkin ngelakuin hal bodoh kan?" Ucap Anin menahan langkah Shani selanjutnya.

Shani menghela nafas mencoba mengontrol amarahnya. "Dimana Gracia, ... kak?"

Nadse cemberut. "Oke-oke. Gue ceritain dulu ke lo soal Gracia. Tapi plis, lain kali nggak usah manggil gue pake kak, gue berasa tua tau!"

Love Her ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang