3

5K 589 18
                                    

        Yuma berhenti melangkah, karena suara decit sepatu Rose terlebih dahulu berhenti.

        Di depan gerbang utama, wanita itu sekedar memandang pada dua tempat. Kediamannya,

Dan satu tempat lagi––

        Sebuah lapangan basket kosong tak berpenghuni.

        "Yuma, aku pergi kesana. Bawakan bolanya dari rumah."

        "Baik miss."

         Salah satu dari tujuh pria disana masih mengekor pandang terhadap objek yang mulai lenyap menjauh.

        "Melihat apa?" Namjoon menyadari arah pandang lelaki tersebut.

         Taehyung mengembalikan pikirannya, ia tersenyum sekilas kepada Namjoon.

         "Hanya seperti seseorang yang aku kenal."

       Keduanya kembali melanjutkan proses syuting yang sempat terhenti.

      Seorang wanita yang sedang berjibaku sendirian dengan benda bundar mengikuti kemana pun saa berlari. Suara pantulan antara bola dengan kerasnya tempat ia berdiri saat ini.

        Yuma duduk tenang memperhatikan sekitar dari pinggir lapangan. Menunggu hingga Rose berhenti. Cepat-cepat bangkit dari posisi nyamannya. Saat mengetahui siapa yang datang.

        Eira segera menempatkan posisi di samping Yuma. Wanita ini sibuk menunduk, sedangkan Yuma berdiri dengan tegap dan gagah.

        "Kalian berdua bisa pergi, biar saya yang menemani dia disini."

        "Tapi tuan." Cegah Yuma.

        "Kesehatan Anda belum benar-benar pulih." Eira ikut menimpali ucapan Yuma.

         Pria paruh baya ini, tersenyum tenang.

        "Rosie dan saya perlu berbicara hal yang penting."

       Eira dengan berat hati mengangguk, disusul oleh Yuma setelahnya. Keduanya menjauh dari sisi lapangan.

Setelah melakukan one hand shot terakhir. Sebelum berhenti, dan sejenak mengatur irama jantung juga deru nafasnya.

      Suara lain masuk dalam indera dengar Rose milik seseorang yang sangat ia kenal. Pria itu bertepuk tangan dan tersenyum di sisi lapangan.

      "Kenapa Ayah disinj, bukannya harus tetap istirahat ya." Wanita ini berlari menghampiri lelaki paruh baya yang tersenyum padanya.

      "Kenapa keluar, banyak media di depan sana." Sambung Rose, dengan kekhawatiran.

      "Biar saja, itu kan pekerjaan media. Lagi pula keluarga kita sudah terbiasa jika muncul dalam pemberitaan." Hae Jin menyerahkan sebotol air mineral pada Rose.

       "Ayah senang kegiatan sosialmu berjalan lancar."

       Rose terperanjat, tanpa menjawab.

      "Jangan menatap heran, Ayah tidak memaksamu untuk kembali. Ikuti saja kata hatimu." Hae Jin mengusap ujung kepala Rose dengan lembut.

       Rasanya ingin menangis ketika sang ayah mengucapkan kalimat yang penting untuknya.

      "Anak-anak yang kurang beruntung, hampir semua orang seolah enggan perduli pada kehadiran mereka. Rasanya aku ikut terluka saat mendapatkan semua yang aku inginkan, ketika aku memiliki semuanya. Sedangkan mereka tidak." Rose mengajak Hae Jin duduk di bangku panjang pada sisi lapangan.

       Hae Jin menatap lewat pada kedua manik mata anak perempuan satu-satunya, "Jangan lupakan dirimu sendiri, kenalkan kekasihmu pada ayah."

       Senyuman miris yang Rose berikan setelah kalimat ayahnya selesai. Helaan nafasnya tidak beraturan.

      "Ayah, aku tidak bisa merasakan apapun disini. Tidak ada cinta." Rose menunjuk tepat pada hatinya sendiri.

       Hae Jin menaruh satu telapak tangan Rose pada tangan miliknya.

       "Itu karena kau menutup hatimu, dan akan semakin membuatmu terluka."

       Rose larut dalam pikirannya, bukan tidak pernah berusaha, ia melakukan agar bisa mencintai. Tetapi tidak ada yang signifikan terjadi padanya. Hatinya semakin terkunci. Tidak memiliki rasa terhadap semua pria yang ada di sekitarnya menyebabkan mereka memilih pergi perlahan satu persatu.

       Nanar nya menatap Hae Jin dengan keraguan terus terbesit dari dalam dirinya.

       "Nak, Ayah minta tolong, besok kembali ke Seoul. Rahasiakan dari kakak-kakakmu. Take over, salah satu anak perusahaan sedang ada masalah, karena oppa-oppamu gagal mengurusnya."

       Inilah yang Rose khawatirkan, sampai tidak sadar menggigiti bibir bawahnya. Ia enggan pergi. Sangat—sangat tidak suka dengan keputusan ayahnya.

      "Jika kau tidak pergi dan mengurusnya, semua aset kepemilikan akan berubah menjadi atas namamu."

       Wajah Hae Jin kaku dan serius,

        Rose sangat yakin, ancaman ini akan terlaksana, jika kalimat ini terlaksana. Dirinya benar-benar akan tamat. Sepertinya...

Rozellezwart [Tae x Rosé] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang