9.Salah Sangka

242 66 17
                                    

Chapter 9 : Salah Sangka

Perpustakaan Sekolah.

Ele sibuk memilih buku di Perpustakaan, ia masih bingung dengan buku yang ia cari. Kelas berikutnya adalah pelajaran Ekonomi tapi ia belum juga menemukan buku yang mengena di hatinya. Karena jujur saja buku tentang Ekonomi sangat banyak, makanya ia bingung harus memilih yang mana.

Di rak yang paling tinggi, Ele melihat buku Ekonomi tebal berwarna kuning. Mungkin itu adalah buku yang paling cocok. Ele berjinjit untuk meraih buku itu karena tingginya yang tidak sampai.

Hampir satu menit ia berjinjit tapi ia belum juga mendapatkan buku itu. Kaki dan tangannya juga mulai keram. Padahal perpustakaan ini cukup ramai tapi kenapa tidak ada satupun tawaran pertolongan untuknya.

Tiba-tiba sebuah tangan mengambil buku yang Ele inginkan. Ele menoleh kebelakang dan mendapati seorang Pria tinggi dengan wajah yang sangat datar sedang menatapnya.
Wajah Ele tidak kalah datar. Tapi ia tidak lupa untuk mengatakan 'Terimakasih' setelah menerima buku itu.

"Terimakasih." kata Ele tanpa ada embel-embel apapun. Percayalah itu hanyalah formalitas.

Setelah itu Ele duduk di kursi yang letaknya di pinggir jendela. Tempat itu sepi dan angin berhembus pelan dari jendela. Ini adalah tempat yang nyaman, pikir Ele.

Ele mulai membaca buku. Tenang. Itu yang ia rasakan sampai tiba-tiba seseorang duduk di barisan bangku yang sama dengannya. Ele menatap laki-laki itu. Bukannya dia laki-laki yang membantu Ele tadi.

Ele mengacuhkannya sambil menggeser kursinya menjauh. Ia melirik name tag laki-laki itu.

"Austin Lee." pikir Ele. Nama yang tidak asing.

Sementara itu, merasa diperhatikan. Austin menolehh ke arah Ele. Sontak Ele memalingkan wajahnya.

Austin menggeser kursinya mendekat ke arah Ele. Ele masih diam sambil berpikir apa yang akan dilakukan Austin selanjutnya. Tapi sepertinya Austin tampak sibuk dengan buku yang ia baca.

"Apa-apaan sih dia!" pikir Ele sambil meliriknya kasar.

"KRIET..."

Austin kembali menggeser kursinya mendekat ke arah Ele dan Ele semakin yakin kalau ini semua ada sesuatu.

Ele mengambil handphone dan headset. Ia langsung menyematkannya ke telinga tanpa memutar musik apapun.

"Oke, tetaplah berpikir positif. Jika dia mendekat lagi maka aku akan menyerang" ucap Ele dalam hatinya.

Austin mendapati gerak gerik Ele yang terlihat gelisah. Ia pun menggeser kursi lagi. Kali ini posisi mereka benar-benar dekat.

Ele berdiri dan langsung menunjuk Austin. "Hei kamu.."

"Hei, Austin ternyata kamu disini? Yang lain sedang mencari mu."

Tiba-tiba saja datang seorang yang lain. Ele langsung terdiam dan menatap laki-laki yang baru datang itu.

Dia.. oh, itukan Gavino.

Ele langsung memalingkan wajah karena malu.

"Ayo pergi. Sepertinya ada hal yang perlu kita bicarakan.." perkataan Gavino terpotong saat ia melihat Ele.

"Oh, ada Ele." Gavino beralih mendekati Ele. "Bagaimana dengan luka di kepala mu? Sudah sembuhkan? Maafkan aku waktu itu ya.." ucap Gavino bertubi-tubi seraya menyentuh kening Ele.

Ele menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai terasa panas.

"Gavino!" Austin tiba-tiba bersuara. Otomatis Gavino langsung mengalihkan perhatian ke arahnya.

"Semua sudah berkumpul, ayo pergi."

"Ee.. kamu benar, lalu kenapa kamu masih disini?" Gavino menoleh lagi ke Ele dan tersenyum. "Nanti kita bicara lagi." Gavino menepuk kepala Ele lalu menghampiri Austin.

"Ayo pergi." Gavino menarik tangan Austin tapi Austin menahannya.

"Oh iya,," Austin melirik Ele. "Sinar matahari menembus jendela, makannya aku menggeser kursi."

Gavino tampak bingung. "Apa maksud mu?" tanya Gavino tapi Austin langsung berjalan pergi tanpa memberi jawaban apapun.

Ele melirik meja yang Austin tempati pertama kali dan benar, disana terkena sinar matahari dan sudah pasti panas. Siapa yang tahan?

Jadi perkataan Austin barusan adalah sindiran untuknya? Jadi dia sudah salah menyangka? Ele tersenyum pahit. Ia dipermalukan, jelas sekali.

Ele meremas bukunnya. "Austin Lee.." geramnya.

***

Sementara itu di sebuah kelas lama dimana tempat itu telah menjadi berkas tempat berkumpulnya para anggota BLITZ terlihat sedikit ramai. Hampir semua anggota BLITZ ada disana.

Austin dan Gavino baru saja datang yang membuat Hanan dan Alvaro langsung menyambutnya. mereka berdua duduk di kursi sambil melirik ke sekitar.

"Zian dimana?" tanya Austin.

"Dia masih mengurus Anak Kelinci itu." jawab Hanan.

Alvaro tersenyum saat melihat Zian yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Zian duduk dengan santai, bedanya kali ini anggotanya merasa aura yang berbeda dari Zian.

"Kamu tampak senang." kata Gavino. Zian menoleh dan hanya tersenyum tipis.

"Tentu saja dia dalam mood yang bagus. Dia baru saja bersama dengan 'mainanya'.." kata Alvaro sambil mendekati Zian. "Oh, maksud ku gadis itu. Jangan-jangan ada sesuatu diantara kalian."

Zian terdiam yang membuat semuanya ikut diam kecuali Alvaro.

"Kamu harus menyingkirkannya seperti murid yang sudah-sudah. Anak kelinci itu harus keluar dari sekolah. Mempermalukan ku maka mempermalukan BLITZ." Alvaro tidak bisa berhenti berbicara. Sementara Zian terus terdiam. Ia memikirkan sesuatu.

"Kamu akan melakukannya kan? Zian?"
Zian bangkit dan hendak pergi tapi lagi-lagi suara Alvaro menghentikannya.
"Jangan-jangan kamu menaruh hati padanya."

Zian menatap Alvaro tajam.

"Kamu bisa tenang. Karena dia urusan ku." Kata Zian kemudian pergi meninggalkan mereka.

Alvaro menggepalkan tangannya. Hanan menghampiri Alvaro dan menanangkannya.

"Jangan membuat Zian marah, kita lihat saja dia. Kamu tahu sendirikan bagaimana jika dia sudah marah."
Alvaro menghela napas kemudian kembali duduk.

"Ya, kita lihat saja nanti."

***

Aku sangat butu koment dan Vote dari kalian. Terserah kalian mau bilang apa tapi respon dan jejak kalian disini adalah energi untuk ku. Jadi jangan lupa ya..

TIME BLITZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang