Keping 23

684 61 35
                                    

Aku membawa masalahku ke dalam tidur. Tips ini terkadang cukup ampuh, tuk membawaku bisa berdamai dengan diriku, terutama atas masalah-masalah yang menimpaku.

Meski semalam aku akhirnya bermimpi buruk. Aku bermimpi kamu hilang di tengah aku sedang berjalan bersamamu di hutan. Kita sedang menyusuri jalan setapak tuk mendaki gunung. Awalnya, aku merasa bahagia karena aku tidak pernah membayangkan kamu akan sampai hati mengajakku pergi mendaki. Kamu tahu aku lemah secara fisik. Aku sering sakit-sakitan, salah satunya asma. Tetapi dalam mimpi itu, kamu menguatkanku terus-menerus. Sampai ketika kita beristirahat sejenak, kamu tetiba hilang.

Kenapa bahkan dalam mimpi pun kamu selalu hilang sih?

Apakah kamu memang ditakdirkan tuk hilang?

Napasku terengah saat terbangun. Pikiranku melayang, mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan di kamar. Ada bekas bayangmu yang memutar kenop pintu, lalu melenyapkan tubuhmu dari radius penglihatanku. Aku meringis, menyentuh dadaku.

Aku kembali sesak.

Aku menyesalkan, pilihanku tuk tidur malah membawaku pada mimpi buruk tentangmu. Biasanya jika ada masalah bisa kututup sementara dengan tidur, tetapi kenapa saat berurusan denganmu malah berujung mimpi buruk?

Kalau aku bertanya padamu, pasti aku akan menemukan jawabannya..

Kamu selalu tahu, Fai.
Kamu memang selalu tahu.

***

Aku meminum air dari gelas di samping tempat tidurku. Hari ini senin, itu berarti aku harus sekolah. Aku meninggalkan tempat tidurku dan beranjak ke kamar mandi. Sebelumnya, kubawa handuk dari jemuran yang disimpan di beranda depan kamarku.

Dan aku berharap,
air dingin akan meredakkan pikiran-pikiranku tentang kamu.

Setelah mandi, aku merapikan kasur, memasukkan buku-buku pelajaran hari ini ke dalam tas dan membawa botol minum kosong untuk kuisi ulang di bawah. Seragam sekolah kukenakkan dan kusisir rambutku rapi, ke sebelah kanan. Aku membawa tasku ke bawah.

Ibu dan Tania sudah duduk di sana. Kulihat hidangan pagi ini adalah nasi goreng, salah satu makanan favoritku. Dan masakkan ibu selalu jadi nomor satu dari jenis goreng manapun yang pernah kucicip. Entahlah. Apa alasannya, aku belum mencari tahu. Tapi kalau aku bertanya padamu, kamu pasti tahu. Kamu selalu tahu, Fai.

Aku pergi ke arah dispenser, mengisi botol minum yang kupegang setelah sebelumnya meletakkan tasku di bawah kursi meja makan tempat aku duduk nanti. Setelahnya, kutaruh botol di atas meja dan duduk, berdoa sebelum makan dengan khidmat. Ibu dan Tania sudah makan hampir setengah dari piring mereka. Mimpi buruk membuatku...

"Kenapa bangun terlambat Al?" Ibu bertanya. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya.

"Mimpi buruk Bu."

"Lah kenapa?"

"Pasti karena ada masalah berat." Tania menyahut. Darimana dia bisa tahu? Memang sih... dia selalu ranking satu di kelasnya. Tapi apakah aku memang semudah itu ditebak?

"Benar gitu, Al? Ada masalah apa?" Ibu bertanya sekali lagi. Raut wajah itu sungguh menyedihkan.

"Engga kok Bu." Aku mengalihkan tatapanku ke arah Tania. "Kenapa kamu bisa nyimpulin gitu Tan?"

"Simpel sekali sih kak. Aku pernah baca bahwa mimpi buruk pada orang dewasa bisa disebabin karena dia membawa pemikiran berat atau masalah sebelum ia tidur. Aku kurang begitu baca sih. Tapi intinya, masalah-masalah yang tadinya kita coba bereskan saat kita terbangun, malah terakumulasi di otak kita dan dibawa tidur. Jadinya gitu deh. Otak pun menghasilkan impian buruk macam itu."

Penjelasan masuk akal. Tania memang cerdas sih anaknya. Dan dia sering tertarik dengan masalah-masalah seputar dunia psikologis atau berkaitan dengan masalah sehari-hari manusia.

"Terus emang kamu yakin kakak ada masalah."

"Ada kak. Kemarin kan, kakak bermasalah dengan..."

Tetew!
Tetew!
Tetew!

Suara bel rumah berbunyi. Aku segera berdiri, membuka pintu dan pergi ke arah pagar. Membukanya. Kulihat di seberangku ada orang yang semalaman ini menjadi sumber mimpi burukku.

Kenapa kamu datang ke sini sih?

"Udah siap berangkat?"

"Kenapa emang?"

"Ya, berangkat bareng lah."

"Kok?"

"Kenapa?" Kamu menyela. "Karena kamu pikir aku kemarin marah dan meninggalkan kamu?"

"Iya." Aku mengangguk.

"Aku tahu kamu butuh waktu menyendiri. Makanya aku memilih pergi dulu. Membiarkan ruang sendiri buatmu. Setiap manusia yang punya masalah, pasti selalu ingin memiliki ruang sendiri."

YaTuhan...
Kamu sampai mengerti hal-hal seperti ini.

"Terus? Kamu pikir sekarang aku mau bersamamu?"

"Tentu. Aku yakin. Makanya aku datang, Al." Sudut bibirmu terangkat, menatap ke arahku.

"Engga Fai. Aku mau berangkat sendiri aja."

"Ayolah Al... Aku ingin tunjukkin kalau aku sayang sama kamu. Aku membuktikannya. Bukan cuma dengan kata."

"Ini salah, Fai. Ada yang salah dengan hubungan kita. Tapi aku belum tahu apa."

"Kok kamu ngomong kayak gitu?"

"Karena aku ga yakin kamu memang sesayang itu sama aku. Itu hanya perasaan tiba-tiba. Mungkin itu hanya ilusi otakmu sendiri."

"Al, cukup, Al. Jangan berasumsi. Kita tidak bisa seperti ini. Aku tulus suka sama kamu. Perasaan itu tumbuh jadi sayang, jadi tergila-gila, mungkin?"

"Nah itu, Fai. Kurasa kita salah di situ. Aku, kamu, kita. Salah. Kita salah."

"Kok gitu?"

"Selama aku denganmu dalam empat tahun itu, jujur, mm... aku memang menyukaimu Fai."

"Nah terus?"

"Dan itu menakutkanku Fai. Saat kamu tiba-tiba menyukaiku --bahkan mungkin kamu terlihat setergila-gila itu, aku tahu ada yang salah dengan perasaan ini. Kita sepertinya tidak bisa bersama untuk saat ini."

"Kenapa kamu bisa merasa seperti itu sih? Cukup terima aja Al! Kenapa kamu membuat segala sesuatunya makin susah?"

"Justru itu. Aku seperti dihujani kebahagiaan tiba-tiba, dadakan, kayak tahu bulat. Aku jadi takut... hal-hal seperti ini akan menyakitiku nantinya. Aku hanya... waspada."

Aku berusaha menghela percakapan ini. Kulihat jam tanganku. Pukul setengah tujuh. Sudah waktunya aku berangkat. Kulihat kamu termenung di tempat.

"Sudah waktunya, Fai. Aku mau ambil dulu tas. Aku nanti berangkat sendiri aja. Kamu duluan."

Kamu tetiba mencekal tanganku persis ketika aku hendak berbalik masuk ke dalam. Kamu menatapku tidak seperti biasanya. Kamu terlihat... sangat marah! Kamu kenapa?

"Al, jangan membuat semuanya menjadi susah. Kamu menyukaiku dan aku menyukaimu. Kita tidak perlu seperti ini. Kamu hanya perlu menerima Al, hanya perlu menerima...." Terdengar frustasi dalam suaramu.

"Fai, kumohon jangan kayak gini. Mari kita pikirin baik-baik dulu. Mungkin ini hanya ilusi otakmu."

"Engga, Al. Engga! Udah kubilang aku sangat menyukaimu. Aku bahkan berani jika harus bilang ke Tania sekarang. Karena aku emang sungguh-sungguh, Al!"

YaTuhan...
Kenapa kamu menjadi semenyeramkan ini?

"Memangnya kenapa kak? Kok sebut-sebut nama aku? Ada yang mau dibilang ke aku kak?"

Tania muncul dengan nada menyudutkan seperti kemarin. Entah apa yang dia pikirkan tentang kamu.

Duh, aduh...
Kenapa mendadak menjadi makin rumit begini?

[]

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang