Di sekolah, aku berusaha tetap berada dekat dengan Al. Rasanya menyakitkan, mengetahui bahwa orang yang paling aku sayang sekarang, juga sedang berusaha mati-matian menolakku. Kamu tahu, Al. Aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang, selain hanya menerimanya...
Perlahan, setiap kali aku menyapa Al dan dia hanya menjawab alakadarnya, perasaan sakit itu membuatku terketuk untuk mulai menarik diri. Untuk mulai berhenti dan memilih kegiatan lain yang bisa kulakukan untuk segera mengalihkan perasaan ini. Kata orang, menyibukkan diri mampu membuat kita tuk melupakan seseorang. Sedangkan bagiku, menyibukkan diri adalah hanya sebuah pengalihan. Sementara rasa sayangku sendiri tetap berada di tempatnya, tidak berpindah kemana-mana. Tidak ada yang bisa mengatur rasa sayang harus diletakkan dimana 'kan? Dan hatiku jelas-jelas selalu memilih meletakkannya kepada Al, lagi dan lagi.
Aku mulai tahu diri. Aku mulai memilih untuk duduk di belakang kembali, merasa cukup puas hanya dengan sekadar memandangi punggungnya saja. Aku mulai berusaha menjaga jarak, meski aku merasa dia tetap teman dekatku. Kalau dia menanyakan sesuatu atau sedang membutuhkan bantuanku, aku akan segera di sana. Aku semakin yakin, bahwa aku memang ditakdirkan untuk bersama dirinya. Mungkin waktunya saja yang belum tepat. Aku harus lebih bersabar.
"Aku tahu ini sakit, Al."
"Eh apa?" Tanya Al di suatu ketika, kita sedang makan bareng. Kini kita sudah berada di kelas tiga. Itu berarti, sudah hampir empat bulan kita tidak sedekat dulu, tapi aku masih terus mengupayakan diri agar sesekali kita bisa bersama. Sejak berpisah denganku, Al tidak kelihatan semakin memburuk. Dia justru kelihatan lebih 'hidup', entah kenapa. Aku sama sekali tidak bisa menebak jalan pikirannya. Kini dia terlihat seperti orang yang lebih mandiri dan semangat melakukan kegiatan kesehariannya, yang aku sama sekali tidak tahu apa.
"Mencintaimu."
"Astaga, Fai. Kamu masih melakukannya?"
"Sampai kapan pun, aku sanggup melakukannya. Demi kamu."
"Fai, sudah kubilang, jangan seperti itu. Kamu harus hidup."
"Hidup seperti apa yang bisa kujalani tanpa kamu?"
"Selama ini kamu baik-baik aja kan, meski kita ga sedekat dulu?"
"Aku baik-baik aja, jika dilihat dari luar. Dari dalam, aku tetap merasa sakit, Al. Sangat sakit. Aku sangat membutuhkan kamu."
"Fai..."
"Please, Al." Aku memotong. Aku tidak tahan karena Al selalu menyuruhku melakukan hal yang sama, untuk hidup. Hidup seperti apa sih yang dia inginkan? Hidup yang sempurna? Dianya aja yang ga ngerti kalau hidupku bakal sempurna dengan adanya dia. "Aku butuh kamu untuk menyempurnakanku. Jadilah orang yang spesial dalam hidupku. Kembaliah dekat denganku lagi!"
Aku bisa melihat kesungkanan pada diri Al. Dia terlihat menarik dirinya, dan itu jelas sangat menyakitiku. Aku harus apa lagi sih, biar dia yakin bahwa aku sungguh-sungguh padanya?
"Fai, aku masih bisa bersamamu. Ini juga aku lagi bersamamu, 'kan?"
"Iya, tapi hubungan kita aku rasa semakin renggang. Kamu terlihat semakin sibuk dengan duniamu sendiri. Tidak kayak dulu, tiap kali aku hubungin kamu, kamu selalu siap."
"Aku kan sudah bilang berkali-kali, mari wujudkan mimpi kita masing-masing, Fai."
"Aku juga sedang wujudin mimpi aku ini, Al."
"Apa? Jelas-jelas kamu menghabiskan waktu untuk merengek padaku?"
"Yah, karena impianku kan memiliki kamu. Hidup bahagia bersama kamu."
Al mematung. Kulihat dia menunduk, menendang-nendang ke arah kolong meja, karena salah satu tendangannya mengenaiku.
"Eh, kok nendang-nendang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Lil Love [END]
Historia CortaCerita ini didesain ringkas. Di dalamnya, saya meracik pengetahuan umum ke dalam cerita. Jadi, jika kamu mencari cerita sek-esek ga bermutu, cerita ini diusahakan dijauhkan dari hal itu --meski saya kadang menyelipkannya. Di sini, saya berusaha mema...