43. Kembali Terluka

700 68 19
                                    


Entah pesan seperti apa yang diharapkan Kanzia dari seorang Arsalan. Isi pesan Arsalan yang terakhir seperti tidak berniat sama sekali. Ia ingin Arsalan menawarkan tumpangan lagi untuk dirinya. Hanya sekadar untuk berbasa-basi saja.

Tapi singkatnya balasan dari Arsalan, membuat mood-nya jadi menurun. Di dalam perjalanan menuju ke Penerbit tempatnya bekerja, Kanzia sesekali membayangkan saat pertama kali ia bertemu dengan Arsalan. Dalam suasana yang menegangkan dan penuh aura permusuhan.

Ia tersenyum sendiri.

Tanpa ia sadari, ojol yang ia naiki sudah tiba di depan kantor Penerbit. Setelah memberi uang dua puluh ribu, Kanzia langsung berlari masuk membuka pintu Penerbit.

Tak banyak yang ia bicarakan dengan kepala divisi editor. Hanya beberapa revisi yang harus ia segera lakukan setelah semuanya selesai.

Beberapa menit berada di kantor Penerbit, Kanzia keluar dengan wajah yang lumayan suntuk.

Ia tak langsung memesan ojol. Ia berjalan menyebrang jalanan yang ramai untuk mampir ke sebuah caffe langganannya.

Ia meraih ponselnya yang bersarang di dalam tas yang dibawanya. Melihat apakah ada pesan dari Arsalan atau tidak. Ternyata nihil.

Sudah jam dua belas siang, Kanzia meminta kepada penjaga Caffe untuk menunjukkan di mana mushola berada.

Setelah melakukan kewajibannya. Kanzia kembali ke caffe. Tadi ia janjian untuk bertemu Mira sebelum kembali ke rumahnya.

Tak disangka ada orang yang menghalangi jalannya. Ia langsung mengangkat wajahnya untuk melihat siapa orang itu.

"Lo?" ucap Kanzia sedikit kaget.

"Iya gue, kenapa? Kaget?" tanya orang itu yang sekarang tersenyum meremehkan Kanzia.

"Gue minta lo jauhin Arsalan!" pintanya dengan wajah semakin murka.

Kanzia mengangkat alisnya sejenak. Lalu tersenyum kecil.

"Gue ngga pernah minta Arsalan buat deket-deket gue, sorry gue harus cabut." Kanzia langsung berbalik hendak meninggalkan orang di depannya itu.

Sayang sekali dengan gerakan cepat, tangan orang itu berhasil meraih tangan Kanzia.

"Lepasin gue, Nida. Gue ngga ada urusan sama lo!" Kanzia masih berusaha bersabar.

"Selama lo ada di dekat Arsalan, itu menjadi urusan gue!" hardik Nida.

Kanzia berusaha tersenyum dan menarik paksa tangannya hingga terlepas dari cengkraman Nida. Perempuan yang jauh lebih tinggi daripada dirinya.

"Udah gue bilang, gue ngga ada urusan sama lo, dan gue ngga pernah minta Arsalan buat deket dengan gue, dia ngedeket sendiri. Kalau lo mau larang, larang dia buat ngga usah deket-deket dengan gue." Kanzia langsung melangkah meninggalkan Nida.

Nida mengejarnya. Dia tak tahan dengan sikap Kanzia yang menurutnya arogan itu.

"Apa lagi?" Kanzia memutar bola matanya jengah.

Ia mulai merasa panas, takut-takut tersulut emosi.

"Gue punya anak," ucap Nida lirih.

"Terus urusannya sama gue apa?" tanya Kanzia.

Sebenarnya Kanzia ingin simpati kepada Nida saat ia menangkap sirat luka dari mata Nida. Namun ditepisnya perasaan itu.

"Dan itu anak Arsalan," sambung Nida lemah.

"Hah??"

Kanzia seperti tersambar petir di siang bolong. Ia sepertinya akan tenggelam ke samudera atlantik.
Nida mulai tersenyum mengembang.

Howling MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang