Keping 26

639 60 32
                                    

Syukurlah, kamu raba-rubu ke toilet menjelang bel istirahat sekolah. Katamu, kamu tidak kuat menahan HIV (hasrat ingin vivis). Kamu menyuruhku menunggu agar kita bisa makan bersama. Kamu keukeuh menyuruhku untuk tetap di tempat, menunggumu! Bahkan saat kamu benar-benar seharusnya menyegerakan diri ke toilet, matamu menelusup tajam ke mataku meminta persetujuanku. Sepertinya kalau aku tidak segera mengangguk, kamu akan vivis di celana. Tiada pilihan lain, aku mengangguk agar kamu segera hilang dan aku bisa bersembunyi.

Ya, aku berniat menyembunyikan diri darimu untuk saat ini. Aku sedang tidak bisa berada dalam jangkauanmu. Aku harus menenangkan diri. Aku pergi ke taman belakang, yang biasanya akan sangat sepi pada jam istirahat pertama. Orang-orang bersemangat ke kantin, dan taman belakang justru biasanya penuh saat jam istirahat kedua. Orang-orang lebih memilih duduk santai setelah melakukan salat. Taman belakang letaknya memang dekat sekali dengan musala.

Setelah yakin bahwa kamu pergi ke toilet yang letaknya berada di ujung lorong koridor –itu berarti cukup jauh dari kelasku yang berada di ujung satunya--, maka aku melenggang pergi ke taman seorang diri. Aku beruntung karena aku tidak merasa terlalu lapar saat ini. Aku beruntung karena tidak perlu ada yang mengganggu dan menanyaiku ini dan itu saat ini. Aku memang sangat ingin menyendiri saat ini.

Aku tiba di taman. Sejauh mata memandang, ada beberapa orang yang terlihat di taman. Ada yang berpacaran, selebihnya kutu buku yang memutuskan untuk duduk membaca novel di genggaman mereka. Namun tidak terlalu riuh karena orang-orang tahu diri. Dan aku bersyukur karena menemukan satu tempat duduk yang terbuat dari batu dan semen keras –letaknya kebetulan dekat dengan ujung dan dinaungi pohon besar—dan aku memilih segera menghempaskan pantatku duduk di sana.

Kupandangi orang-orang sekilas sebelum aku memilih diam menatap ke depan lalu memejamkan mata. Pikiranku bergulir, mengingat semua kejadian-kejadian yang kualami selama bersama kamu. Aku mengingat ulang kembali perasaanku, dan aku memilih menjadi 'penonton' dalam bayanganku sendiri –bukan sebagai diriku. Aku menyusuri garis raut wajahku saat tersenyum bersamamu, gestur malu-malu, dan bisa kulihat pipiku yang bersemu merah. Kutatap diriku sendiri saat berada diboncenganmu, saat kamu menyuruhku untuk memelukmu, saat aku akhirnya menyandarkan kepalaku di bahumu.

Aku bisa merasakan detak jantungku berdebar kencang saat itu dan perasaan bahagia meledak-ledak mengisi seluruh aliran darahku. Aku tak bisa berhenti tersenyum mengingat semua kejadian itu.

Aku menatap diriku sekali lagi.

Dan aku percaya, aku bahagia bersamamu.

Namun kenapa rasanya berubah saat ini? Kenapa aku tidak bisa bersamamu dan menjadi milikmu sesuai keinginanmu? Kenapa hatiku sendiri justru menolaknya? Kenapa ada perasaan kuat untuk berhenti dan menghindari hubungan keterikatan denganmu?

Aku bertanya-tanya: jika seluruh gay di muka bumi menghadapi situasi ini, apakah mereka akan melakukan sebaliknya dariku? Apakah mereka justru akan serta-merta menerima seseorang yang disukai mereka diam-diam dan berubah tiba-tiba menyatakan cinta kepada mereka? Bukankah it's feel like a dream?

Atau jika mereka mengetahui aku yang seperti ini di depan mereka –katakanlah aku misalnya adalah sahabat terbaik mereka--, apakah lantas aku akan dikecam dan dimaki berkali-kali karena menolak rezeki?

Aku berusaha mengingat diriku sendiri seperti bercermin. Aku melihat diriku yang jengah dengan diriku di masa lalu sebagai invensi lateral. Aku memutuskan tuk melihat, kenapa aku berubah. Dan aku menemukannya!

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang