Keping 18

857 67 11
                                    

Tanganku mencengkram seprai kasur, berusaha menahan semua gelora fantastis yang kamu alirkan melalui salah satu titik rangsangku. Aku baru menyadari --karena memang tak pernah sekalipun aku merasakan ini sebelumnya, kalau puting bisa menjadi noktah terkuat tuk membuatku menggila dan menggelinjang.

"Ah..." Demi dewi fortuna, aku minta maap. Aku tidak maksud membuatmu liar, aku liar demi saluran hormon endorfin yang memenuhi otakku.

Kamu menjilati pinggiranku putingku dengan telaten, sesekali bergaya seperti jilatan anjing. Slurp.. ah... Slurp.. ah. Kecipak decak lidah membuatku makin tak karuan saja jadinya.

Jurus hebatmu, kamu juga meniup putingku hingga aku benar-benar mengalihkan cengkramanku pada seprai kepada rambutmu. Aku mengacak, merusak tatanannya yang sudah kau buat rapi jali pagi ini. Maap...

Tapi wajahmu justru tersenyum sesaat setelah aku menjambak rambutmu. Matamu sepertinya juga sama senangnya. Aku bisa memperhatikannya meski sekilas, karena kamu langsung beralih ke puting kiriku.

"Jir... Ah...." Aku mendesah dan menggelinjang makin menjadi. Service-mu sungguh luar biasa, tuan Faisal Arrova Difa Sarotama. Aku takluk sepagi ini padamu. Ini masih seperti mimpi yang bergegas nyata...

Kamu makin aktif memainkan putingku dengan lidahmu. Gerakan menjilat, menyedot dan menggigit. Duh... repot urusannya kalau sudah begini. Aku tidak bisa apa-apa selain pasrah.

Sebab, bukan hanya itu. Kamu menambahkan sensasi dengan jarimu yang bebas bermain di puting kananmu. Duh, putingku dimainkan keduanya, aku bisa apa?

Sensasi hebat lainnya yang kamu tawarkan padaku saat wajahmu secara perlahan bergerak tegak lurus ke bawah di sepanjang jalan menuju pusarku, hingga mencapai titik pusar itu, kau berhenti. Kau meniupnya pelan.

"Ah..." Aduh, bagaimana urusannya ini? Aku mendesah lagi dan lagi.

Di pusarku, kamu bermain seperti yang kamu lakukan di putingku. Sensasi yang diberikan di sana, menggetarkan hampir seluruh saraf di otakku, membuatku menggelinjang lincah ke sana ke mari. YaTuhan... Aku tak tahan... Apakah sudah waktunya keluar?

Tidak, tidak...
Kamu bergerak ke arah bawah, meniup pelan arah lurus dari pusarku, menuju titik paling pasti. Di sana, kamu mulai bergerak perlahan membuka kancing celanaku sembari menurunkan resletingnya. Benarkah aku berani memperlihatkannya sekarang?

Duh, aduh ...
Mau mengelak, sudah terlambat. Kepunyaanku yang memang sudah mengacung keras tegak menantang, akhirnya terlihat olehmu. Refleks, tanganku menutupnya.

"Kok ditutup?"

"Malu..." Jawabku polos.

"Ih, kenapa malu? Kan udah sejauh ini? Eh, punyamu imut ya?"

"Kamu lagi engga ngehina aku kan?"

"Lah, kok ngehina? Kan imut..."

"Ah, bilang aja kecil." Kita malah terjebak dalam diskusi seperti ini.

"Ayo lah, lanjutin. Aku pengen liat punya kamu lagi. Imut kok... Suer."

"Engga ah." Aku menarik selimut di sampingku, lalu menutupnya.

"Lah kok ditutup? Nanggung dong..."

"Engga adil. -_- "

"Kenapa ga adil?"

"Aku belum liat punya kamu. Aku mau lihat dulu..."

"Oh..." Kamu terkekeh. Dari tadi posisimu sudah berubah jadi duduk sejak aku ajak bicara. Dan sekarang kamu malah berdiri.

"Nih..." Kamu memegang kancing celanamu. "Mau kamu yang bukain atau aku?"

"Kalau kamu yang buka sendiri, kenapa?"

"Kamu ga boleh megang, cuma boleh lihat aja."

"Kalau aku yang buka?"

"Kamu boleh memainkan sesuka hatimu."

God!
Aku tersipu. Malu-malu menatap ke arah penismu. Menatapnya fokus sembari memikirkan sesuatu.

"Kok malah dipandangin terus? Mau dibuka ga nih?"

Kamu terkekeh. Lalu menghampiriku, lalu kilat mencium pipiku. Kamu kemudian berbisik, "Gimana sayang, mau aku yang buka atau kamu yang buka dan nikmatin semuanya?"

Aku tersipu.
Tidak ada pilihan lain.
Aku harus segera memutuskan 'kan?


To be continued

Lil Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang