1.049K word.
Engga short lagi :'(×××
Aku sudah duduk bersama kamu di sebuah kedai kecil di pinggir jalan yang menjual sate. Kita sempat merundingkan sate di tempat mana yang akan kita pilih untuk konsumsi. Tetapi aku sendiri sebenarnya tidak punya banyak pilihan. Hanya ada satu tempat sate yang kusukai. Kamu sempat menurut dan mengantarkanku ke sana, sampai setibanya di sana, tempatnya malah tutup. Aku cemberut. Kamu mengejekku karena ternyata pilihanku justru mengecewakan.
Akhirnya kamu mencoba juga tempat pilihanmu, dan berujung sama, tutup jua. Kita akhirnya saling ledek, melakukan perdebatan kecil dan menepilah kita akhirnya pada sebuah kedai sate kecil yang cukup ramai pembeli di jam-jam segini. Untunglah masih ada kursi kosong tempat kita bisa makan berdua, berhadap-hadapan.
Iya, ini mungkin memang terdengar ganjil, tetapi entah dengan siapapun aku makan, aku lebih suka dan senang, jika kawan makanku berada berhadapan denganku. Bukan di sisiku. Dengan posisi seperti ini, kita bisa saling bertukar tatap, berkomunikasi dengan leluasa dan yang terpenting dari segalanya adalah kita bisa saling memperhatikan secara langsung bentuk ekspresi wajah masing-masing. Seorang pakar pernah berkata, bahwasanya salah satu keunggulan komunikasi non-verbal adalah kesahihannya (reliabilitas). Orang-orang lebih cenderung mudah menipu lewat kata-kata, tetapi tidak dengan bahasa non-verbal (atau kita lebih kenal dengan isyarat, baik lewat tatapan mata, gestur, serta raut wajah).
Kamu kini sedang menatapku lamat. Entah kenapa, dari tadi kamu memperhatikanku. Aku merasa, tapi aku mengabaikan. Aku lebih fokus kepada semua menu yang tertera pada sehelai kertas yang di laminating dan sudah tersedia di atas meja.
"Aku mau sate ayam aja, ya. Satu porsi, pakai lontong." Ujarku memutuskan. Aku melihat ke arahmu.
"Eh, yakin, mau sate ayam? Sate kambing lebih enak."
"Ih... Ga suka aku."
"Masa ga suka? Kambing lebih enak dan lebih sehat tauk. Udah kambing aja ya." Kamu malah sewot. Aku yang pengen beli, kok kamu malah mendadak cerewet?
"Ih, ga mau ah. Aku udah fix pesen sate ayam ya. Ga mau yang lain."
"Alah, beda cuma 2rb doang juga harganya lho. Sate kambing lebih berkelas."
"Berkelas?"
"Iya." Jawabmu tegas. "Daging kambing itu mengandung banyak vitamin B12 yang baik bagi tubuh. Diantara banyak manfaat B12 adalah menghasilkan banyak sel darah merah. Kamu tuh kan orangnya suka gampang lemes ya, jadi makan daging kambing itu baik buat meningkatkan sel darah merah di tubuhmu. Selain itu, B12 juga dapat menjaga kesehatan sistem saraf, kulit dan mata. Bagus banget kan? Apalagi kamu kan akhir-akhir ini ngerasa mata kamu agak buram ya? Udah periksa belum? Mm... Kalau masalah kolesterol, kamu kan ga punya kolesterol berlebih di tubuhmu. Kurus gitu ah." Kamu memang selalu begitu. Jika menjelaskan suatu pengetahuan baru, kamu selalu tampak bersemangat seolah bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak berniat memotong, cukup mendengarkan saja semua pembicaraanmu hingga tuntas. "Mm... Apalagi ya keunggulannya? Ah banyak deh! Dua hal yang kusebutkan tadi sangat penting buat kesehatanmu pokoknya." Kamu akhirnya menyudahi juga.
"Bang, aku pesan sate ayamnya satu porsi pakai lontong ya, Bang." Aku tetap keukeuh memutuskan. Abangnya mengangguk bilang oke dan dia langsung bertanya, "Kalau yang satunya pesan apa?"
"Mm... Dia mau satu porsi sate kambing kayaknya. Ditambah lontong juga 'kan?"
"Iya bang, aku sate kambing aja ditambah nasi ya. Bumbunya bumbu kecap."
"Kalau aku bumbu kacang aja, Bang." Aku menimpali jenis bumbu yang ditambahkan pada sate yang kupesan.
Abangnya hanya mengacungkan jempol dan langsung terlihat kembali sibuk dengan ritual membakar satenya di atas bara api yang menyala-nyala.
Kamu kembali membuka pembicaraan. "Kok tetap pilih sate ayam sih? Padahal udah cape-cape aku jelasin. Huh..." Kamu mendengus sebal. Kamu merajuk. Kadang aku suka geli kalau kamu sudah seperti ini, tapi aku suka.
Kita berdua adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang yang makin beranjak dewasa. Hanya bersama orang spesial, masing-masing dari kita mampu menunjukkan sisi anak kecil kita.
"Sal, dengerin! Aku tuh sejak kecil emang ga suka daging kambing. Everyone has their own preference. Ini hanya masalah selera. Ga perlu didebatin. Kalau aku malah berakhir makan daging kambing, nanti aku ga makan terus muntah, gimana? Engga baik juga 'kan? Jadi ya udah. Aku tetap pilih ayam."
"Oh gitu..."
"Iya. Lagipula, kalau kamu mau bahas kandungan vitamin, daging ayam juga mengandung vitamin B, B6 dan Folat. Hal ini bagus untuk sistem saraf yang kamu bilang dan juga bagus untuk sistem pencernaan. Keduanya sama baiknya, asal jangan terlalu gosong aja pas bakarnya."
Kamu manggut-manggut. Aku tersenyum melihat ekspresimu saat seperti ini.
"Iya deh, iya. Aku ngalah. Abisan kukira kamu cuma ga makan karena ga pernah mau nyoba."
"Haha. Aku pernah nyoba sebenarnya daging kambing. Tapi aku langsung mual, ga kuat sama baunya. Lemah ya? Hehe." Aku cengengesan.
"Engga lah. Kamu ga gitu. Ini cuma masalah selera seperti yang kamu bilang aja." Kamu menjawab diplomatis. Tak lama, sate pesanan kita pun datang.
Pas suapan pertama sate kambing masuk ke mulutmu, kamu langsung bilang, "Aku bersyukur lho, bisa makan sate sekarang!"
"Bersyukur?" Aku bertanya, bingung dengan katamu.
"Iya, bersyukur. Kamu tahu ga kalau sate itu, tersedia banyak di Indonesia dan harganya terjangkau 'kan! Kalau ke luar negeri nih, jarang banget tuh ada yang jualan sate. Apalagi pinggiran jalan kek gini. Kalaupunada, misal di Jerman nih, harganya setahuku bisa mencapai 10 euro alias setara 150rb rupiah lah. Mahal banget 'kan? Jadi aku bersyukur."
"Oh gitu ya. Iya juga ya. Aku bersyukur deh bisa makan sate. Bentar, aku bersyukur dulu."
Aku mengangkat kedua tanganku, menaruhnya di dada secara bersilang, lalu memejamkan mata. Aku mengucapkan terima kasih kepada orang yang mau beternak ayam dan daging lainnya, pada penemu ide olahan dan bumbu sate, dan sama pedagang-pedagang sate di Indonesia. Aku bersyukur karena mereka mau ngasih harga yang murah tapi lezat warbiyasah.
"Aaaaaa..." Saat mataku terbuka, sesendok nasi dan sate ayamku --kulihat dari bumbu kacangnya--, sudah dilayangkan ke arahku.
"Ih malu, atuh. Biar aku aja."
"Udah ah, makan aja. Aaaaa..."
Aku merasa orang-orang melihat ke arah kita. Tapi tatapan kamu, kamu menyatakan agar tidak usah mempedulikan yang lain. Yang penting kita saja. Yang terpenting adalah kebahagiaan kita.
Akhirnya, aku memilih untuk membuka mulut dan kamu menyuapiku.
"YaTuhan... Mesra banget ya...
Ih, so sweet masa...
Duh, kita kalah! Mau atuh a, disuapin
Beberapa celotehan terdengar, aku malu. Tapi kamu menenangkanku dengan tersenyum manis, tetap menuju ke arahku. Terfokus.
Jika ada yang pernah mengatakan, jatuh cinta menyebabkan dunia serasa milik berdua, mungkin ini adalah perwujudannya. Hanya ada aku dan kamu, saja. Only both of us!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Short StoryCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...