Author's note:
Penuh dengan narasi dan perdebatan batin. Harap dibaca dengan hati yang tenang dan lapang.
Jangan membacanya saat hati sedang merasa tidak karuan.
===
Hidup memang lucu sekali, terkadang. Urusan jatuh hati pada sesama manusia tidak bisa terelekkan. Kita tidak bisa mengontrol, kepada siapa kita akan jatuh dan menetap. Suatu waktu, mungkin perasaan kita akan dengan mudahnya berpindah-pindah, namun di waktu yang lain, hati kita malah rebah jimpah pada satu hati dan tidak mau pindah-pindah lagi.
Dulu, Fai merupakan seseorang yang mudah sekali memindahkan perasaannya dari satu orang ke orang lain. Dengan semua hal yang melekat padanya, tentu mudah sekali baginya untuk mencoba satu wanita ke wanita lain. Lagipula, dia pembosan kelas kakap. Hubungan-hubungan yang dijalaninya selama ini hanya sekedar jalan dan berbincang. Tipe gaya pacaran yang gitu-gitu aja dan tanpa variasi. Hingga yang terakhir, dengan Alda, meskipun cewek itu tampak sangat elegan dan cerdas dalam mengelola dirinya termasuk hubungan di antara mereka, tetap saja pada akhirnya Alda memilih menyerah. Ia peka dan tahu bahwa sosok Fai sudah menjatuhkan hatinya entah pada siapa –yang jelas bukan dirinya. Alda memilih berhenti tepat sehari setelah kelulusan di sekolah. Dengan tenang, dia menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan Fai dan meminta Fai untuk melanjutkan hidup tanpa dirinya. Tetapi Alda menginginkan agar mereka tetap menjalani hubungan baik. Meminta Fai tidak sungkan jika sewaktu-waktu ingin curhat padanya.
Hingga saat itu, Fai sudah berada di semester tiga dan Alda tentu saja juga sama, meski berada di universitas yang berbeda. Fai ingin bertemu dan meminta pendapat gadis itu. Mereka janji bertemu di universitas Alda saja, karena Fai menyatakan dia sedang bosan dan ingin berpergian. Keinginan untuk bertemu Alda ini terbit setelah suatu ketika ia menemui Al dan berbincang dengannya.
"Al..."
Mereka sedang makan bareng di salah satu kantin di fakultas Fai. Itu juga setelah Fai memaksa Al mati-matian untuk bertemu dan memintanya makan bareng. Awalnya Al menolak, menyatakan dia sedang sibuk dan ada urusan. Tapi Fai bersikukuh, mengiba di whatsapp. Sampai-sampai dia mengirim pesan video segala, menunjukkan muka memelas kalau dia sangat ingin bertemu dengan Al, apapun yang terjadi.
"Iya, kenapa Fai?"
"Aku rindu."
"Sama?"
"Kamu lah. Siapa lagi?"
"Oh..." Al memutar-mutar mie ayam di depannya dengan garpu. Lalu setelah merasa cukup, ia menyuapkan ke mulutnya.
"Kenapa cuma oh?"
"Karena kamu belum berubah Fai. Jujur, aku kecewa sama kamu." Al menghela napas, berat. Fai yang melihatnya merasa sakit karena orang yang disayanginya merasa kecewa dengan dirinya. Dia merasa jadi makhluk paling berdosa se-alam raya karena telah mengecewakan seseorang yang seharusnya ia bahagiakan.
"Belum berubah bagaimana Al, maksudnya?" Fai memilih untuk bertanya. Mungkin dia memang terlihat belum berubah di mata Al, meski pada kenyataan, dia sudah banyak sekali berubah. Dia tidak terlalu menghubungi dan mengganggu Al lagi, dan lihatlah dia sekarang! Dia pernah menjadi ketua BEM di tingkat persiapan bersama dan sekarang dia mencalonkan diri jadi wakil ketua BEM di fakultasnya. Sebuah prestise yang amat baik untuk ukuran mahasiswa di semester tiga yang baru masuk fakultasnya. Fai sungguh memiliki kharisma dan berwawasan luas. Dia juga orator yang baik. Itulah kenapa Fai lagi-lagi dicalonkan untuk kalau tidak menjadi ketua, ya wakil seperti sekarang.
"Kamu masih menginginkanku?"
"Sampai kapan pun ga bakal berubah, Al." Fai menjawab cepat, seolah jawabannya memang sudah pasti di dalam otaknya dan memang didesain seperti itu.
"Bagaimana dengan impian-impian kamu?"
"Aku sudah mewujudkannya beberapa, Al. Kamu tahu sendiri kan, aku dulu pernah jadi ketua BEM di tingkat pertama dan sekarang aku jadi calon wakil ketua BEM di fakultasku. Aku meraih impianku Al. Cuma meraih kamu yang belum..." Ucap Fai lirih di akhir kalimat. Agar yang lain tidak terlalu mendengar dan hanya bisa tertangkap telinga mereka berdua saja.
Al memalingkan mukanya demi mendengar kalimat itu. Ia masih saja berdebar, tiap kali rayuan itu termuntahkan dari mulut Fai. Jujur, jauh di lubuk hatinya, dia masih ada rasa dengan Fai. Suatu perasaan yang entah apa maknanya. Tetapi dia tidak ingin membuat Fai hancur. Fai harus bisa setidaknya seperti dirinya. Menemukan kebahagiaan sejati terlebih dahulu.
"Yakin itu mimpi-mimpi kamu?"
"Kenapa ga yakin?"
"Kamu beneran bahagia ngejalanin semua itu?"
"Bahagia."
"Sungguh?"
Fai terdiam mendadak demi mendengar pertanyaan yang bersifat penegasan terlontar dari mulut Al. Ia mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah dia memang sebahagia itu dengan menjadi ketua atau calon wakil ketua sekarang? Dengan menjadi populer? Benarkah itu hal yang paling diinginkan dan membahagiakannya dalam hidup?
"Kamu masih ragu, Fai. Itu kenyataannya. Kamu masih belum paham, arti mengenai hidup dan kebahagiaanmu sendiri. Kalau kamu sempat, kamu bisa mencari tahu tentang love self. Tentang mencintai diri sendiri dengan jujur dan bahagia, sampai suatu ketika kamu memandangi cermin dan melihat pantulan wajahmu, kamu bisa menangis bahagia karena kamu telah menemukan kebahagiaan sejati dalam dirimu." Sambung Al setelah lama jeda tidak ada sedikitpun respon dari Fai.
"Jika saat itu telah terjadi, boleh aku kembali kepadamu?"
"Untuk apa?"
"Untuk bersamamu, mungkin? Menjadi bagian dari hidupmu?"
"Temukan makna, Fai. Temukan makna jauh dalam lubuk hatimu. Dan temukan juga, apakah aku memang sebegitu layaknya untuk kamu perjuangkan dan membersamaimu setelah kamu menemukan makna itu." Nasihat Al sembari menunjuk-nunjuk dada Fai dengan telunjuk kanannya. Fai melihat telunjuk Al yang menempel di dadanya.
"Sudah waktunya masuk kelas lagi, Fai. Aku pamit. Ingat ya, temukan maknanya dan putuskan. Apapun keputusannya, kita hanya bisa menerimanya. Apapun kata hatimu nantinya, itulah yang terbaik. Semoga." Al tersenyum, meski saat ia berjalan meniti tangga untuk lanjut ke kelas pengampu mata kuliah selanjutnya, ia menitikkan air mata.
Aku takut jika Fai tidak mencintaiku lagi.
Aku takut jika Fai akhirnya memutuskan berhenti dan memilih pergi.
Tapi, tapi aku lebih takut jika Fai menghancurkan dirinya sendiri. Aku ingin dia merasa utuh. Dengan atau tanpa aku. Benar! Itulah yang lebih penting! Pikir Al sembari mengepalkan tangannya.
Sementara, bayang-bayang perkataan Al membuat Fai kini berada dalam kereta listrik, tuk menemui seseorang dan berkonsultasi dengannya. Tentang apa yang dirasakannya selama ini. Tentang apa sebenarnya maksud dan inti dari perkataan Al. Tentang pencariannya.
Dia jelas berharap, dari Alda-lah, yang memilih masuk jurusan psikologi di universitasnya, bisa mengajarinya beberapa hal. Bisa memberikan pandangan baru. Dia berharap bisa memecahkan teka-teki Al dan membuat hidupnya terasa lebih lega.
Fai terus berpikir dan berpikir. Separuh dari dirinya merasa mengerti apa yang diinginkan Al untuk dirinya. Separuh dari dirinya yang lain, penasaran. Berharap dia bisa segera memutuskan apakah jika dia sudah menemukan kebahagiaan utuh yang dimaksud Al itu, dia akan lebih memilih untuk kembali mengejar Al atau melepasnya begitu saja.
Menguburnya dalam-dalam sebagai salah satu bagian dari masa lalunya yang berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Short StoryCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...