Chapter 46 - END

1.3K 203 66
                                    

Since this is the last chapter, I hope you would follow my advice to listen to Sana Monica Dream - Angus and Julia before you read this.









Have you?


























Lavender's Point Of View.

"Should we die together, Sweetheart?"


Saat Kai sudah keren seperti itu, akh malah memberikan reaksi wajah datar andalanku karena sudah muak dengan Kai.

"Mati denganmu? Mitchoso?"

"Apa itu mitchoso?"

Aku terbahak sebelum tersenyum sinis walaupun sudah jelas Kai yang berada di belakang tidak bisa melihatnya. Mungkin Kai takut itu adalah sebuah aba-aba untuk melakukan serangan atau apa.

Baiklah, kalau itu ketakutkanmu. Mari kita wujudkan.

"Mitchoso artinya..."

Bugh

Dengan kekuatan bulan, aku menggigit tangan Kai yang melingkar di lehernya. Lalu kenapa suaranya 'bugh'? Itu karena aku juga menendang kemaluan Kai sekaligus. Hm, mantap, Lav.

"Aw!" Pekik Kai sambil memegangi itunya sehingga dengan mudah aku lepas dari Kai dan polisi segera mengambil alih keadaan. 

"Lav!" Pekik Ty saat menerimaku dalam pelukannya. Sedari tadi ia hanya menjadi penonton, tapi sekarang semua perasaannya tercurahkan dalam pelukan itu. Aku membiarkan kepalaku tertopang sempurna di bahu Ty.

"Lepaskan aku! Sialan! Lepaskan aku!" Kai yang sepertinya sedang ditangani polisi sedang berontak, tapi Ty dan aku sudah tidak peduli lagi.

Kami terlalu lelah untuk mendengarkan Kai.

Ty mengeratkan pelukannya sementara air mata membasahi pipinya.

"Ty...aku sudah cari di Google apa artinya mitchoso...."

Senyum Ty meletup, disertai bulir bening yang awalnya tergenang di pelupuk mata, terjun bebas di udara.

"Lalu, sudahkah kau mencari arti dari saranghae?"

"LEPASKAN AKU! BRENGSEK LEASKAN AKU!" Kai terus saja berontak sementara dari balik punggung Ty, aku bisa menyaksikan polisi menyeret Kai keluar dari sana.

"Sudah." 

"Apa artinya?"

"Aku mencintaimu. Iya, kan?"

"Iya. Aku juga."

Aku tersenyum kecil.

Tepat ketika hati kami berdua terasa begitu damai. Ketika ketakutan kami seakan berhenti karena mereka memiliki satu sama lain dalam pelukan masing-masing. Tepat ketika akhirnya kami bisa berkata, "It's fine. This spectacular now."

Tepat saat ketenangan berlangsung, suara hentakan kaki dari luar ruangan terdengar memburu. Semakin keras tiap detiknya.

Aku yang pertama menyadari ada seseorang yang muncul di balik pintu dan mengarahkan pistol pada mereka.

"TYRESE!"






DUARR!













Saat umurku lima tahun, aku pernah bermimpi tertembak anak panah di tengah hutan. Lalu, saat aku hampir saja aku akan mati, aku mendengar suara ibuku. Malam itu aku menangis lega karena aku masih bisa bangun dan hidup seperti biasanya.

Kini, kau bisa menebak apa yang terjadi.

Hari ini nyata. Aku tidak tidur dan ini bukan mimpi.

Aku belum tahu bagaimana sakitnya dagingku yang terkena peluru tapi tubuhku kian lemas.

Polisi kembali lagi. Semuanya sudah terlambat sekarang. Aku bisa merasakan cairan hangat mengalir di punggungku.

"Tetap tenang, ambulan akan segera datang!" Kata seorang polisi.

Kakiku sudah tidak kuat menopang tubuhku sendiei. Ty belum mengatakan apapun, tapi kami berdua terjatuh dengan aku yang berada di tangan Ty.

"Lav...ku...kumohon. Kuatlah..." Kata Ty dengan terbata-bata karena ia tampak tidak siap untuk ini.

Oh, inilah dia. Inilah apa yang aku pertanyakan dari tadi. "Ty, sakit..."

He can't do anything but crying.

"Lav, stay with me. I beg you. Okay?"

Aku bisa merasakan sebulir air mata menetes dari ujung mataku.

I wannabe be strong, too. I don't wanna go, Ty. I wouldn't say I'm fine because...It's fucking hurt.

"I...I'm sorry, Lav. I'm sorry..."

"Hey, don't cry."

Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan rasa sakit yang kian menjalar di belakang sana.

"I'm not fine but it's fine. I can't watch you wounded for twice, Ty." 

Aku menggigit bibirku lagi. Air mata mengalir makin deras walaupun aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak terisak sama sekali.

Aku bisa mendengar sirine ambulan mendekat ke arah mereka. Tapi dalam setiap nafas yang aku hirup, rasanya semakin berat.

Aku tidak menyesal, sungguh. Aku tidak bisa membiarkan Ty terluka dalam pelukanku. Aku juga tidak mau terluka tapi ini rasanya lebih benar daripada aku yang harus melihat Ty terluka.

"I...I'm sorry, Lav. I'm sorry..."

Dan dia datang. Rasa sakit tak tertahankan itu datang. Aku bisa merasakannya di sekujur tubuhku. Jantungku yang berdetak tak beraturan, nafas yang semakin berat, bahkan kelopak mataku saja kini terasa seberat planet.

Ty terus saja menangis seperti anak kecil. Bodoh, aku tidak melakukan ini agar kau menangis seperti itu.

"Just...don't blame yourself ever again, Tyrese Lee."

Aku tidak sengaja tapi mataku tertutup setelah aku mengatakan itu.  Tapi bukan gelap yang aku lihat, melainkan Ty. Lol, dia masih saja di sini bahkan setelah mataku tertutup.

Aku melihat Ty sedang marah-marah di lemari kebersihan.

Aneh, secepat kilat aku bisa merasakan angin musim gugur di tribun siang itu saat aku dan Ty berbicara.

Lalu saat Ty mengantarkan aku pulang.

Aku mengingat malam itu. Pantai Venice. Skateboard, pizza, laut dan dua buah ciuman. Hatiku dipenuhi segala jenis kebahagiaan yang ada di muka bumi ini.

Aku mengingat semuanya.

Lalu, saat kenangan-kenangan itu mulai terputar secara acak, aku mengingat Santa Monica Pier.

"Lavender, kita akan hidup bersama sampai anak-anak kita punya anak-anak mereka sendiri. Tidak, kita akan tetap bersama, bahkan kuburan kita nanti."



























Aku tersenyum, lalu semuanya hilang.





















Dan gelap.

American Drug Dealer +taeyong leeWhere stories live. Discover now