Gracia menatap jari manis ditangannya, lebih tepatnya ia sedang menatap cincinnya. "Kalau kamu tunangan sama orang lain, bahkan orang itu adalah Vino. Kenapa aku yang malah kamu kasih cincin ini? Kenapa? Kenapa kamu selama ini nggak jujur? Kenapa kamu bohong?" Gracia menelungkupkan kedua tangannya ke wajahnya, mencoba meredam tangis. "Kenapa Shani?" Bisiknya.
Mungkin karena tangisannya, mungkin karena ia merasa sesak, mungkin udara di dalam mobil ini tak cukup membuatnya bisa bernafas dengan baik, mungkin karena ... sakit di hatinya. Mungkin karena apapun itu yang jelas ia begitu sulit untuk bernafas. Semuanya semakin jelas semakin ia berpikir lebih jauh. Seperti yang dikatakan Vino. Ia berpikir panjang.
Jika berkorban diperlukan, maka akan ia lakukan. Oma berhak atas Shani, cucunya sendiri. Begitupun Vino, sahabat masa kecilnya.
Lalu apa yang harus Gracia lakukan untuk setidaknya dapat membuat rasa sakit Vino selama ini berkurang bahkan menghilang? Apa yang harus ia lakukan untuk Vino?
Gracia sekarang tahu jawabannya. Vino yang menderita, sekarang ia berhak bahagia.
Begitupun Oma, apalagi ini masa sulitnya. Gracia sekali lagi merasa tersadar, ia itu bukan siapa-siapa disini. Bukan siapa-siapa. Ia lebih memilih tidak bahagia. Ia memilih jalan untuk menyerah. Lagipula menyerah untuk apa? Ia bahkan tak berbuat apa-apa!
Hanya saja saat ini pikirannya dipenuhi banyak hal, satu hal yang paling ia pikirkan adalah... 'Tapi bagaimana dengan kebahagiaan Shani?' Namun dari semua itu ia lebih merasa takut. Takut orang hanya datang untuk pergi meninggalkannya. Ibunya, Shani, Vino. 'Semua orang pergi dengan caranya masing-masing.' Begitu nasehat terakhir ibunya.
Tapi untuk Shani dan Vino, harusnya bukan seperti ini caranya kan? Shani dan Vino yang bertunangan, dan ia yang harus pergi. Mungkin memang bukan Vino dan Shani yang meninggalkannya namun Gracialah yang harus terpaksa pergi lalu merasa kehilangan. Ia yang pergi, namun ia malah yang lebih merasa ditinggalkan. Padahal ia begitu takut sendirian, namun ia harus melakukannya.
Ia takut pada kebahagiaan orang lain, kepergian orang lain meninggalkannya, dan rasa sakit itu sendiri.
Hanya saja ia merasa sangat.. takut.
'Shani, kita harus bicara.'
***
'Shani, kita harus bicara.' Satu pesan dari Gracia.
Shani membaca kalimat itu dan mulai merasa janggal. Pesan yang singkat padat jelas. Sama sekali bukan khas Gracia yang tiba-tiba terlihat begitu cuek dan dingin seperti ini.
Entah kenapa perasaannya mulai tak enak. Shani pun segera berlari menuju tempat terakhir ia memarkirkan mobilnya.
***
"Gracia tadi kesini?"
Sisi mengangguk. "Iya, tapi dia begitu aneh. Masa' dia tiba-tiba nangis pas pergi? Dia ada masalah apa ya? Dia pergi tiba-tiba setelah keluar dari kamar kakak."
Hah? Gracia nangis? Kenapa?
Vino terkesiap. Buku diary. Mana buku diarynya? Ia lalu menyuruh Sisi mengambilkan buku diary yang entah bagaimana bisa tergeletak di atas lantai.
Ada bekas tangis yang terjatuh dibeberapa tempat di dalam buku itu saat Vino membukanya. Vino mengumpat dalam hati.
"Sisi, mama ada dirumah?"
"Dia masih di rumah sakit kak, ada apa?"
"Jangan bilang sama mama, kakak ada urusan penting mau pergi sekarang juga." Vino segera bergerak bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Her ✔
Fanfiction[COMPLETED] Gracia yang naif hanya menginginkan bahagia dalam hidupnya. Bahagia yang ia rasakan sempurna dengan datangnya cinta. Cinta yang ia definisikan sebagai Shani. Cinta yang sulit diraih, bukan karena bertepuk sebelah tangan... Namun karena k...