★ Part 29

1.4K 77 0
                                    

Meninggalnya Papa Bintang ditutupi oleh sahabat-sahabat Bintang. Bahkan guru-guru yang mengajar di SMA Pelita Bangsa tidak tahu mengenai kematian Papa Bintang. Semuanya ditutup rapat-rapat, hanya untuk membuat Bintang tenang.

Liburan akhir semester ganjil telah usai. Kemarin malam Bintang sampai di Indonesia. Dan sekarang hari pertama Bintang mengawali harinya tanpa seorang ayah. Walaupun sebelumnya Bintang dan Papanya sudah dipisahkan oleh jarak atau beda negara. Tapi, rasanya beda. Jika beda negara masih bisa bertemu untuk mengobati rindu, sedangkan sekarang? Bagaimana caranya mengobati rindu dengan seseorang yang sudah berada di alam lain?

Banyak siswa-siswi yang berbisik-bisik karena tingkah Bintang hari ini. Bagaimana tidak berbisik-bisik, Bintang yang biasanya mengucapkan selamat pagi pada teman sekelas, sekarang tidak. Saat masuk kelas Bintang lebih sering diam. Rambut yang biasa diikat satu, sekarang digerai.

Rafa menghela napas kasar. Sekarang, Rafa sedang duduk di sebelah Bintang. Ia menggantikan posisi Anggi. Dan Anggi duduk sebangku dengan Kayla. Semenjak Desti pindah ke Kalimantan, Kayla duduk seorang diri. Rafa menarik kedua bahu Bintang agar sejajar dengannya. Bintang tidak kaget, memang ia hanya diam tidak melamun.

Rafa menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Bintang. Lalu, merapikan dasi yang Bintang pakai.

"Oke, dasi rapi, seragam... rapi, rambut... Kay, tolong iketin rambut Bintang! Gue gak bisa." Rafa pindah tempat duduk agar Kayla lebih mudah mengikat rambut Bintang.

"Senyum Bintang... bukan lo banget tahu gak? Jangan diem dong," ujar Kayla, tangannya bergerak mengikat rambut Bintang.

"Senyum gue ketinggalan di mesin cuci, Kay," sahut Bintang wajahnya terlihat biasa saja, seperti beban yang selama ini ada dihidupnya sirna.

"Kalau gitu, ketawa! Pasti bisa dong...,"

"Ehm, gue liat dulu, paket ketawa gue masih banyak atau hampir habis."

Tawa Kayla terdengar renyah, membuat Bintang ikut tertawa. Anggi, Rafa, Bagas, dan David menghela napas lega.

"Lo kira paket internet," ujar David sambil mempotret Bintang yang sedang tertawa.

David suka mempotret sesuatu yang ia suka. Walau hanya dengan ponselnya. Karena cita-cita David sama seperti Rafa ingin menjadi fotografer.

Ddrrrttt

Ponsel Bintang yang terletak di atas meja bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Tidak membuang waktu, Bintang langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo,"

"Halo, dengan Bintang Cahya anaknya almarhum Pak Hardi?"

"Ehm... iya, ini siapa?"

"Ini Kak Tia, Bin. Masih ingat gak?"

"Kak Tia? Sekretaris Papa?"

"Hm, setelah pulang sekolah kamu bisa ke perusahan Papa kamu, Bin. Ada sesuatu yang mau Kakak berikan!"

"Bintang usahakan."

"Oke kalau gitu. Kakak tutup ya, Bin!"

Tut

Panggilan terputus. Bintang mengerutkan dahinya. Sesuatu apa? Bintang menggeleng, daripada harus menguras pikiran, lebih baik nanti pulang sekolah Bintang langsung ke perusahaan Papa, Star Corp.

✩✩✩

"Raf, anterin ke perusahaan Papa!" seru Bintang pada Rafa disampingnya.

Bintang Jatuh [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang