file ○ 16

892 228 18
                                    

04/06/18
Sorry for typo!

"Selamat siang, Kang Seulgi."

Satu-satunya suara yang menyambut presensi Seulgi ketika memasuki perpustakaan sekolah adalah suara riang Pak Seokjin dari balik meja resepsionis yang biasanya ditempati oleh Kak Mira. Entah apa yang guru baru itu sedang lakukan. Yang pasti lambaian tangan serta senyum yang lebar itu mengisyaratkan sebuah panggilan agar ia mendekat.

"Kak Mira tidak ada, Pak?" tanya gadis itu seraya duduk di kursi merah. Seketika ia berhadapan dengan Pak Seokjin.

"Kak Mira sedang ada urusan," Jawab Pak Seokjin. Senyumnya masih belum luntur. "Ada apa kemari? Ingin meminjam buku?"

Seulgi menggeleng cepat. "Aku ingin mengembalikan buku ini."

Ia meletakkan dongeng 1001 malam di atas meja. Buku tebal itu meski berisi banyak gambar termasuk sebuah siksaan yang Guru Seo berikan padanya. Meminjam buku? tolong, Seulgi sudah pasti menolak ide itu.

Pak Seokjin sendiri tampaknya mengerti keadaan Seulgi. Sebab tanpa bertanya lagi beliau segera menulis sesuatu di buku pinjaman, lantas menyuruhnya untuk mengembalikan ke tempat asal di rak.

"Omong-omong, ada Park Jimin di rak sana. Kalau bisa ajaklah ia berbicara," pesan Pak Seokjin sambil menunjuk salah satu rak dengan senyum yang alih-alih meredup malah semakin bersinar terang.

Park Jimin?

Seulgi tak dapat memungkiri ada perasaan senang dalam hati, tapi begitu kilasan kejadian di depan laboratorium mengalir ia jadi agak sangsi. Dan tunggu. Kenapa Pak Seokjin menyuruhnya untuk 'berbicara' dengan Jimin, tadi?

Ah, entah.

Guru satu itu kan memang agak aneh. Daripada terus mendapati senyum itu, lebih baik Seulgi segera mengembalikan buku dan pergi ke halaman depan untuk menyiram bunga-bunga.

Sayang, niatnya harus gagal begitu netra coklatnya menangkap sosok Jimin sedang meringkuk di lantai dengan buku bertebaran di sekitarnya. Lihatlah, anak laki—laki yang seragamnya kebesaran itu tengah memejamkan mata, terlelap. Damai sekali melihatnya. Begitu tenang. Seakan beban berat, masalah-masalah, juga segala komplikasi kehidupan tak pernah menyerangnnya, menyakiti, merapuhkan. Yang ada hanya seorang anak laki-laki sembilan tahun yang polos tertidur.

Sangsi tingkahnya membangunkan Jimin, Seulgi melangkah hati-hati melewati tubuh itu. Seakan jadi kebetulan letak asal buku yang ia pinjam berada tepat di rak di atas kepala Jimin.

Bagaimana jika tanpa sengaja tangannya menyebabkan buku-buku berjatuhan dan menimpa Jimin?

Tidak, itu buruk sekali.

Karena itu, gugup sekali Seulgi meletakkan buku 1001 malam di tempatnya.

Jangan bangun, jangan bangun, jangan bangun.

Tapi ia bangun. Mantera yang diucap berulang pun gagal.

"Tidur lagi, Jimin," konyolnya itu yang langsung Seulgi katakan. Refleks, sebenarnya. Alih-alih dituruti, laki-laki itu menatapnya bingung dengan sebelah tangan mengucek mata.

"Seulgi?"

"eh?"

Butuh berdetik-detik dalam keheningan bagi keduanya untuk mencerna apa yang terjadi, sebelum Jimin tersentak pelan dan membereskan buku-buku disekitarnya cepat.

Kabur. Ia ingin menjauhi Seulgi, memberi jarak, mencoba untuk membatasi diri.

Namun sekonyong-konyong gadis itu menarik ujung lengan seragam Jimin yang kepanjangan, menahan pergerakannyaa sehingga ia mau tidak mau tetap di tempat.

"Jangan menjauhiku," kata Seulgi tanpa banyak pikir. "lalu jelaskan apa maksud ucapanmu di depan laboratorium waktu itu."[]

[1] 52 hz ●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang