45. Melupakan

766 66 24
                                    

Arsalan membanting keras ponsel yang dari tadi dipegangnya, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat berpengaruh dalam masalah ini. dengan cepat Arsalan meraih jaket kulitnya dan meninggalkan kamar dalam keadaan yang penuh emosi. Melda yang melihat Arsalan berjalan membuka pintu mencoba untuk menahannya. Tapi, sayang panggilan sang mama tidak berhasil menghalangi niat Arsalan untuk keluar. 

Merasa tidak enak hati, Melda langsung menghubungi Mika. Cuma Mika yang ada di dalam otak Melda saat ini. Setelah mendapat jawaban dari Mika, Melda menceritakan apa yang dilakukan Arsalan. Melda merasa akan terjadi sesuatu pada anaknya itu. Setelah memberi instruksi Melda langsung menutup panggilan itu. 

Arsalan berdiri tepat di depan sebuah rumah yang baginya sangat tidak asing. Baru mau melangkah, ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Setelah membaca nama si pemanggil, Arsalan langsung mengusap laya ponselnya, dan berbicara dengan Mika yang entah sedang apa. 

"Ngapain, lo? mabok?" tanya Arsalan memicingkan matanya bingung.

"Lo di mana, Lan?" Mika tidak menjawab, ia malah balik bertanya. 

Dan Arsalan tidak suka dengan itu, ia sekarang sedang tidak ingin bercanda. Ia benar-benar dalam kondisi emosi yang sangat memuncak.

"Kalau nggak penting, jangan hubungin gue!" ucap Arsalan penuh dengan tekanan.

Mika terkekeh di ujung sana, ia bisa menebak di mana Arsalan sekarang berada. Tanpa kata penutup Mika sudah memutuskan panggilan telpon itu.

Arsalan sudah memasukkan ponselnya dan mulai melangkah lagi. Rumah yang seperti biasa, terlihat sepi kalau dilihat dari tempat dia berada saat ini. Arsalan sudah sampai di depan pintu. belum sempat ia mengetuk pintu di depannya, secara otomatis pintu itu terbuka.

"Welcome, to my home!" Sebuah senyuman menyambut kedatangan Arsalan. 

Arsalan sangat tidak suka dengan orang yang ada di depannya itu.

"Akhirnya kamu datang juga," ucap wanita itu sambil meraih lengan Arsalan.

Arsalan melepaskan tangan wanita itu dengan kasar.

"Lo!!" Arsalan menunjuk tepat di depan wajah wanita itu.

"Tujuan lo nyebarin aib lo sendiri apaan, heh?" tanya Arsalan dengan wajah yang sudah merah padam.

"Biar kamu datang ke sini," jawabnya dengan nada manja.

"Gue nggak sedang becanda, Nid! Berhenti ganggu Kanzia, atau lo-" 

"Atau gue apa? mau lo apain gue, hah?" Nida tak kalah sengit, ia menantang tatapan tajam Arsalan.

Ini lah yang ia inginkan, ia mau Arsalan hanya untuk dirinya. Tak ada seorang pun yang bisa bersama Arsalan.

Arsalan menendang kencang pintu yang tadi tertutup. Nida sedikit terintimidasi dengan sikap yang baru saja Arsalan tunjukkan. Selama mengenal Arsalan, ia tak pernah separah itu, menatap matanya seperti ada kilatan api yang keluar dari matanya.

"Lan!!!" Suara itu membuat Nida mengurut dada, ia merasa lega ada penengah di antara dirinya dan Arsalan.

Arsalan menoleh, ada Mika di sana. Mika menggeleng pelan. Tak lama muncul Rafka yang sudah mengepalkan tangannya. Menatap sengit Nida yang kini audah menunduk.

"Sekali lagi lo mengusik Kanzia, jangan harap lo ada di dunia ini lagi!" ucap Arsalan penuh penekanan dan manatap Nida yang mulai mengeluarkan air mata.

"Di dunia ini, ngga semua yang lo ingin bisa lo dapatkan, kalau lo pikir lo punya segalanya seharusnya lo sadar, sekarang di mata gue lo ngga lebih dari seorang sampah," lanjut lelaki itu.

Howling MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang