Gemercik air mendominasi suara didalam rumah bercat hijau itu, Raka sibuk dengan ritual paginya. Mandi yang Raka lakukannya sama halnya dengan anak gadis lakukan, ritual luluran yang menghabiskan waktu cukup lama itu ia lakukan maka tak hayal walau pekerjaannya bergelut dengan terik mentari tetapi kulitnya tetap mulus. Seusai mandi Raka bergegas untuk mengenakan pakaian. Raka menyemprotkan parfume beraroma maskulin itu. Eclat homme sport, salah satu produk dari Oriflame yang menjadi parfume andalan Raka. Dengan harga yang tak begitu merogoh banyak sakunya tetapi ketahanan wanginya sampai sore, cocok dengan aktivitas Raka yang banyak mengeluarkan keringat.
"Ren sunblock gue" Teriak Raka pada Rendi yang masih menyemir si kinclong padahal sepatu itu seudah bersih mengkilap.
"Gue abisin" Teriak Rendi didepan rumah. Raka dan Rendi memakai produk yang sama, Rendi selalu mamakai parfume, sunblock, shampoo Raka. Selama tinggal bersama Raka, Rendi tak pernah membeli produk-produk yang digunakannya. Tak ada simbiosis mutualisme dalam hubungan mereka.
"Habiskan saja semua" Teriak Raka mulai emosi. Hal seperti itu sering terjadi, Raka tidak bermaksud pelit berbagi pada Rendi melainkan ia geram dengan tingkah Rendi yang seenaknya menghabiskan barang-barang Raka.
"Marah mulu, buruan suh apel pagi kita" Raka kelaur dari rumahnya dengan penampilan lengkap. Ia membawa senapan kesayangannya itu dan berjalan bersama Rendi menuju lapangan untuk melaksanakan apel pagi kemudian dilanjutkan dengan latihan tembak.
**
Dengan helaan nafas berat Raka mengetuk pintu rumah berwarna putih itu, ditemani Rendi yang masih bingung dengan ajakan Raka mengunjungi rumah ini. Seorang wanita yang sudah berusia senja tetapi aura kecantikannya masih terpancar membuka pintu, ia menyapa ramah pada kedua pemuda dengan seragam loreng dan juga senapan laras panjang. Wanita yang mengenakan daster bunga-bunga berwarna merah itu mempersilahkan Raka dan Rendi untuk masuk.
"Bapak ada bu?" Tanya Raka pada wanita yang sedang meletakan softdrink dimeja tamu.
Jantung Raka seolah akan loncat dari tempatnya. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya. Kali ini Raka sudah yakin.
"Ada nak, sebentar ibu panggilkan" Tak menunggu lama. Pria paruh baya itu duduk didepan Raka dengan tatapan penuh Tanya.
"Selamat sore, Saya letda inf Raka Rayyan Saputra maksud kedatangan saya kemari untuk melamar putri bapak" Raka mengatakan dengaan suara yang tegas. Rendi membulatkan matanya tak percaya, pasalnya Raka yang 24 jam selalu bersamanya itu tidak mengatakan hal yang menjurus pada lamar- melamar. Tak hanya Rendi yang terkejut melainkan pria yang didepan Raka-pun menunjukan rasa terkejutnya.
Bagi Rendi, hidup itu penuh kejutan dan disore hari ini. Semarang, salah satu kota yang terletak ditengah pulau Jawa menjadi latar dari hal yang mengejutkan bagi Rendi.
"Suh lu beneran lamar doi? Teganya lu ama gue suh, lu kan tau suh kalo gue.." Bisik Rendi tepat ditelinga Raka. Raka tak menggubris ucapan Rendi. Keputusannya sudah bulat, semalam ia sudah menemukan jawabannya melalui mimpi dari sholat istikhoroh yang dilakukannya malam hari kemarin. Ia sudah berkomitmen.
"Nekat yak kau, punya apa kau?" Tanya pria yang merupakan ayah dari gadis yang dilamar Raka. Pria itu menggelengkan kepalanya seolah merendahkan Raka. Raka hanya terdiam, tangannya sudah berkeringat dingin, dahinya berkeringat sebesar biji jangung walau AC dirumah ini sudah dinyalakan.
"Rumah? Mobil? Jabatan? Punya apa kau?" Tanya pria itu sangar. Rendi yang hanya menyasikan sahabatnya yang sedang diintrogasi oleh calon mertuanyapun ikut was-was. Dalam hati ia berdoa agar Raka mampu menghadapi sadisnya sang calon mertua. Walau dalam hati Rendi merasa kecewa dengan keputusan sahabatnya itu
"Saya punya iman dan hati untuk membimbing putri bapak" Ucap Raka dengan tatapan tajam. Rendi yang menundukan kepalanya kembali membulatkan matanya yang tertegun dengan jawaban Raka.
Pria itu bertepuk tangan dengan senyum yang bersahabat, kemudian menjabat tangan Raka dengan erat. Raka dengan kikuk menjabat tangan kekar itu."Saya tidak dapat mengambil keputusan, bawa keluargamu dan tanyakan langsung pada putri saya" Ucap pria itu. Dengan wajah datar Raka mengangguk, dalam hatinya ia bersorak gembira namun raut wajahnya seolah mengatakan tak terjadi hal apapun.
**
Gadis dengan rambut sebahu turun dari angkot didepan gedung fakultas kedokteran yang terletak di jalan Jatinangor. Dengan terburu-buru ia memberikan selemar uang sepuluh ribu rupiah pada sopir angkot. Tanpa meminta kembalian ia berlari menyebrangi jalan, langkahnya tergesa-gesa. Tampukan buku-buku tebal kedokteran ditangannya tak menghalangi langkah cepatnya menuju gedung itu. Getaran ponsel disakunya menghentikan langkahnya sejenak untuk mengangkat telpon itu kemudian Cika tetap melanjutkan langkahya menaiki anak tangga karena lift yang biasa ia gunakan sedang mengalami perbaikan
"Walaikumsalam, Apa mah?" Tanya Cika to the point
"......."
"Baru sebulan yang lalu Cika dari sana, emang ada apa lagi sih?" Tanya Cika pada seseorang disambungan telepon
"....."
"Oh mamah yang kesini, yaudah iya, Cika buru-buru nih" Ucap Cika menutup telpon tanpa salam. Ia panik karena ia bangun kesiangan, semalam Cika hanya tidur dua jam karena belajar materi-materi untuk presentasi hari ini. Jadi mahasiswa kedokteran bukanlah hal yang mudah, Cika dituntut untuk selalu memahami segala jenis penyakit yang menyerang manusia lengkap dengan virus-virus yang memiliki nama aneh dengan pelafalan yang sulit diucapkan. Sebelum mendapatkan gelar dokter, para mahasiswa kedokteran harus melewati fase-fase koas yang konon katanya adalah fase-fase yang menyulitkan. Dimana para dokter muda, sebutan untuk koas akan menjadi manusia-manusia yang apes dan serba salah. KOAS, Kumpulan Orang Apes dan Sial, itulah yang menjadi plesetan dari mahasiswa kedokteran. Beruntung kali ini sang dosen tiba-tiba mengabarkan ia telat masuk kekelas. Denag nafas yang masih tak teratur Cika berucap syukur karena Tuhan telah mengabulkan doanya untuk membuat mobil sang dosen mogok.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedizione
RandomAku hanya gadis biasa yang terlahir dari keluarga dengan aturan-aturan yang menekan. Memang memberatkan, namun setelah aku menemukannya, kehidupannya lebih kejam dariku. Dengannya, aku memahami bahwa menggenggam lebih baik daripada berjalan sendiria...