Setengah jam telah berlalu. Gracia menatap kue di depannya dengan wajah datar. Tak ada satupun pesan yang dibalas Shani. Tak ada satupun telfon yang diangkat Shani. Hanya operator yang terus menjawab nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, bla bla bla.
Kemana Shani selama itu? Gracia bahkan telah mengecek toilet wanita. Nihil. Shani tak ada. Shani pergi. Shani meninggalkannya. Shani lupa keberadaannya. Shani lupa, ... malam ulang tahunnya.
Nafsu makan Gracia telah hilang sejak ia tahu tak ada mobil ataupun mobil Shani yang dilihatnya diparkiran. Shani benar-benar pergi. Jadi begini ya ... akhirannya.
Gracia tersenyum kecil saat menyadari air matanya runtuh dan jatuh saat menatap cincin di tangannya. Sebenarnya apa yang diharapkannya? Kedatangan Shani untuk menemaninya semalaman ini? Meniup lilin dan memotong kue ulang tahun? Bernyanyi lagu happy birthday sambil saling mengoles krim di wajah masing-masing dengan konyol?
Satu setengah jam telah berlalu dengan cepat.
Oh, semua terasa cepat juga ya berlalu bagai mimpi. Mungkin jika Gracia cinderella, inilah saat jarum jam berada tepat tengah malam. Ia harus kembali dan terbangun dari mimpi indah dan semua harapan semunya. Menghadapi kenyataan. Karena mungkin jika iya dia seorang upik abu, selamanya upik abu tak dapat bersanding dengan pangeran. Kecuali Ethan yang terlalu yakin dengan cerita-cerita happy ending khas anak-anak. Tapi dia wanita dewasa sekarang, bukan anak-anak. Mengapa harus bermimpi terlalu tinggi jika akhirnya ia harus terjatuh dari ketinggian itu?
Dia tak senaif itu. Gracia tidak seoptimis itu.
Pelayan diujung pintu menatapnya dengan tatapan kasihan. Semua pengunjung di bawah telah sepi dan hendak pulang, entah kenapa ia tak ingin beranjak dari sini. Entah kenapa ia tak ingin mimpi indahnya berakhir secepat ini, semenyedihkan ini.
Satu tetes air mata terjatuh mengenai cincin yang dipakainya. Dua tetes, tiga tetes. Bahkan sekarang sudah tak bisa terhitung lagi, bukan tak bisa namun tak sanggup.
Gracia menghembuskan nafasnya sekali lagi, hanya untuk menyembunyikan isakan tangisnya, hanya untuk meringankan sedikitnya rasa sesak di dadanya. Benar kata mereka, kebahagiaan dan kesedihan datangnya selalu satu paket, kan?
Tapi mengapa Tuhan membiarkannya bahagia terlalu hanya untuk merasakan tangis setelahnya? Tepat saat ia merasa malam ini adalah malam terindah dalam hidupnya?
Drrrtttt Drrrrtttt
Entah kenapa semua yang diucapkan Shani tadi terasa kosong dikepalanya. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini dalam satu waktu? Sesaat ia bahagia, setelahnya ia merenung hanya untuk menahan tangisnya. Menahan tangis? Ia bahkan sudah tak bisa menahannya lagi. Rasanya sakit, terlalu sesak.
Drrrrttt Drrrrrttt
Username : Frans
"Halo?"
"Halo? Gre, lo belum tidur? Kirain udah tidur hehe ini kan udah lumayan larut."
"Belum." Suara Gracia serak.
"Gre, detik-detik ulang tahun lo bakalan berakhir nih. Apa wish terakhir lo?"
"Aku ... A-aku ... Hiks."
Gracia dengan segera megusap air matanya. Saat tak sengaja ucapan Oma tiba-tiba 'mampir' di kepalanya. Jujur Gracia merasa takut. Merasa sangat khawatir. Sejak dulu, hanya saja selalu berhasil ditutupinya dengan raut wajah yang tenang.
'Sekarang waktu yang tepat untuk kamu mulai khawatir. Saya tidak segan melakukan apapun yang menurut saya terbaik bagi cucu saya.'
Aku berharap bisa menekan rasa takutku. Untuk tidak kehilangan dia. Aku berharap bisa menekan rasa cemasku atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku berharap untuk tegar, dan dapat menghadapi apapun kemungkinan terburuk jika saat kita bisa saja nanti berpisah. Batin Gracia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Her ✔
Fanfiction[COMPLETED] Gracia yang naif hanya menginginkan bahagia dalam hidupnya. Bahagia yang ia rasakan sempurna dengan datangnya cinta. Cinta yang ia definisikan sebagai Shani. Cinta yang sulit diraih, bukan karena bertepuk sebelah tangan... Namun karena k...