s e b e l a s

5.7K 633 25
                                    

"Gwaenchanha?" tanya Hanna sambil mengoleskan salep pada tulang pipi Hayeon yang membiru. (are you okay?)

"Sakit!" pekik Hayeon ketika Hanna menyentuh tepat di lukanya.

"Hari ini papa mabuk. Dia pasti tidak sadar dengan apa yang dia lakukan tadi." Kata Hanna berusaha menenangkan. Hayeon menggeleng, kemudian menjauhkan tangan Hanna dari wajahnya.

"Papa memang membenciku dari dulu. Apa bedanya dia mabuk atau tidak?" tanya Hayeon. Ia sudah pasrah dengan hidupnya yang selalu menyakitkan. Ia sudah terlalu sabar.

Hanna menggeleng cepat.

"Papa pasti ingin yang terbaik untukmu, makanya dia mau kamu masuk Universitas Seoul." Kata Hanna menenangkan.

"Tapi ini benar-benar menyiksaku, eonni. Kau lihat sendiri kan? Dia menamparku!" kata Hayeon.

Gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan air matanya di depan Hanna. Kesedihannya hilang begitu saja saat masuk ke dalam kamar, walaupun rasa sakit itu masih berbekas di hatinya dan sulit dihilangkan.

"Sudah kubilang dia mabuk, Hayeon. Orang mabuk biasanya tidak tau apa yang mereka lakukan." Terang kakaknya dengan suara yang tenang yang terkesan tegas.

"Tapi eonni.." Hayeon menunduk sambil menatap kedua tangannya yang bersentuhan.

"Kenapa papa hanya membenciku?" tanya Hayeon tanpa sedikitpun menatap wajah kakaknya.

Gadis itu juga iri dengan kakaknya yang tidak pernah mendapat omelan dari papanya. Ini benar-benar tidak adil untuknya, meskipun mereka berdua adalah saudara kandung.

Tanpa menjawab pertanyaan Hayeon, Hanna meletakkan tangan kanannya diatas kepala Hayeon. Perlahan, ia menurunkan tangannya, mengusap rambut adiknya itu.

Ia melakukannya berkali-kali.

"Saat aku sedih dulu, mama selalu melakukan hal seperti ini untuk membuatku tenang." Kata Hanna sambil membuang nafas panjang. Hayeon mengangkat wajahnya, menatap Hanna tidak mengerti.

"Mama yang selalu merawatku karena papa sibuk kerja, persis seperti saat ini. Tapi setiap pulang dia selalu memelukku dan mengatakan I love you ke mama. Dia sangat mencintai mama." Lanjut Hanna, membuat Hayeon mengernyit bingung.

"Aku akan mengatakan sejujurnya menurut sudut pandangku. Tapi jangan merasa bersalah ya?" Tanya Hanna. Hayeon ragu sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk.

"Saat mama melahirkanmu dulu, aku memang belum mengerti apa-apa. Tapi aku ingat jelas hari itu. Hari saat kau lahir di dunia ini." Hanna mulai bercerita. Ia menutup salep yang sejak tadi ada di genggamannya, kemudian meletakkannya diatas laci samping ranjang Hayeon.

"Mama sedang dalam keadaan kurang sehat dan saat itu, usiamu hanya 8 bulan di perut mama. Kau juga sudah tau kan, kau dilahirkan saat umurmu 8 bulan?" tanya Hanna memastikan. Hayeon mengangguk pelan.

Kakaknya pernah menceritakan ini dulu sekali, saat Hayeon bertanya-tanya tentang ibunya.

"Saat itu dokter mengatakan kalau mama tidak akan bisa diselamatkan kalau dia tetap mempertahankanmu dalam perutnya. Dia bisa selamat kalau rahimnya diangkat. Itu artinya, mama harus di aborsi." Jelas Hanna.

Hayeon cukup terkejut mendengar fakta tentang mamanya yang baru ia ketahui setelah sekian lama. Tapi ia tetap setia mendengarkan cerita kakaknya sampai akhir.

"Papa menyuruh mama aborsi. Tapi mama tidak mau di aborsi. Dia mau kamu dilahirkan ke dunia ini dan tumbuh bersama sebagai bagian dari keluarga kita. Jadi, yah... begitu kira-kira." Jelas Hanna. Hanya itu yang ia ingat.

My Pretend Boyfriend ; KTH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang