Cika merasa Raka mengangkat telepon cukup lama. Dengan intruksi dari sang calon mertua Cika menghampiri Raka dan mengajaknya untuk bergabung kembali dalam ruang keluarga. Pria itu sedang terduduk disamping kolam ikan dengan kaki yang memasuki kolam setengahnya. Cika tak jelas mendengar ucapan dibalik telepon itu karena jaraknya dengan Raka cukup jauh. Ia semakin mendekat dan berdiri tepat dibelakang Raka. Gerakannya senyap.
"Mas gabisa denger jelas dek, tadi kenapa makrabnya?" Tanya Raka dengan ramah. Pertama kalinya Cika mendengar Raka bertutur kata lembut, dapat ia pastikan dibalik telepon itu merupakan seorang wanita dan Raka tetap bersikap cuek padanya sekalipun ia pria itu akan menghabiskan waktunya bersama Cika.
"Mas loudspeaker aja ya dek, biar jelas" ucap Raka, kini suara lembut dibalik telepon itu dapat terdengar jelas ditelinga Cika. Cika merasa hal berbeda pada hatinya, sekalipun Raka tak pernah berbicara baik padanya. Raka berbicara baik hanya karena pencitraan saja didepan keluarga.
"Mas, Ayu sangat senang waktu bang Dimas ajak Ayu ke makrab, karena bang Dimas orang pertama yang ngajak Ayu ke makrab. Ayu kenal mas sejak mas letting satu dan memutuskan untuk chek point dirumah Ayu tapi mas ga sekalipun ajak Ayu keacara milliter, Ayu pengen banget tau isinya militer dan Ayu ngerasa itu kesempatan Ayu kenal militer melalui bang Dimas. Kalo Ayu tau mas bakal ajak Ayu hari itu mungkin Ayu akan memilih untuk pergi bareng Mas. Mas, tujuan Ayu saat itu bukan sekedar pengen tau militer mas, tapi Ayu pengen tau kehidupan mas Raka. Bang Dimas ajak Ayu sabtu pagi dan Mas Raka ajak Ayu lima menit setelah Ayu bilang iya ke Bang Dimas. Ayu pikir itu sekedar ajakan biasa karena Ayu anggap Bang Dimas kakak Ayu ternyata bang Dimas menganggap lebih" ucap Ayu panjang. Raka masih mencerna ucapan dari Ayu, ia tak ingin dirinya salah tangkap mengenai kalimat penuh makna yang Ayu ucapkan.
"Ayu anggap mas sebagai apa?" Tanya Raka memastikan.
"Ayu berharap mas menganggap Ayu lebih dari adik angkat, sayangnya itu enggak mas" Nada suara Ayu merendah seperti menahan tangis.
"Mas Ayu ra ngerti kudu ngomong opo, Ayu harap mas ngerti" lanjut Ayu, suaranya lirih karena tangisan. Raka tak tega dengan tangisan seorang wanita. Jika Ayu bersamanya sudah dipastikan ia akan memberikan bahunya untuk sandaran Ayu dan menghapus airmatanya. Raka merasa selama ini hanya salah paham, cintanya pada Ayu tak bertepuk sebelah tangan. Raka hanya tidak cekatan dalam menyatakan isi hatinya.
"Dek, tapi Dimas?" Tanya Raka. Ia tak ingin mengkhianati sahabatnya, jiwa korsa yang tertanam dalam diri Raka tak mungkin akan kalah dengan sebuah rasa bernama "cinta". Raka juga tak melupakan bahwa kini dijari manisnya sudah terpasang sebuah cincin putih tanda ikatan. Bagi Raka tak ada yang lebih kejam dari sebuah pengkhianatan dan ia pastikan Dimas tak akan merasakan itu. Namun tak dapat dipungkirinya rasa itu semakin menggelora setelah bertahun-tahun ia pendam didasar hati. Gadis yang selama ini mengisi hati kerasnya itu sudah dalam dekapan angan, satu langkah lagi bagi Raka untuk mendapatkannya.
Cika masih mematung. Ia tak mampu berkata apapun. Raka, pria yang Cika pikir tak tersentuh hati wanita itu ternyata sudah memiliki tambatan hati dan itu bukanlah dirinya. Cika merasa dipermainkan oleh Raka, jika Raka tak mencintai dirinya mengapa ia meminta untuk meminang Cika. Satu tetes air mata jatuh dari mata kirinya. Air mata pilu, air mata kecewa. Cita tak mengerti dengan hatinya. Bukankah dirinya tak menginkan pernikahan ini? Mengapa hatinya harus terluka? Bukankah seharusnya ia merasa senang Raka kembali pada pelukan wanita bernama Ayu itu?
"A kok masih disini, udah malem lho neng Cika anterin pulang gih, ga enak sama tetangga kalo liat" Ucap Nengsih yang tiba-tiba berdiri dibelakang Cika. Dengan cepat Raka memalingkan wajahnya pada sesorang yang bersuara itu, ia sangat terkejut melihat Cika dan Nengsih sudah berdiri dibelakangnya. Raka melihat sebuah air mata dipipi Cika dan gadis itu dengan cepat menghapusnya setelah Raka melihatnya.
"Ihh neng Cika ibu suru dari tadi manggilin Aa malah ikutan disini, kan ibu jadi turun langsung deh" Ucap Nengsih yang meninggalkan kedua muda-mudi itu, Cika mengikuti langkah Nengsih menuju ruang keuarga yang hanya terdapat Uci tertidur disofa. Fatur mengantar kekasihnya untuk kembali kekost-an karena sudah pukul 10 malam.
***
Motor matix itu melaju dijalan cukangkawung yang mulai sepi. Tak ada percakapan didalamnya, Raka fokus mengendarai motornya dan Cika masih berkutat dengan pemikiran-pemikirannya. Posisi duduk Cika mendauh dari Raka sampai bokongnya bertasan langsung dengan pembatas dibelakang motor, tangannya tak sedikitpun menyentuh pinggang Raka maupun bagian lain dalam tubuh pria itu.
Cika berharap Raka akan menjelaskan sesuatu mengenai Ayu dan mematahkan pemikiran-pemikiran negatif Cika mengenai kedua. Namun tak sedikitpun pria itu angkat bicara dan Cika cukup gengsi untuk menanyakan langsung padanya.
Motor itu sudah berhenti disebuah rumah, Cika turun dari motor dan mengembalikan helm yang dikenakannya pada Raka. Tanpa ada kata perpisahan apapun dari keduanya, dengan cepat Cika berjalan menuju pintu rumah dan berharap Raka mengucapkan "selamat malam" atau menitipkan salam untuk sang nenek.
***
Cika merebahkan dirinya pada sebuah ranjang, disamping terdapat Wine yang sudah tertidur dengan iler yang menempel disudut bibirnya. Ketika Cika memasuki kamar itu sudah terdapat Wine, Cika membangunkannya agar gadis itu enyah dari kamarnya. "Ac dikamar Wine mati, numpang tidur disini aja" ucap Wine dengan suara yang tak jelas juga aroma mulut yang sukses membuat Cika menutup mulutnya. Kamar Cika hanya dilengkapi dengan sebuah kipas angin tua dengan suara ganduhnya dan gadis itu tak sedikitpun protes untuk minta dibelikan pendingin ruangan sedangkan semua mahasiswi yang tinggal bersama nininya tidur dalam kamar yang dilengkapi AC.01.24
Cika melirik pada jam dinding yang tergantung pada dinding biru itu. Ia mengambil ponsel yang diletakannya diatas nakas. Cika mencari kontak dari seorang pria. Nada sambung terdengar namun tak kunjung terjawab. Tiga kali panggilan tak terjwab, gadis itu masih tetap berusaha agar sesorang mengangkat telponnya.
"Apa sih malem-malem ganggu aja" terdengar suara marah dibalik telepon.
"Ini saya, Cika"
"Ohh kakak ipar, iya kenapa kak? Imel kenapa kak?" Tanya Rendi, yang nada bicara antusias mengucapkan kata Imel.
"Saya mau tanya tentang Ayu"
"Hah Ayu siapa mbak? Masa lalunya sasuh?" Rendi balik bertanya. Cika yang mendengar kata masa lalu itu menyipitkan matanya, ia butuh penjelasan lebih dari Rendi.
"Jelasin apapun tentang Ayu dan Raka!" Perintah Cika.
"Maaf mbak, saya gabisa cerita tanpa sepengetahuan sasuh"
"Ren saya bisa saja jauhkan kamu dengan Imel" Ancam Cika, gadis itu mengetahui kelemahan Rendi. Tak usah tanyakan dari mana ia tahu, karena dari tingkah Rendi saja Cika mampu menebaknya ditambah dengan cerita-cerita dari Imel.
"Jangan dong mbak, saya udah susah ini deketinnya, yaudah saya ceritain dikit deh" Bahaya bagi Rendi, karena ia mulai dekat dengan Imel melalui media sosial dan baginya itu tak mudah untuk menarik perhatian Imel
"Dulu sasuh tuh suka sama Ayu, tapi Dimas juga suka sama Ayu dan Dimas pacaran sama Ayu. Nah sasuh gamau bersaing sama sahabatnya sendiri jadi dia mundur, waktu itu keluarga Ayu itu keluarga angkatnya sasuh jadi sasuh ngerasa kalo ayu anggap sasuh cuma sekedar kakak, tapi sekarang Dimas--" Penjelasan Rendi diselingi dengan menguap, pria itu menahan rasa kantuknya. Ucapannya terpotong karena handphone Cika mati karena kehabisan baterai. Dengan cepat gadis itu mencari chargernya namun tak dapat ia temukan. Ia penasaran dengan ucapan Rendi yang masih menggantung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedizione
RandomAku hanya gadis biasa yang terlahir dari keluarga dengan aturan-aturan yang menekan. Memang memberatkan, namun setelah aku menemukannya, kehidupannya lebih kejam dariku. Dengannya, aku memahami bahwa menggenggam lebih baik daripada berjalan sendiria...