Mata mono eyelid itu terpejam, namun tidurnya tampak gelisah.
Terlihat untuk beberapa saat wajahnya berpaling ke kanan, lalu detik berikutnya berpaling ke kiri.
Begitu seterusnya, bergerak tanpa henti.
Lalu tiba-tiba saja ia tersentak, matanya terbuka seketika, tubuhnya refleks bangun.
"TIDAAKK"
Ia berteriak.
Suaranya memecah keheningan malam yang sepi.
Peluh berjatuhan dari sisi-sisi keningnya, jantungnya berdegup cepat.
Setelah sadar sepenuhnya, ia menghela napas berat.
Lututnya tertekuk dengan posisi yang sedikit terbuka lebar.
Kedua tangannya sudah bertumpu pada kedua lutut yang tertekuk itu, menyangga kepalanya yang tertunduk.
Mimpi itu lagi ..
Sudah tiga tahun berlalu, namun mimpi buruk itu selalu datang mengganggu tidur malamnya.
Mimpi yang tidak akan bisa membuatnya tidur lagi setelah datang menghantuinya.
Dengan malas ia turun dari ranjangnya, berjalan dengan langkah gontai seraya memegangi tengkuk lehernya ke arah lemari dapur.
Mengambil gelas bertangkai yang kosong dan sebotol red wine, lalu menuangnya perlahan.
Ia duduk pada sofa bernuansa putih gading nan lembut, menghirup aroma red wine lalu meneguknya sedikit demi sedikit.
Merebahkan punggungnya pada sandaran sofa empuk dan tebal sambil menutup kedua matanya.
"Sampai kapan aku harus hidup dengan mimpi itu terus menerus ???"
Ia mencoba untuk terlelap lagi.
Seperti biasa, red wine sedikit bisa membantu pikirannya agar lebih tenang.
Hingga tanpa disadarinya sinar matahari telah menerobos masuk menyinari tubuhnya.
Ia tertidur di sofa lagi yang sudah menjadi ranjang keduanya apabila tidurnya terganggu.
.
.
.
.
."Mimpi buruk lagi ?"
Tanya seorang pria muda yang duduk santai sambil menyeruput kopi hangat yang dibuat pahit tanpa gula.
"Begitulah Niel~ssi"
Sahutnya singkat.
"Berhenti memikirkannya atau mimpi itu akan terus mengikutimu Minhyun~ssi"
Minhyun menatap Daniel setelah mendengarnya mengatakan hal tersebut.
"Kau tahu kan kalau aku tidak bisa"
Hahh
Daniel menghela napas kasar lalu menyeruput kopi hitamnya lagi.
"Dasar keras kepala"
Minhyun hanya acuh saat Daniel mengatakan itu, ia tak peduli, ia hanya tak bisa mengikuti kata-kata Daniel.
Ia bukan tidak ingin melupakannya, tapi ia memang tidak bisa.
Perasaan itu tidak mau pergi, dan memang tidak ingin pergi dari hatinya.
"Mana pegawaimu ? Apa dia terlambat ?"
Daniel tampak melihat sekeliling ruangan yang lengang tanpa satu orang pun, kecuali mereka berdua.
"Aku memecatnya"
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA ~ [MINHWAN] -END-
FanficSaat kupikir berbeda itu adalah jalan keluar terbaik, namun mengapa malah menjerat lalu menarikku semakin dalam tanpa ingin berusaha untuk membebaskan diri.