Kowad?

14K 914 4
                                    

"Papa mau ngomong serius sama kalian" Ucap Dani membuka pembicaaran pada makan malam bersama keluarga kecilnya. Setelah sekian lama keluarga kecil itu tidak berkumpul secara lengkap karena Cika yang tinggal menemani neneknya di Bandung.

"Silahkan pah" Ucap Imel

"Teteh, masih inget pesan aki ga waktu itu?" Tanya Dani pada Cika yang kerap kali ia panggil dengan sebutan teteh. Dalam bahasa Sunda teteh mengandung arti kakak perempuan. Cika hanya diam membisu, suara dentingan sendok yang saling beradu hanya mendominasi ruang makan keluarga ini.

"Waktu itu aki pernah bilang kan kalo cucunya harus ada yang lanjutin pengabdian aki, Papa udah lanjutin pengabdian aki, karena Papa anak satu-satunya dan cuma kalian berdua cucu aki. Jadi Papa mau diantara kalian berdua harus ada yang lanjutin pengabdian Papa" Dani menghela napas, tatapannya penuh harap. Rani, Imel dan Dani menatap Cika.

"Aku?" ucap Cika yang sedang memotong daging panggang itu meletakan pisau dan garpunya. Ia menaikan sebelah alisnya dan menunjuk dirinya sendiri, Cika merasa tidak suka dengan tatapan orang-orang disekitarnya.

"Iyalah kalo bukan teteh siapa lagi. Terus aku gitu? Aku sadar diri lho yak aku tuh pendek" Ucap Imel. Imel merasa tak percaya diri karen pastur tubuhnya yang mungil ketika begabung dengan teman-temannya yang tinggi jenjang bak model. Kali ini ia merasa postur tubuhnya telah menyelamatkan Imel dari kalimat horror yang ayahnya ucapkan.

"Kowad?" Tanya Cika

"Iya. Kalo bukan teteh siapa lagi. Ga mungkin kan si Imel, mana ada kowad menye-menye" Ucap Dani. Imel merasa tersinggung dengan ucapan ayahnya itupun menjulurkan lidahnya. Meski banyak orang yang mengatakan hal seperti itu tidak sopan kepada orang tua tetapi Imel kerap kali melakukan hal itu dan bagi Dani Imel masih tetap gadis kecil yang menggemaskan.

"Tuh denger, ehh ada pah tentara menye-menye, si Rendi tuh" Ucap Imel dengan tertawa garing, Imel pernah mendapati Rendi sedang menangis dibawah pohon mangga samping rumah dinasnya. Ternyata penyebab dari tangisan Rendi itu karena drama korea yang ia tonton dari ponselnya. Dengan cepat Rendi menghapus airmatanya kendati masih terdengar suara segukan yang tak tertahan.

Rani memeberikan tatapan tajam mengisyaratkan bahwa pembicaraan kali ini sedang serius. Imel mulai kembali dari pemikiran tentang Rendi pada situasi tegang diruang makan ini.

"Sumpah galucu mel" pikir Cika dalam hati

"Teteh udah cukup teh, tinggi cukup, fisik kuat dan ini nih sikapnya udah kayak cowok" Ucap Rani yang menggoda putrinya dengan menyenggol lengan sang anak.

"Aku kan cewek pah, terus kuliah aku gimana? Kan tahun kemarin udah nyoba tapi gagal apa bedanya sama tahun ini pah" Cika tidak suka dengan perintah ayahnya. Tahun lalu ia sempat mengikuti seleksi pendaftaran Taruni Akademi Militer. Tanpa sepengetahuannya sang ayah mendaftarkan Cika pada pendidikan militer itu. Ia mengikuti seleksi dengan asal-asalan karena ia memang tidak menyukai profesi yang ayahnya tekuni namun dalam hati terdalamnya terdapat sebuah kebanggaan tersendiri. Siapa tidak bangga memiliki seorang ayah yang mengenakan melati tiga dibahunya. Juga kakeknya yang menyandang sebuah penghargaan kehormatan.

"Papa gamau tau, pokoknya kamu mulai latihan besok. Papa udah minta cuti sama kampusmu kalo kamu lolos ngundurin diri aja dari kampus itu. Besok latihan fisik sama anggota Papa" Cika hanya pasrah dengan ucapan ayahnya. Jika ia mengetahui motif ibunya meminta Cika untuk ke Semarang mungkin Cika tak akan menuruti permintaan sang ibu.

"Pah, kan Papa udah setuju kalo teteh lanjut di kedokteran aja, gapapa teteh masuk dunia militer kan teteh bisa ikut prajurit karier. Pah pengabdian tuh bukan hanya dimiliter aja, teteh jadi dokter PNS pun itu udah pengabdian, jangankan itu teteh jadi warga sipil biasa tanpa embel-embel apapun kalo itu berguna buat Negara itu termasuk pengabdian Pah" Cika mencoba bernegosiasi dengan sang ayah. Ia tidak terima jika harus melepaskan pendidikan kedokterannya disalah satu perguruan tinggi negri yang ada di Bandung. Sejak kecil hingga dewasa ini cita-cita Cika tetep sama yakni menjadi seorang dokter. Sang ibu sangat mendukung cita-cita anak sulungnya, namun karena Dani tak menyetujuinya Rani hanya pasrah dan tak mampu berbuat apapun.
Sedangkan Imel, ia sangat mendukung Cika untuk mamasuki dunia militer. Menurutnya Cika adalah sosok wanita kuat seperti ayahnya, bagi Imel Cika layaknya kakak laki-laki yang selalu melindunginya. Cika terlalu garang jika menjadi seorang dokter, jika pasien berobat padanya bukan sembuh melainkan bertambah sakitnya, anak kecil saja sawan mendengar kejudesan Cika. Jika Cika mengetahui Imel berpendapat seperti itu mengenai dirinya, maka akan dipastikan terjadi genjatan senjata diantara keduanya.
***

DedizioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang