"Kenapa lagi Fer?" Cavin menyampiri Fera yang sedang terlihat bingung sambil menatap isi loker Fera sendiri.
"Ha? Eh? Oh itu, eh ini nih ada bunga lagi Cav. Gue tadi mau buka loker terus waktu dibuka eh ada nih bunga. Kok orang ini tahu ya kodenya? Lo aja ga tahu kodenya. Gimana nih? Guenya takut. Gue udah tanya temen sekelas. Tapi mereka bilang mereka galiat siapa-siapa" Fera menutup pintu lokernya.
"Lo ngumpulin semua bunganya ga? Dari awal sampe akhir?" Cavin berbicara seperti itu seperti merencanakan sesuatu.
Fera mengangguk. Ia memang menyimpan seluruh bunga itu dari awal hingga terakhir dan tempatnya diloker sekarang. Ada bunga yang sudah layu dan juga ada yang masih baru yaitu bunga yang baru didapatnya tadi.
Cavin menghela nafas sebentar. "Ya udah, kita liat aja dia maunya apa. Kalau lo dikirimin lagi lo langsung kasih tahu gue ya" Cavin mengusap rambut Fera lembut.
Kenapa lo bersikap kayak gini, Cav? Lo buat gue tambah suka sama lo.
Fera menegang. Fera takut Cavin mendengar suara dag dig dug serr dari jantungnya. Cavin mah dengan santai ngelakuin itu tanpa tahu sebab dan akibatnya untuk Fera.
Fera memberanikan mulutnya berbicara. "Cav, lo anggap gue apa?" Fera perlahan-lahan menurunkan tangan Cavin dari rambutnya.
"Sahabat lah! Sahabat terbaik malah!" ucap Cavin dengan senyumnya.
Tuh kan!
Fera mengangguk lalu membalas senyuman Cavin. Sebenarnya, jauh dilubuk hatinya dia merasakan sakit yang dalam. Coba kalian bayangkan, dengan semua kelakuan manis Cavin pada Fera, siapa sih yang tidak baper kalau diperlakukan seperti itu juga?
Untuk masalah move on, Fera sudah mencobanya setiap kali. Tetapi ya sama saja. Cavin selalu membuat Fera merasa berada diatas langit lalu dengan mudahnya juga dia menjatuhkan Fera.
Terkadang Fera bingung, apa dia salah mencintai secara diam-diam? Terkadang Fera ingin seperti cewek-cewek disekolah yang suka dengan Cavin. Mereka dengan mudahnya menyatakan perasaan mereka pada Cavin. Seperti tidak malu, dan tidak sakit hati bila ditolak.
Fera juga bingung, mengapa Cavin yang dia sukai? Mengapa harus Cavin? Mengapa bukan orang lain? Tetapi sepertinya itu akan selalu menjadi pertanyaan yang disimpan Fera didalam pikirannya bersama hal-hal yang menyangkut Cavin juga.
"Sudah, Fer? Kalau sudah yuk gue anterin ke kelas." Fera hanya mengangguk menandakan dia sudah selesai dengan urusannya. Fera dan Cavin berjalan menuju kelas Fera.
***
Valerie membawa nampan yang berisi satu susu kotak, dua mangkok bakso, dan satu thai tea. Itu semua bukan hanya punya dia melainkan punya Fera juga. Ya, hari ini mereka makan dikantin bareng tanpa diganggu Cavin karena tadi Cavin dipanggil gurunya.
"Fuela, gue dengel lo taadi suama Coavin ya?" ucap Valerie dengan tidak jelas karena satu bakso kecil masih dimulutnya.
Fera menatapnya sinis. "Ih Vale! Lo cewek kalau makan tuh ditelen dulu baru ngomong!"
Valerie segera menelan bakso itu lalu menyengir lebar. " Iya, iya maaf deh. Jadi gimana?" Kali ini suara Vale kembali seperti biasa.
Fera mengangguk menandakan 'iya gue tadi sama Cavin.' Lalu Fera berhenti makan, ia memikirkan sesuatu. "Val, gue mau cerita ya?" ucapanya dengan nada serius.
"Curhat aja" balas Valerie cuek. Ia kembali melanjutkan makannya sambil mendengar curhatan Fera.
"Val, gue...gue suka sama Cavin dari lama" akunya. Vale terbatuk. "APA?!" ucap Valerie ketika batuknya mereda.
"Kecil-kecil ih. Iya, udah lama gue suka sama dia. Gue sudah belajar move on Val! Tapi tetep aja ga bisa. Gue harus gimana? Tambah hari gue semakin suka sama Cavin karena dia semakin buat gue baper dengan perilakunya. Lo tahu sendiri kan gimana sifat Cavin sama gue? Beda! Dia beda seratus delapan puluh derajat kalau sama gue dibandingkan sama cewek lain"
"Tapi, gue sadar. Cavin cuma anggap gue sahabat, Val. Ga lebih! Tadi aja gue tanya dia. Dan dengan santainya, dia bilang "sahabat lah! Sahabat terbaik malah!" dengan tampang ga berdosanya dia. Gue ga tahu harus gimana lagi. Yang gue pikirin kalau dekat dengan Cavin, gue harus tahan diri sendiri agar ga jatuh lebih dalam lagi dengan pesona Cavin. Lo bisa bantu gue?" Tiba-tiba saja nafsu makan Fera hilang. Ia menjadi tidak selera lagi dengan hanya melihat bakso itu jadi dia hanya meminum sisa thai teanya.
Valerie sudah selesai makan. Ia mengelap sebentar pinggiran mulutnya menggunkan tissue. "Lo ga salah sih kalau suka sama dia. Dia yang ga baperin cewe-cewe aja bisa bikin mereka suka sama dia. Apalagi elo yang dibaperinnya. Jujur, gue ga bisa bantu lo. Sorry. Ini yang bisa ngatur hanya diri lo. Lo harus aturin hati lo biar ga jatuh dalam pesona Cavin lagi"
"Ya tapi gue ga tahu gimana. Gue ga mau jauhin dia. Dan gue gamau dia tahu bahwa gue suka sama dia" ucap Fera.
"Aduh-duh, ini Alfera Allison baru pertama kali ya ngerasaain jatuh cinta? Hahaha" bukannya memberi saran, Valerie malah mengejek Fera.
"Ih Vale! Gue kan curhat sama lo karena mau denger tanggapan lo bukannya denger ejekan dari lo, huh!" Fera menjauhi area kantin dengan tujuan kembali ke kelasnya. Valerie menyusul Fera dengan ketawa yang masih ada.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mendengar semua itu.
***
Boom! Akhirnya jadi yaaampunn. Sumpah ya idenya jadi macet banget bab ini. Jadi maaf kalau ga nyambung. Semoga bab selanjutnya kembali lancar, aminn.
Hayolohh siapa ya orangnya? wkwk
TERIMA KASIH TELAH MEMBACA CERITA INI!
DIMOHON VOMMENTNYA!-Sasa yang idenya
lagi ngadat1 Juni 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Knows?
Teen Fiction{Judul Lama: My (BAD) Boyfriend} Kehidupan remaja Alfera sama seperti gadis seusianya. Iya, ga jauh-jauh dari kata 'cinta'. Fera jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri. Tetapi bukan itu saja yang menghiasi kehidupan remajanya. Ia diteror musuh sahaba...