Lampu merah

9K 624 33
                                    

Cika dan Nek Asri turun dari sebuah taxi online. Perjalanan dari taman makam pahlawan menuju rumahnya memang tak memakan waktu yang lama karena jaraknya yang dekat. Cika dan Nek Asri bisa saja berjalan kaki menuju rumah,akan tetapi hari ini matahari bersinar dengan teriknya dan Nek Asri yang sudah renta juga mudah lelah tak memungkinkan untuk berjalan. Cika mengeluarkan dompetnya dan memberikan selembar uang lima puluh ribu rupiah pada sopir taxi tersebut. Setelah mendapatkan kembalian, ia bersama nek Asri memasuki rumah. Cika membanting dirinya pada sofa diruang keluarga. Ia melepaskan kerudung yang dikenakannya kesembarang arah, gadis itu menyalakan televisi dengan volume suara yang sangat besar.

"Ehh berisik banget sih" Wine merebut remote ditangan Cika, gadis itu mendengus kesal. Suara ganduh dari televisi yang dinyalakannya tak akan melebihi suara keganduhan didalam hatinya. Berbagai prasangka buruk masih memenuhi pikirannya. Cika beropini bahwa gadis yang beberapa jam lalu dalam dekapan Raka itu merupakan Ayu, sang gadis masa lalu Raka. Cika akui gadis itu cantik, wajahnya penuh kelembutan. Gadis itu cocok bersanding dengan Raka. Cika rasa gadis itu melengkapi kehidupan Raka yang keras dengan kelembutannya, ia mersa semakin rendah dan tak pantas untuk mencintai Raka. Hah cinta? Mengapa ia berfikir kata itu.

Cika meninggalkan Wine yang sedang menonton gossip para selebriti. Ia membuka pintu kamarnya dan menutupnya dengan keras. Gadis itu mengambil gitar yang terletak disamping nakasnya. Ia memetikan jari lentiknya pada gitar berwarna coklat itu. Mulutnya bersenandung mengikuti nada.

Aku lelah

Aku jera

Aku rasa cinta tak berguna

Ingin pergi tapi tak bisa, hatiku masih milikmu

Harusnya engkau mengerti sakitnya dikhianati

Kutakpernah bisa membayangkan hari-hari tanpamu

Lagu yang dibawakan oleh Bunga Citra Lestari itu mengalun indah dari bibir Cika. Air mata mengalir dikedua pipinya. Cika, gadis yang tak menyukai lagu-lagu bernada sendu itu kini menikmati petikan gitarnya, cinta membuat Cika penikmat musik bergenre rock dan blues pindah haluan menjadi penikmat melodi sendu seperti ini, ia dan Raka memang tak memiliki memori kenangan indah, entah mengapa kisahnya di Lodge Maribaya terputar diotaknya.

Astaga, Cika melupakan satu hal. Ia sudah membuat janji untuk mengerjakan tugas kelompok dikost Pipit. Ia terlalu sibuk berkutat dengan pikirannya tentang Raka. Cika mengganti gamis panjangnya dengan kaos putih dan jeans biru, dengan cepat ia memasukan laptopnya pada tas hitam. Cika membuka handphonenya yang sengaja ia silent. 7 panggilan tak terjawab dari Pipit, 5 panggilan tak terjawab dari Tika.

**

"Ni Cika pamit mau kerja kelompok" Pamit Cika pada nek Asri yang sedang memotong tomat didapur, tak lupa ia mencium tangan sang nenek

"Itu matanya kenapa neng?" Tanya nek Asri yang menyadari mata Cika tampak merah dan bengkak.

"Cuma kelilipan, Cika buru-buru" Dengan cepat gadis itu berlari menuju halaman rumahnya, ia menunggu ojek online yang dipesannya.

Untuk mempercepat waktu ia memilih menggunakan jasa ojek online dibanding menaiki transportasi umum lainnya. Sudah dipastikan bahwa kedua sahabatnya akan memarahinya karena semua file tugas mereka ada dilaptop Cika sedangkan deadline pengumpulan tugas besok dan gadis itu tak terlihat batang hidungnya.

Motor yang ditumpangi Cika berhenti desebuah lampu lalu lintas berwarna merah. Nampaknya hari ini adalah hari yang membuatnya kesa,l gadis itu merutukui lampu merah yang menyala tepat saat dirinya melintas. Cika memandang seorang pengendara disampinya yang membonceng seorang gadis. Tangan gadis itu memeluk pinggang sang pengendara. Bukankah baju yang dikenakan gadis itu sama dengan yang dikenakan Ayu dipemakaman tadi. Benar, gadis itu adalah Ayu dan pria yang dipeluknya itu Raka.

Raka menyadari pandangan gadis pada motor disebelahnya.

Deg

Gadis itu adalah Cika 'tunangannya'. Kedua mata itu saling menatap sepersekian detik

"Cika" Ucap Raka refleks.

"Siapa Mas?" Tanya Ayu

"Teman"

Motor yang ditumpangi Cika itu melaju karena lampu lalu lintas sudah berganti warna menjadi hijau. Kata 'teman' yang terlontar dari bibir Raka membuat hati Cika semakin tersayat. Gadis itu menangis diatas motor yang sukses membuat pengendara ojek online itu terheran-heran. Cika semakin yakin bahwa dirinya hanya dijadikan sebagai pelicin karier militernya. Banyak dari tentara yang menikahi anak jendral hanya untuk mempermulus karier militernya. Cika tak ingin hidup dibawah bayang-bayang militer. Tak terasa ia sudah sampai didepan kost Pipit, gadis itu mengeluarkan uangnya dari dompet dan membayar sesuai harga yang tertera diponselnya.

"Cika, astagfir lu masih hidup kan Cik?" Pipit keluar dari kost-nya dengan heboh. Pipit bertanya seperti itu karena Cika hilang tanpa kabar.

"Huh, tugas kita masih selamat Pit" Ujar Tika dengan mengelus dada.

"Kalian urus aja tugasnya" Ucap Cika dengan suara seraknya, ia menyerahkan laptop yang berada ditas punggungnya. Tanpa permisi gadis itu memasuki kost Pipit. Cika merebahkan tubuhnya pada kasur lapuk Pipit. Kost-an yang dihuni Pipit hanya terdiri dari dua petak ruangan, satu ruangan dijadian sebagai kamar tidur dan satu ruang dapur yang menyatu dengan toilet. Cika kembali menangis, memori otaknya berputar pada peristiwa lampu merah beberapa menit yang lalu

"Cik lu kenapa?" Tanya Tika. Cika hanya membentuk tangannya seperti huruf O dengan tiga jari terangkat. Ia mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja kendati hatinya sudah hancur berserakan.

"Okay kalo lu gamau cerita, tapi lu hutang penjelasan" Ucap Pipit

"I'm okay" Cika menutup kepalanya menggunakan guling Pipit yang penuh dengan ilernya.

"Pertama kalinya gue liat Cika nangis" Ucap Tika yang sedang menggunting kukunya

"Yaps betul, sinetron tersedih sekalipun tuh orang kagak nangis" Jari pipit sibuk diatas laptop Cika.

"Gue baru tau Cika yang kaku bisa nangis" Lanjut Pipit

"Yaa dia juga manusia normal oon" Tika sudak melempar bantal kecil disampingnya kearah Pipit yang sukses mendarat tepat dikepalanya. Pipit mengelus kepalanya, yang tak terasa sakit.

Cika bangkit dari kasur Pipit, ia merogoh ponselnya disaku celana. Nada sambung berdering dari ponselnya, gadis itu menghubungi seseorang namun tak kunjung terjawab. Cika berjalan menuju teras kost Pipit.

**

"Assalamualaikum" Salam dari seseorang disebrang telepon

"Sebutkan ciri-ciri Ayu!" Ucap Cika to the point tanpa menjawab salam dari Rendi. Pria itu terheran dengan ucapan dari Cika yang tiba-tiba meminta ciri-ciri Ayu setelah sehari yang lalu meminta informasi mengenai kehidupan Ayu.

"Putih, cantik, lembut, tingginya kurang dari mbak Cika, ada tahi lalat disudut bibirnya" Jelas Rendi. Dugaan Cika 100% terbukti. Ia sebelumnya mengenal wajah Ayu dari foto yang terpampang didinding rumah Raka.

"Kenapa kau ga bilang kalo Dimas sudah meninggal?" Cika menanyakan Dimas. Sebuah nisan bertuliskan Dimas Radika Siswidjo yang tadi dikunjungi oleh Ayu dan Raka.

"Waktu itu gue mau bilang mbak, ehh telpon mbak mati" Rendi mengingatkan telepon terakhirnya bersama Cika, telepon itu terputus karena handphone Cika kehabisan baterai.

"Ada kemungkinan Raka kembali bersama Ayu?" Tanya Cika.

"Hmm, mungkin ada mbak, apalagi setelah sasuh tau isi hati Ayu dan Dimas sebelum meninggal terakhir kali kata yg diucapkan itu Ayu dan bilangnya ke sasuh, bisa aja Dimas minta sasuh jagain Ayu. Ahh saya kurang tau masalah internal sasuh sama Ayu mbak" Cika menutup telponnya. Ia kembali menagis, Cika tak mampu mengontrol dirinya untuk tidak menangis. Gadis itu merasa aneh dengan dirinya sendiri, ia merasa kehilangan dirinya yang kaku dan tak gampang menagis.

***

DedizioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang