Keping 20

773 68 6
                                    

Aku memutuskan menyudahi semua pergumulan kita, persis setelah ciuman penuh gairah itu saling bertubrukan satu sama lain. Aku mulai teringat bahwa ibu dan Tania bisa kapan saja datang ke rumah, sekembalinya mereka dari pasar. Aku tidak bisa berada dalam posisi serabutan, tidak bercelana, dan kamu juga, Fai. Kita harus segera merapikan diri.

Lepas pikiran itu terbetik, aku segera mengemasi pakaianku dan mengenakannya kembali di tubuhku. Kamu sempat bingung dengan tindak-tandukku, tetapi aku inisiatif menjelaskan secara singkat.

"Tania dan ibu bisa kembali kapan saja. Kamu segera kenakkan pakaianmu sendiri." Ujarku sembari mengenakkan celanaku kembali. Kamu protes.

"Tapi, aku belum keluar, agapité mou."

"Keluarin aja sendiri di kamar mandi." Kataku sembari melihat ke arah mandi di kamarku. "Nanti aku akan panggil kalau ada ibu dan Tania. Sementara, kamu pakai lagi pakaianmu dulu."

"Pake-in dong!" Demi mendengar omonganmu, aku memutar bola mata. Aku menatapmu sebal, lalu kamu terkekeh. Aku memutuskan tak menanggapi, beralih duduk di pinggiran kasur, lalu menuangkan air dari botol ke gelas. Aku haus.

Saat duduk, tetiba dua tangan sudah memelukku dari belakang, menelusup di sela pinggulku. Aku hampir tersedak dan memecahkan gelasku, kalau bukan kamu yang menahannya tangkas dengan tangan kirimu.

"Hati-hati, agapité mou. Eh aku haus juga." Bukannya mengambil gelasku, kamu justru meletakkannya di atas meja. Kamu berpaling ke arah wajahku, dan melihat pipiku yang menggembung sempat menahan air tadi, malah kamu cium. Tidak, kamu tidak sekedar mencium. Aku merasakan kamu menyedot air dari mulutku. Uh, menjijikkan sekali!

Merasa airnya sudah kamu sedot dan kutelan beberapa, aku melepaskan ciuman itu. Melepaskan pelukannya di perutku dan melihat sebal ke arahmu.

"Kamu apa-apaan sih?"

Bibirmu justru malah terkembang --membuatku makin kesal, tentu saja--, dan berceletuk nakal, "Minum langsung dari bibir kamu enak, agapité mou."

"Dih, jijik, jorok! Apaan dah!"

"Eh serius. Kamu mau coba ulang ga? Minum dari bibirku langsung? Biar kamu rasain sendiri sensasinya."

"Dasar, maso!"

Aku memutuskan berdiri saking kesalnya dan membuka pintu kamar. Aku beralih segera ke lantai bawah dan membukakan pintu depan rumah. Berusaha agar ibu dan Tania tidak curiga, kenapa pintu terkunci. Aku duduk di sofa dan mulai menyalakan televisi. Mengalihkan chanel satu ke lainnya, ingin sekali menemukan saluran yang pas.

Berselang beberapa menit kemudian, aku mendengar derap langkah seseorang menuruni tangga. Jelas itu kamu, tapi aku tidak ingin menoleh. Masih kesal dengan apa yang kamu lakukan.

"Al..." Panggilmu lirih. Aku memutuskan abai.

"Al..." Kamu memanggilku lagi. Aku masih tidak peduli.

"Kamu cantik!" Aku menoleh, amat-sangat kesal dengan panggilan itu.

Kulihat kamu sudah terkekeh --hampir terbahak. Kamu berkata, "Tuh kan... dipanggil cantik, baru noleh! Kamu mau ya aku panggil cantik, agapité mou?"

Aku menghiraukannya kembali. Susah menanggapi kardus robek. Malesin!

Kamu lalu duduk di sampingku, alih-alih memilih sofa lain. Kamu mendempet, menelusupkan tangan kirimu ke pinggangku. Aku spontan menepis.

"Kamu apa-apaan sih Fai. Lepas ah!"

"Enak..." Polos, suaramu terdengar. Menyebalkan demi apapun!

"Engga, Fai. Nanti ada yang lihat."

"Engga ada. Mereka masih lama kok di pasarnya."

"So' tahu kamu! Aku lebih tahu karena jam pulang mereka biasanya jam segini."

"Engga, Al. Tenang aja lho, percaya sama aku!"

"Murtad percaya sama kamu."

Kamu makin merapatkan pelukanmu di pinggangku. Aku merasa nyaman diperlakukan seperti ini, tapi aku risih juga. Kalau tiba-tiba mereka datang kan,

"Assalamualaikum..." Kulihat Tania langsung menerobos membuka pintu. Dia kaget melihat ke arah kita. Matanya membelalak.

Kamu spontan melepaskan pelukanmu, dan agak bergeser. Kamu tetap menatap ke arah Tania, mungkin sama penasarannya denganku, bagaimana reaksi Tania selanjutnya.

"Ibu lagi beli tempe di mamang sayur yang jualan keliling di depan. Ibu lupa beli tadi di pasar. Jadi aku ke sini duluan. Pantas kalian ga bisa ancang-ancang dulu karena ga denger suara mesin motor 'kan?" Mata Tania tajam menatap ke arah kita. Tanpa menunggu responku ataupun kamu, Tania langsung beralih ke arah dapur. Meletakkan kresek belanjaan sembarang di sana.

Karena tak lama, kulihat dia kembali lagi. Tangannya terlipat.

"Aku penasaran, ada hubungan apa sebenarnya di antara kalian. Coba, kak, jelaskan!"

Matanya tetap setajam sebelumnya, menukik. Aku dan kamu berpandangan, mengambil ancang-ancang.

"Kita sedang main ayah-bundaan Tan." Jawaban kamu ternyata sekonyol itu. Aku kepingin ngakak tapi takut sin.

"Apa? Diantara lelaki?"

"Iya! Belajar amalin ilmu biologi." Ujarmu tanpa terlihat gentar sama sekali.

"Apa sih, ngaco banget! Mana ada yang kayak begitu."

"Lah terus gimana? Kan cuma sama laki aja yang muhrim. Kalau sama cewek engga. Mau aku praktekkin sama kamu aja, Tan?" Sial. Jawaban kamu kok jadi cerdas sih, Fai? Salut aku sama otak anehmu itu.

Tania agak tersudut mendengar jawabanmu, terlebih saat kamu berdiri mendekati Tania. Ya Tuhan, berani sekali kamu melakukannya!

"Jangan mendekat!" Tania risih melihat tanganmu sudah tiba sedikit lagi menyentuh tubuhnya. Asyik sekali aku menonton drama yang diputar di depanku kini.

"Jangan konyol kamu, kak." Tania makin kesal dibuatmu. Aku berusaha keras menahan tawa.

"Eh, bukannya kamu gpp ya Tan? Sini sama kakak dikelonin, mau?"

"Udah ah, kak. Ga lucu! Hilihh... Kintil... Kintil... Bikin aku ngeri aja ah. Pergi kak sana, praktikkin lagi sama kakakku aja! Homo kalian!" Tania mencebik kesal, lalu pergi ke arah lantai dua. Bergegas.

"Homo sapiens kita itu, Tan." Kamu masih mengejek Tania yang tubuhnya kini lenyap dari pandangan.

"Gimana agapité mou, kesayanganku sealam akhirat, aktingku tadi bagus 'kan?" Tanyamu dengan posisi memutar kembali menolehkan badanmu padaku.

"Sayang se-alam akhirat?" Aku menoleh ke arah suara.

Terlambat.
Ibu sudah berdiri di depan pintu.
Dia mendengarkan semua kata-katamu yang terakhir.
Sepertinya lengkap, sekalimat terakhir itu.

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang