Ambitions 18

5.2K 364 13
                                    

Percaya pada kata hati itu penting. Meski tak semuanya benar, tetap saja jika kita sudah mempercayainya, kita akan merasa lebih tenang. Daripada menyesal?


Prilly berguling kesana kemari seperti orang yang sedang mengalami insomnia padahal Prilly sama sekali tidak meminum kopi, suka saja tidak. Matanya terpejam namun bukan benar-benar terpejam. Ruangan berbentuk kubus itu rasanya tak lagi senyaman biasanya.

Cewek itu tidak bisa tertidur padahal jam yang menempel di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.

Sudah berapa kali Prilly memaksa matanya untuk terpejam, namun matanya tidak bisa diajak kompromi saat itu. Padahal dia butuh istirahat yang cukup untuk esok hari.

Bukan kebiasaan Prilly yang sulit untuk tidur. Tetapi tidak bisa, kali ini cewek itu merasa gelisah dan tidak tenang yang membuatnya menjadi berantakan seperti sekarang.

"Argghhh" Prilly mendesis dan sedikit memelankan suaranya agar tak membangunkan Om Prass dan Tante Siska yang mungkin sudah terlelap dengan dunia mimpi mereka.

Cewek itu duduk dan bersender di kepala ranjang lalu berselonjor untuk merilekskan kakinya. Mengambil nafas dalam-dalam lalu membuangnya.

Audisi itu benar-benar melelahkan fisik terlebih hatinya. Prilly benar-benar masih belum menyangka dengan hasilnya. Mengapa harus Ali? Orang yang mati-matian diusahakannya untuk dilupakan kini akan terus bersamanya dalam beberapa bulan. Kalau sudah seperti ini, Prilly hanya merasa usahanya akan sia-sia.

Masih merasa tidak tenang, Prilly keluar menuju balkon kamarnya untuk lebih menenangkan diri. Satu-satunya kenangan baik yang Prilly punya tentang Ali adalah saat Ali tak sengaja menemukannya di halte kala hujan waktu itu.

Cewek itu tersadar lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak ada gunanya mengingat kenangan itu. Belum tentu Ali juga memikirkan hal yang sama.

Dinginnya angin malam itu menerpa tubuh Prilly yang hanya terbalut dengan piyama tipis kesayangannya. Itu adalah piyama mamanya yang sudah kekecilan dan hendak disumbangkan ke panti, tapi Prilly menolak yang ini. Dia menyukai piyama berwarna soft pink itu dan meminta mamanya agar memberikannya padanya.

Lengkungan tipis tercetak dibibir ranumnya, memori tentang keluarga bahagianya kembali menyapanya. Prilly menatap langit malam yang tidak terlalu banyak dihiasi bintang-bintang, tapi tetap saja itu tampak indah baginya.

"Ma, Pa, Puteri kalian akan baik-baik aja" ucapannya begitu tegar walau sarat akan kesedihan yang mendalam.

Kepergian keduanya membuat Prilly merasa bukan menjadi dirinya lagi. Prilly tau keduanya pasti kecewa padanya yang masih belum bisa bahagia seperti dulu, tapi kehilangan bukan hal yang mudah untuk dilupakan.

Kehilangan membuat cewek bermata hazel itu menjadi takut untuk terlalu mendalami rasa. Tentang teman, sahabat, keluarga atau bahkan orang yang akan ia cintai kelak. Karena ia sadar kehilangan akan tetap terjadi, entah karena terpaksa atau tidak.

Hingga menjadi dingin dan datar adalah satu-satunya cara yang harus ia tempuh, sulit diraih dan disentuh. Ia tak peduli komentaran orang-orang atau hinaan yang terus menerpanya. Karena baginya itu terasa lebih baik. Bahkan soal Arbani, dia sendiri masih takut untuk kembali seperti dirinya yang dulu. Bersahabat bagai surat dan perangko.

Sedangkan tentang Ali, dia sendiri tidak begitu yakin dengan sebuah rasa yang hadir dalam hatinya. Abstrak namun terasa begitu nyata, tetapi tetap saja dia tidak ingin jatuh begitu dalam.

Udara yang semakin lama semakin dingin membuat gadis itu memilih kembali masuk ke dalam kamarnya, berpikir keras entah apa yang akan ia lakukan sampai matahari kembali menyapa bumi.

Ambitions {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang