Faisal's POV
Aku tidak mengerti dengan pemikiran Al dan adiknya itu. Apa sih yang benar-benar mereka pikirkan tentangku? Terlebih Al yang memutuskan tuk keukeuh menolakku padahal aku sedang cinta-cintanya terhadapnya. Kenapa dia memilih untuk menyakiti dirinya sendiri sih dengan menolakku? Padahal dia juga mencintaiku. Kenapa seperti ini jadinya?
Aku sudah menggunakan seluruh kemampuanku untuk membuktikan bahwa aku sungguh-sungguh. Bahwa tidak ada keraguan sedikitpun dalam diriku untuk menjadikan dia kekasihku. Ah ya, sorry, meski aku punya kekasih perempuan saat ini, aku berani memutuskannya sekarang juga jika memang itu yang Al inginkan. Untuknya, aku rela dan berani melakukan segalanya.
Al sudah menggunakan hampir semua waktu dan hidupnya untuk bersamaku selama ini. Dia sudah bersedia menghiburku, menemaniku ke tempat-tempat yang kumau, membuatku tertawa dengan tingkah lugu dan manisnya. Ah, kalau kupikir-pikir, dia selama ini manis sekali. Aku tidak membayangkan jika hidupku tanpanya. Rasanya pasti hambar sekali, tanpa rasa manis yang bisa diberikan hanya dengan melihat senyumnya. Bahkan sekarang pun, aku benar-benar merasa kosong dan hampa.
Hidup ini sungguh tidak adil.
Di saat dulu, Al benar-benar peduli dan menyukaiku dengan kesungguhan, kenapa semesta tidak mengetuk kepalaku lantas memberitahuku kalau ada seseorang yang sangat menyayangiku dengan segenap jiwanya? Yang harus kubalas rasanya? Kenapa aku justru mengacuhkannya tanpa perasaan yang jelas? Kenapa aku justru lebih memilih memacari wanita-wanita yang pada awalnya membuatku nyaman lalu berakhir dengan kebosanan karena permintaan ini dan itu?
Al jarang sekali meminta. Ia justru memberikan segenap jiwa dan kasih sayangnya selama ini untukku. Dia memberikanku sebuah cara untuk bahagia tanpa meminta balas dan mengharap rasaku akan berubah terhadapnya. Dia selalu berusaha tersenyum kepadaku, bahkan di hari-hari saat aku menceritakan keluh kesahku tentang wanita-wanita yang kupacari.
Ah, dunia sungguh kejam rasanya.
Di saat aku memberanikan diri untuk menggantikan rasaku dan berpaling terhadapnya, kenapa justru dunia membuatnya berpaling dan menghiraukanku sendirian? Padahal rasa yang sama seharusnya saling berbalas. Atau mungkin hukum magnet sedang berlaku? Saat suatu gaya yang sama –dalam hal ini rasa yang sama— saling berdekatan akan memiliki gaya tolak-menolak? Sebaliknya dulu, saat aku tidak memiliki rasa yang sama terhadapnya, kita justru semakin lengket dan berdekatan?
Aku penasaran dengan apa yang kualami sekarang.
Aku harus segera memutuskan sesuatu. Ah ya, aku mungkin aku harus menemui kekasihku yang sekarang segera. Mungkin aku masih bisa untuk kembali normal?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Short StoryCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...