Keping 22

726 63 20
                                    

"Itu adalah respon alamiah dari otak, Al." Aku menatap ke arahmu, melihatmu yang kini seperti tidak tahu harus melakukan apa-apa dan alih-alih malah melakukan penjelasan seperti biasa.

"Maksudmu? Tentang patah hati itu?" Aku jelas sangat tertarik dan ingin tahu, mengabaikan hatiku yang sakit.

"Iya, tentang itu. Tentang kenapa hatimu sakit. Kamu tadi bertanya jawaban rasional apapun kan, kenapa hati kamu bisa sesakit itu?" Kamu memenuhi rasa hausku kini. Kamu selalu istimewa.

"Kamu bahkan tahu penjelasan tentang ini, Fai?" Aku benar-benar menanyakannya.

"Iya, Al. Sedikitnya aku tahu." Kulihat kamu mengangguk. Matamu kembali menatap lurus ke arah pintu, tidak ke arahku. Kutahu, kamu mungkin tidak tega melihatku bersedih. Dari dulu kamu selalu seperti itu.

"Baiklah, aku akan mendengarnya kalau begitu. Kenapa Fai memangnya? Kenapa bisa sakit seperti ini?" Penasaran, aku menatap sungguh-sungguh ke arahnya.

"Salah satu bagian dari otak kita menempatkan rasa sakit yang sama, saat kita dilukai secara fisik ataupun saat kita dilukai secara psikis. Keduanya bersumber dari pusat otak yang sama." Kamu menghela napas, aku menunggu. Sejenak, kuabaikan rasa sakit hati yang membuat diriku enggan berbicara denganmu sebelumnya. YaTuhan, aku memang selabil ini ya?

"Satu sumber itu adalah sensor hormon kenikmatan yang dinamakan dopamin dalam otak. Saat kita jatuh hati, senang, jatuh cinta dengan seseorang, sensor hormon kenikmatan di otak kita aktif. Dengan kata lain dopamin di otak kita meningkat." Kamu menatap ke arahku, menunjukkan bagian otak yang mengeluarkan dopamin. Kenapa kamu pandai banget sih Fai?

"Jadi, itu terjadi kepadaku kemarin malam?" Penasaran lagi, aku mengejarnya dengan pertanyaan baru.

"Kurang lebih seperti itu, Al. Itupun jika kamu memang merasa kemarin malam hingga tadi pagi, ada perasaan bahagia di hatimu karena bersamaku."

Aku memerah, mengalihkan pandangan karena saat kamu mengatakannya, kamu menghunjamkan tatapmu ke arahku. Tatapan yang kuartikan sebagai pemujaan.

"Iya Fai, kuakui, aku bahagia bersamamu." Aku menghela napas. " Dan itu berarti, hormon dopamin di otakku meningkat drastis, bukan?" Aku berusaha berdiskusi dengan jujur kali ini. Diskusi ilmiah ini berhasil menetralkan rasa sakit di hatiku, entah kenapa. Tatapanmu jua-lah yang mungkin meminimalisasi rasa sakit itu.

"Iya, kurang lebih begitu, Al. Sensor hormon kenikmatan di otakmu itu membuat dopamin meningkat. Dan, begitulah, orang yang jatuh cinta bisa jadi sama seperti orang yang sedang kecanduan narkoba."

Terdengar mengerikan, aku memutuskan bertanya, "Kok bisa gitu?"

"Iya, bisa Al. Sederhananya, orang yang kecanduan narkoba juga menghasilkan sensor hormon kenikmatan di otak mereka. Ya, hormon yang disebut dopamin itulah namanya."

"Karena itu mereka sering terlihat kesakitan kalau tidak mengkonsumsi narkoba lagi?"

"Iya, sesederhana itu. Pemicu hormon kenikmatan mereka direnggut paksa artinya... dopamin mereka akhirnya menurun drastis. Jadinya mereka merasa kesakitan." Kamu menahan diri, lalu melanjutkan, "Dan seperti teori di awal tadi, otak tidak membedakan rasa sakit fisik maupun psikis, karena keduanya bersumber dari pusat yang sama. Istilah lainnya... sensor hormon dopamin di otak kita yang menurun itu menyebabkan rasa sakit yang sama pada psikis seperti pada fisik kita."

"Ah, seperti itu ternyata." Aku manggut-manggut dengan penjelasanmu. Semuanya menjadi terasa masuk akal bagiku.

"Iya, makanya kamu bisa ngerasa sakit banget, itu wajar. Aku sudah melonjakkan kadar dopamin di otakmu, dan saat kamu denger aku sudah punya kekasih, kamu akhirnya merasa engga bisa memilikimu, gitu 'kan?" Melihatku mengangguk, kamu melanjutkan, "Kejadian ini udah nurunin kadar dopamin di otakmu drastis. Berdasar analisisku, itulah proses kamu akhirnya merasakan rasa sakit di hatimu itu. Maapkan aku ya, Al."

Aku termenung. Penjelasan Fai sangat bisa diterima otakku. Bergaul dengannya selalu membangkitkan kapasitas pengetahuanku. Aku senang.

"Jadi menurut kamu, sebaiknya kita memang tidak pernah berhubungan lebih jauh 'kan? Seharusnya kita menjalaninya biasa-biasa saja seperti awal agar ga ada rasa sakit?"

"Tergantung sih, Al. Manusia itu kan selalu memiliki dua pilihan saat dalam keadaan terdesak. Dia bisa fight atau flight. Memilih menghadapi suatu masalah atau ngelariin diri. Dalam keadaan terdesak misalnya, otak biasanya bakalan bereaksi dan memutuskan dengan cepat. Contohnya nih... kamu tiba-tiba diserang singa di hutan. Kamu pasti akan cepat ambil keputusan diantara dua pilihan itu, fight or flight!"

Baiklah, ini semakin jelas. Tetapi kamu melanjutkan...

"Dan menurutku sih ya Al, teori ini bisa dipraktikkan dalam putusan apapun yang kita ambil dalam hidup. Kita dalam situasai apapun biasanya akan memilih di antara dua pilihan itu, bakal terus ngehadapin masalah sampai selesai atau berhenti dan melarikan diri."

Lagi-lagi kamu menjelaskan dengan sangat masuk akal. Memang kedua pilihan itulah yang akhirnya berada di otakku saat 'terjebak' dalam situasi seperti ini.

Aku terdiam. Berusaha memikirkan dan mereka kembali apa yang telah kualami bersama kamu. Banyak sekali yang telah kujalani bersamamu. Akan sangat disayangkan, jika semua berakhir begitu saja. Aku juga berusaha menyalami perasaanku.

Ada perasaan sayang yang telah terbit dari sana.
Ada jua perasaan ingin memiliki...

"Jadi, apa yang kamu putuskan Al? Kamu memilih yang mana?"

Pertanyaan pamungkas! Aku menatap wajahmu.

"Fai..."

"Ya?"

"Bagaimana kalau aku memilih keduanya?"

"Maksudnya?"

"Aku ingin flight dulu untuk kemudian fight."

"Kok gitu? Kamu ga mau memperjuangkan semua ini sama aku? Aku bisa putusin pacarku sekarang juga kalau emang itu nyakitin kamu, Al. Aku minta maap. Beneran ini mah!"

"Ga semudah itu Fai. Kamu juga baru kan, mulai hubungan itu sama Alda?"

"Iya, baru sih Al. Tapi aku lebih suka Al yang di depanku ini. Bukan Al yang lain."

"Kenapa kamu bisa cepat memutuskan seperti itu?"

"Empat tahun itu ga cepat, Al. Butuh proses yang panjang untuk aku samai memutuskan menyukaimu."

"Yakin? Dulu kemana aja? Itu bukan perasaan empat tahunmu, Fai. Itu jelas perasaan tiba-tiba." Aku berusaha mengambil alih logikaku lagi. Aku ga siap ngerasain sakit lagi, Tuhan...

"Iya, mungkin kamu benar Al. Tapi..."

"Tapi kalau emang kamu benar pun, kenapa kamh justru memutuskan berpacaran sama Alda terlebih dahulu. Perasaan kamu itu baru kemarin malam hadirnya 'kan?"

"Malam minggu kemarin itu, Al, aku berpikir panjang. Aku sudah menjalani dua malam minggu bersama Alda sejak aku berkencan dengannya. Ga ada yang buat aku bisa senyaman dan se-rileks itu, jika bukan bersamamu. Kemarin adalah malam minggu terindah sepanjang hidupku."

God, please...

"Apapun itu Fai. Apapun alasanmu! Biarlah aku mencari kebahagiaanku tanpa kamu. Dan kamu buatlah keputusan yang tepat bersama Alda. Kita masih SMA, kehidupan kita masih panjang. Aku ga mau ngerusak hidupmu dengan jatuh cinta pada orang sepertiku, dengan jenis kelamin yang sama. Kalaupun rusak, biarlah aku yang rusak sendiri Fai. Aku sudah mengenalmu sejak lama. Kamu normal. Kamu bisa menyukai wanita. Terima kasih atas semalam. Sedari tadi kusudah pikirkan matang-matang dalam benakku, bahwa aku tidak bisa membawamu rusak bersamaku. Kamu paham 'kan?"

"Engga, aku sama sekali ga paham. Kenapa kamu menolak kebahagiaan yang bakal kuberikan untukmu sih Al?" Kamu mengacak-acak rambutmu. "Aku serius Al, aku beneran sayang sama kamu."

"Aku sayang kamu, Fai. Dan saking sayangnya kumohon..." Aku mengelus pipimu. "Tinggalkan saja aku sendiri saat ini! Raih mimpi-mimpimu dan aku akan raih impianku. Kamu berhak dengan wanita manapun, bukan dengan orang yang berbatang juga sepertiku."

Sakit lagi, Tuhan, sakit...

"Kamu serius?"

Aku mengangguk.

Kamu pergi, memutar kenop pintu kamarku.
Membukanya, menghilangkan tubuhmu dari penglihatanku.

[]

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang