DUA PULUH LIMA-One month

36 5 1
                                    

Sudah satu bulan bunga itu terus dikirim, setiap kiriman bunganya hampir sama yaitu bunga mawar merah dan bunga mawar putih. Semua itu dikirim secara bergantian. Dan tidak lupa juga dengan secarik kertas yang selalu terselip di antara tangkaian bunga-bunganya.

Fera tidak bisa mencari tahunya lagi. Ia sudah pasrah. Orang itu benar-benar pintar. Ia tidak menyusup, tidak menitip secara langsung, melainkan kurir pengantar bungalah yang menitipkan itu ke pos satpam sekolahnya.

Orang itu benar-benar pintar. Setelah sebulan ini Fera belum menceritakan itu pada Zane juga pada orangtuanya. Dan selama sebulan ini, Fera baru menyadari sesuatu. Satu maksud yang selalu terselip di kertas-kertas itu adalah menyuruh Fera menjauhi Cavin. Entah apa alasannya, atau mungkin orang itu benci dengan Cavin?

Cavin yang dari awal menyadari maksud itupun bukannya menjauh, malah semakin mendekati Fera. Ia seakan melindungi Fera dengan kemampuan yang dia bisa. Fera semakin pusing dibuat oleh semua ini. Bukan karena teror itu, tapi karena niat awal Fera---setelah bercerita pada Valeri---untuk belajar move on dari Cavin akan pupus begitu saja.

Cavin tidak tahu. Setiap Cavin ada didekat Fera, Fera merasa jantungnya berdegup kencang karena perbuatan manis Cavin. Ingin rasanya Fera berteriak tepat ditelinga Cavin, gausah deket-deket sama gue! Lo semakin buat gue baper, Cav! Tapi Fera tahu ia tidak akan berani.

Bukannya Fera tidak menghindari Cavin. Ia selalu menghindari cowok itu. Tapi apa? Cavin dengan mudahnya menahan Fera disisinya sehingga Fera tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Ini gue yang bodoh atau emang Cavin hebat sih?" Saat ini Fera duduk sofa dekat dengan jendela. Ia frustasi dengan cara yang dia susun untuk menjauhi Cavin tapi, dengan cepat Cavin bisa mencegah itu.

Valerie sudah bilang pada Fera bahwa ia tidak mau ikut campur urusan Fera. Sebenarnya tanpa Fera ketahui, Valerie bisa disebut sebagai tim sukses Cavin-Fera.

"Fera, abang masuk ya?" Tidak lain dan tidak bukan itu adalah Zane. Zane memang tidur disini karena orangtuanya lagi diluar negri.

"Masuk aja bang, ga dikunci!" balas Fera dengan sedikit berteriak. Ia sudah mager. Jadi dia malas membukai pintu untuk Zane.

Tidak lama dari itu, terdengar suara pintu terbuka. Zane tersenyum melihat Fera memandangi pemandangan luar. Ia berjalan menuju sofa itu. Ia duduk disebelah Fera lalu mengelus pucuk kepala Fera dengan lembut.

Fera baru sadar adanya Zane disampingnya. Fera membalas senyum hangat Zane. "Kenapa, bang?"

Zane menggeleng kepalanya. Zane hanya ingin main sama Fera. Ia ingin mengistirahatkan dulu pikirannya karena kuliahnya mulai libur. "Adek abang lagi galau ya? Cerita dong kalau galau. Sekarang usah besar ya, udah sombong ga cerita-cerita lagi sama bang Zane."

Fera terkejut. Bukan itu maksudnya. Fera yakin Zane tahu keadaan Fera yang sedang tidak baik belakangan ini. Karena Fera tidak bisa merahasiakan sesuatu sedikit pun pada Zane. Ia hanya perlu waktu untuk cetita pada Zane.

"Bukan gitu, bang. Fera...nunggu waktu yang pas aja buat cerita sama bang Zane" ucap Fera meyakinkan Zane.

Zane mengernyit bingung. "Maksudnya? Fera ga percaya lagi sama bang Zane?"

"Iih bukan gitu bang, abang mah sok ga tahu huuu" Fera megerucutkan bibirnya. Zane hanya tertawa melihat itu. Dicubitnya hidung Fera karena ia gemas.

Tetapi, semenit kemudian Fera merubah keputusannya. Ia menatap Zane serius sehingga tawa Zane berhenti juga dengan tangannya yang mulai turun. Ia membalas tatapan serius Fera.

"Fera cerita ya bang?" izin Fera. Sedangkan Zane menganggukan kepalanya mantap seakan siap mendengar semua keluh kesah Fera.

"Eum... dari mana ya bang?" tanya Fera ragu ingin memulai cerita dari mana.

Zane tersenyum, "Kalau Fera yakin, semuanya boleh Fera ceritain. Kalau ga yakin ya terserah Fera. Bang Zane janji kok ga akan kasih tahu siapa-siapa. Janji nih"

Zane mengulurkan kelingking kecilnya pada Fera dan Fera juga menyambutnya dengan girang. Mereka seperti terlihat dua orang anak kecil yang berjanji untuk berbagi makanan mereka atau dua orang anak kecil yang berjanji untuk saling jaga satu sama lain.

Fera menghela nafasnya pelan. Ia memberikan waktu untuk dirinya memantapkan pilihannya untuk bercerita pada Zane semuanya. Iya. Semuanya. Semua hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Ia pikir itu akan membuatnya meringankan bebannya.

Setelah lumayan lama memantapkan dirinya, dan juga Zane yang sedari tadi sabar menunggu, Fera mulai menceritakan semuanya secara detail sebisa mungkin. Ia kembali terbuka lagi pada Zane. Pada orang yang selalu memotivasi Fera. Pada orang yang selalu menasihati Fera dengan baik.

Zane benar-benar pendengar yang baik. Ia mendengarkan dengan saksama Fera bercerita tanpa dipotong ataupun mengeluarkan suara yang menganggu. Sehingga, Fera dengan nyaman menceritakan semuanya pada Zane.

***

YEAYYYYYY!! Gila ini dikit, tapi Puji Tuhan ini selesai ga sampai berhari-hari hehe.

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA CERITA INI!
DIMOHON VOMMENTNYA AGAR SAYA SEMAKIN SEMANGAT LAGI HAHA.

-Cia yang berusaha
bisa menulis terus

4 Juni 2018

Who Knows?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang